Dukuh Babakan merupakan salah satu pedukuhan di Desa Jatimulya, Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal. Nama Dukuh Babakan sendiri lebih familiar dibandingkan dengan nama Desa Jatimulya. Jadi, orang ketika menyebut Dukuh Babakan pasti langsung menyebut Babakan Lebaksiu Tegal, bukan Babakan, Jatimulya, Lebaksiu Tegal.
Meskipun hanya pedukuhan, tetapi nyatanya Dukuh Babakan merupakan salah satu pusat pendidikan agama Islam di Kabupaten Tegal sejak dahulu. Pasalnya di sini terdapat salah satu pondok pesantren tertua di Jawa Tengah yaitu Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah Babakan Lebaksiu Tegal, orang lebih familiar menyebutnya dengan nama Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu Tegal.
Pendidikan formal jenjang SD-SMA di Dukuh Babakan juga lengkap dari mulai negeri hingga swasta. Maka tidak mengherankan banyak orang tua di Tegal dan sekitarnya memilih memondokkan anaknya di sini, sebab bukan hanya ilmu agama saja yang didapatkan, tetapi juga ilmu umum.
Asal usul Dukuh Babakan
Sejarah Dukuh Babakan sendiri tidak bisa dilepaskan dari pendiri Tegal yaitu Ki Gede Sebayu. Ki Gede Sebayu sendiri merupakan keturunan dari Batara Katong atau Syekh Sekar Delima yang merupakan Adipati Wengker Ponorogo. Sementara itu ayah Ki Gede Sebayu bernama Pangeran Onje yang merupakan Adipati Purbalingga.
Ki Gede Sebayu memiliki dua orang anak yaitu Raden Hanggawana dan Ni Ken Jayanti. Atau yang lebih dikenal dengan nama Ni Ken Subaleksana.
Diceritakan Ni Ken Subaleksana memiliki kecantikan yang masyhur seantero Nusantara. Banyak dari adipati dan pangeran yang ingin mempersuntingnya. Ki Gede Sebayu pun diliputi kebingungan, ia tidak mau salah pilih dalam memilih menantu. Ia pun meminta petunjuk kepada Allah di sepertiga malam.
Akhirnya didapatlah petunjuk untuk mengadakan sayembara. Barang siapa yang dapat menebang pohon jati di utara pohon beringin (wringin) kembar, akan dijadikan menantu. Ki Gede Sebayu juga diberi petunjuk bahwa yang akan menjadi menantunya adalah seorang pangeran yang sedang menyamar menjadi seorang santri.
Sayembara pun menyebar luas. Banyak adipati dan pangeran datang ke Tegal untuk mengikuti sayembara tersebut. Sampai-sampai jumlah tenda peserta yang mengikuti sayembara memanjang mencapai selawe atau 25. Slawe itulah yang kemudian hari dikenal dengan Slawi, yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Tegal.
Ki Jadhug
Namun, para peserta tidak ada yang berhasil menebang pohon jati tersebut. Mereka hanya mampu membabak (menyayat) kulit pohon jati tersebut. Diceritakan bahwa dari sayatan kulit pohon jati tersebut sampai mengeluarkan darah, dan banyak dari peserta yang pingsan kehabisan tenaga.
Sampai kemudian datanglah Ki Jadhug yang berasal dari dukuh yang kini bernama Dukuh Sigeblag, Desa Slarang Kidul, Kecamatan Lebaksiu untuk mengikuti sayembara. Sebenarnya ia merupakan seorang pangeran yang sedang menyamar menjadi santri, nama aslinya adalah Pangeran Purbaya. Ia merupakan putra dari pendiri Kesultanan Mataram Islam yaitu Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya. Ada yang menyebut mengapa Pangeran Purbaya datang jauh-jauh ke Tegal dan menyamar, ia diutus oleh Sutawijaya mengejar musuhnya yang lari ke Tegal.
Ki Jadhug berdoa kepada Allah, lalu merapal ajian Bala Demit Seketi, datang angin kencang bergemuruh. Dengan sekali dorongan tanpa senjata apa pun, Ki Jadhug berhasil merobohkan pohon jati tersebut sampai akar-akarnya. Sesuai janji Ki Gede Sebayu, Ki Jadhug pun dinikahkan dengan Ni Ken Jayanti.
Pohon jati tersebut kemudian digunakan oleh Ki Gede Sebayu untuk menjadi soko guru Masjid Agung Kalisoka. Nah, Kalisoka merupakan salah satu desa di Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Kalisoka sendiri merupakan kediaman dari Ki Gede Sebayu.
Babakan sendiri diambil dari kata Babakan yaitu peristiwa ketika para ksatria yang mengikuti sayembara hanya mampu membabak kulit pohon jati.
Ada juga versi lainnya yang berkembang di masyarakat. Jadi ceritanya Ki Gede Sebayu hendak membangun Masjid di Kalisoka. Untuk membangun masjid membutuhkan yang namanya saka guru (4 tiang utama masjid). Maka ditemukanlah pohon jati tua dan besar, di daerah yang kini bernama Desa Babakan, tapi pohon tersebut sulit untuk ditebang. Kemudian Ki Gede Sebayu mengadakan sayembara, barang siapa yang berhasil menebang pohon tersebut akan dijadikan menantu.
Agresi Militer Belanda
Saya tinggal di Dukuh Babakan cukup lama, tiga tahun saya nyantri di tempat ini. Dulu ketika di Babakan saya sering mendapatkan cerita dari para kiai dan para santri tentang peran Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu Tegal dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu Tegal didirikan secara resmi pada 1916 M oleh KH Mufti bin Salim bin Abdurrahman. Beliau berasal dari Desa Balapulang, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Kiai Mufti diambil menantu oleh Kiai Sulaiman yang merupakan bekel (kepala desa) Jatimulya, dinikahkan dengan anaknya yang bernama Nyai Haji Fatimah.
Kiai Mufti mulai merintis pondok sebenarnya sejak 1913 M. Diawali dengan pengajian umum di Masjid Jami’ Babakan yang diikuti oleh 12 orang warga sekitar. Dalam mengurus pondok pesantren, ia dibantu oleh Kiai Sulaiman (Mertua), Nyai Fatimah (Istri), Kiai Abdurrohim (Ipar), Kiai Anwar (Ipar).
Kiai Mufti sendiri masih memiliki garis keturunan dengan Kesultanan Mataram Islam yaitu dari Sultan Agung.
Kiai Mufti wafat pada 1935, kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh Kiai Ma’shum Mufti (anak pertama) dan anak kedua Kiai Muhammad Syafi’i Mufti (anak kedua). D ibantu oleh Nyai Fatimah, Kiai Abdurrohim (Pak De), dan Kiai Dahlan Anwari (Ipar).
Tegal menjadi salah satu daerah sasaran Belanda pada Agresi Militer Belanda I (1947). Pondok Babakan saat itu dijadikan sebagai Markas Besar Pasukan Hizbullah di Tegal. Belanda yang mencium hal tersebut, kemudian menyerbu Pondok Pesantren Babakan. Kiai Ma’shum Mufti sudah pergi meninggalkan pondok, tetapi dia kembali lagi, sebab peci hitamnya tertinggal. Setelah mengambil peci, Belanda sudah memasuki pondok, ia pun ditembak oleh Tentara Belanda, dan syahid. Itulah sebabnya para santri di Babakan selalu mengenakan peci hitam, yaitu sebagai bentuk penghormatan.
Upaya terakhir
Sementara itu Kiai Muhammad Syafi’i Mufti yang juga merupakan Panglima Hizbullah tertangkap oleh Belanda. Beliau diikat pada panser, ditarik keliling untuk dipertontonkan kepada masyarakat dari Desa Kajen hingga Desa Kalibakung.
Berbagai upaya dilakukan oleh Tentara Belanda untuk membunuh Kiai Muhammad Syafi’i Mufti, tapi tidak berhasil. Lalu Kiai Muhammad Syafi’i Mufti memberi tahu caranya, yaitu dengan membaca bismillah. Salah satu Tentara Belanda mengatakan hal tersebut sebelum menembak, maka syahidlah Kiai Muhammad Syafi’i Mufti.
Ia dieksekusi di Hutan Kalibakung, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, tepatnya di Bukit Tempeh. Ia pun dimakamkan di sana pada sebuah lubang yang di dalamnya terdapat 16 jasad, di mana 4 di antaranya merupakan prajurit ALRI. Pada Kamis, 29 Juli 2021 dilakukan penggalian untuk memindahkan ke 16 pejuang tersebut ke Monumen Perjuangan TNI AL. Kemudian keesokan harinya setelah salat Jumat dilakukan prosesi pemakaman secara militer.
Itulah sekelumit cerita sejarah di Dukuh Babakan, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal.
Penulis: Malik Ibnu Zaman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tegal: Kota yang Tepat untuk Menghabiskan Uang