Ada sebuah status yang sering kali dihindari dan begitu ditakuti sebagian besar orang. Segala cara dilakukan untuk menolaknya. Kalau perlu sewa dukun ataupun orang sewaan untuk mengaburkan status tersebut supaya nggak jadi bahan bully-an, yakni menjadi seorang jomblo.
Saya yakin hampir semua orang pernah mengalami fase ini. Saya pun pernah. Sumpah! Menjadi bahan guyonan bahkan cercaan sudah menjadi makanan sehari-hari yang harus saya terima dengan lapang dada. Walaupun dalam hati saya terdalam, sungguh saya ingin menutup mulut-mulut mereka semua.
Untuk itulah, dengan segenap tenaga dan daya upaya, saya berusaha mengubah nasib. Saya perluas pergaulan baik di dunia nyata maupun maya. Alhasil, saya nyantol dengan seorang lelaki yang saya temui di sebuah workshop yang diselenggarakan oleh pemerintah. Usianya lebih muda 5 tahun daripada saya.
Setelah acara tembak-menembak yang dilalui dengan dramatis, saya menerimanya dengan agak terpaksa. “Yaaa, daripada nggak ada,” pikir saya saat itu. Walaupun tinggal di satu kota, tapi jarak rumah kami cukup jauh. Jadi, walaupun kami sudah “jadian”, kami belum pernah bertatap muka lagi setelah kegiatan workshop itu. Komunikasi hanya via WhatsApp. Selebihnya sebatas like atau komen di media sosial masing-masing.
Sampai suatu ketika, teman sekantor saya, Mawar, minta tolong ditemenin buat kencan (lagi) sama mantan pacarnya di sebuah restoran berbentuk saung di kaki gunung tertinggi Jawa Tengah. Sebetulnya saya malas, tapi nggak enak hati untuk menolak. Apalagi Mawar ini termasuk teman terdekat saya. Singkat cerita, saya beranikan diri buat ngajak pacar baru saya, alias kami double date.
Kami berempat boncengan dengan pasangan masing-masing menuju tempat dengan udara yang sejuk tersebut. Daerah itu terdiri dari saung-saung kecil yang dikelilingi kolam ikan. Suara gemericik air di antara bebatuan alam yang tertata rapi sungguh membuat nyaman.
Mawar memilih saung paling belakang. Dia mempersilakan saya untuk memilih saung yang saya suka. Saya memilih saung tepat berhadapan dengan tempat Mawar duduk bersama mantan pacarnya. Bukan apa-apa, saya pikir tadinya kami berempat bakal double date dan ngeriung bareng di satu saung saja. Lagian kalau deketan, kan bisa jaga-jaga misal terjadi “sesuatu”. Ya, kalau duit saya kurang, tinggal kasih kode ke si Mawar. Hahaha.
Saya pun berbincang-bincang dengan pacar baru saya. Kami sebetulnya masih sama-sama grogi. Kalau dalam pembelajaran bahasa, saat itu kami masih dalam tahap introduction. Oleh karena itu, pembicaraan kami masih sekadar tanya jawab seputar hobi, makanan kesukaan, ngapain aja selama ini, dan sebagainya. Pokoknya, standar banget, lah!
Namun, lama-lama kami kehabisan bahan obrolan. Makanan di meja juga sudah ludes tak tersisa. Saya berniat untuk menyudahi kencan itu dan mengajak Mawar pulang. Jarak antara saung saya dengan saung Mawar sebetulnya hanya selemparan batu kerikil. Jadi, sedikit teriakan udah cukup menyampaikan maksud saya.
Akan tetapi, setelah melihat apa yang terjadi, mulut saya tiba-tiba terkunci. Mata saya terbelalak dengan pemandangan di depan saya. Sebuah adegan ketika kedua bibir saling bertemu, bergerak perlahan-lahan tapi konstan, dan begitulah.
Cleguk! Dengan susah payah saya menelan ludah. Bukan karena membayangkan nikmatnya adegan yang barusan kami lihat. Kami berdua sama-sama nge-blank harus berbuat apa. Mau meniru mereka yang tengah diliputi dendam membara cinta lama, ya nggak mungkin. Ibarat drama, episode mereka sudah epilog, sedangkan saya baru sampai tahapan prolog. Itu pun hanya demi membuang status jomblo akut yang sudah lama mendera saya.
Sebagai perempuan 27 tahun yang bermartabat, sudah selayaknya saya memberi contoh baik pada pacar kecil saya di usianya ke 22. Nggak mungkin saya ujuk-ujuk nyosor atau sebaliknya. Bogem mentah sudah saya siapkan jika dia berani-beraninya memaksa saya. Nggak ada dalam kamus saya, sosor menyosor di awal pacaran. Nggak tau juga kalau sudah lama. Eh.
Akhirnya kami melewatkan 20 menit berlalu dalam diam. Kami sibuk dengan hape masing-masing. Setelah itu, Mawar mendatangi kami dengan mesam-mesem tanpa rasa berdosa sedikit pun. Sungguh, sebuah double date yang berakhir wagu dan awkward.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
BACA JUGA Gaya Unik Pacaran Pemuda Pemudi Desa Agraris yang Bikin Meringis dan tulisan Rina Purwaningsih lainnya.