Sebuah tangkapan layar yang menunjukkan percakapan antara seorang mahasiswa dan dosen mendadak menjadi perbincangan. Dalam percakapan tersebut, sang mahasiswa yang sepertinya sedang membahas perihal skripsi kepada sang dosen pembimbing.
Alih-alih dapat respon yang seharusnya, sang mahasiswa malah mendapat respon yang pahit dari sang dosen. Dosen tersebut menyalahkan etika mahasiswa, juga malah menyangkut-pautkan masalah pribadinya. Iya, sang dosen memarahi sang mahasiswa hanya karena menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu jadi masalah
Tangkapan layar ini diunggah pertama kali oleh salah satu akun menfess di Twitter. Unggahan tersebut makin ramai setelah ada salah satu orang yang menanggapi dengan menganggap wajar perilaku tersebut. Katanya, mahasiswa suruh bersabar dan mengerti bahwa dosen juga punya tanggung jawab lain. Intinya, kata orang ini jadi mahasiswa jangan baperan.
Tidak lama, respon ini mendapat respon balik yang cukup menohok. Hampir semua orang, mulai dari praktisi pendidikan, dosen, hingga warganet yang hanya ingin tubir membalasnya dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan dosen dalam tangkapan layar tersebut sudah berlebihan, gila hormat, dan sudah abuse of power. Masalah atau apa saja yang menimpa sang dosen, tidak serta merta menjadi pembenaran untuk berbuat semaunya sendiri pada mahasiswa.
Kejadian seperti ini memang sering menimpa para mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Sudah skripsi tidak mudah, eh malah ketemu dengan dosen gila hormat yang seenaknya sendiri. Minta bimbingan susah, sekalinya bimbingan malah marah-marah padahal kita tidak salah.
Bingung kita jadinya, padahal uang yang kita bayarkan mahal per semesternya larinya ke gaji mereka juga. Sudah begitu, pihak kampus malah diam-diam saja. Lalu mereka membandingkan situasi di zaman mereka. Ya tambah tidak nyambung, dong.
Kejadian di atas semakin menegaskan bahwa ada yang tidak beres dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Masih ada saja praktik sewenang-wenang dari para dosen terhadap para mahasiswa. Ada semacam hierarki kekuasaan yang cenderung otoriter di dalam kampus. Terlebih lagi antara mahasiswa dan dosen.
Padahal, posisi antara mahasiswa dan dosen harusnya setara. Sama-sama belajar satu sama lain, dan sama-sama menghargai sau sama lain. Bukan malah menindas dan menginjak kami para mahasiswa yang membayar mahal tiap semesternya.
Memang, kejadian di atas belum bisa dibilang kejadian yang besar kalau dibandingkan dengan mahasiswa yang dikeluarkan dari kampus hanya karena memprotes pihak kampus. Namun, kejadian kesewenangan kepada mahasiswa bimbingannya ini adalah sebuah bibit tumbuhnya kesewenangan yang lebih besar lagi kalau dibiarkan dan tidak segera dilawan.
Kalau masalah kewenangan terhadap mahasiswa bisa diatasi, maka akan membuka banyak kemungkinan baik. Kejadian-kejadian besar seperti pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswa tentu akan diselesaikan dengan lebh mudah.
Oh iya, melihat kejadian seperti ini, saya jadi ingat dengan dosen saya yang terkenal akan kesewenangannya dan kecongkakannya di kampus. Kalau yang satu jurusan dengan saya di kampus negeri terbaik nomor 2 di Malang pasti tahu. Beliau ini seorang profesor ilmu bahasa yang gila hormat, yang kalau tiap masuk kelas selalu menyombongkan diri. Mulai dari menyombongkan nominal zakat dan sedekahnya, harta bendanya, hingga merendahkan mahasiswa lain. Beliau juga anti kritik, sangat susah untuk menyanggah dan atau berkomentar di kuliah beliau. Beruntung, saya hanya satu kali diajar oleh beliau dan hanya 2 SKS saja. amit-amit kalau bertemu lagi.
Imbas dari kejadian ini tentunya bukan menjadi generalisasi bahwa semua dosen itu gila hormat dan semaunya sendiri. Masih banyak yang menghargai mahasiswanya, melayani bimbingan mahasiswanya dengan lapang dada, dan menganggap statusnya setara dengan mahasiswa yang sama-sama belajar. Dosen seperti ini jang kadang jarang mendapat lampu sorot dari banyak orang. Padahal, mereka bisa menjadi potret bahwa para pengajar di pendidikan tinggi itu tidak gila hormat. Ini juga bisa jadi penguat bahwa oknum yang gila hormat lebih baik diusir saja dari perguruan tinggi. Sudah semestinya mereka tidak data tempat lagi saat ini.
Meminjam ungkapan dari Soe Hok Gie, bahwa guru yang tidak tahan kritik boleh masuk ke keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selaluu benar, dan murid bukan kerbau.
BACA JUGA Mixtape untuk para BuzzerRp Pendukung Omnibus Law dan tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.