10 Dosa Penjual Ayam Lodho yang Meresahkan dan Merusak Rasa

10 Dosa Penjual Ayam Lodho yang Meresahkan dan Merusak Rasa

10 Dosa Penjual Ayam Lodho yang Meresahkan dan Merusak Rasa (Robijuniarta via Wikimedia Commons)

Ayam lodho katanya makanan khas. Ia adalah identitas daerah sekaligus warisan budaya kuliner. Tapi coba kita jujur sebentar. Banyak yang mengaku jualan ayam lodho, tapi yang disajikan bukan lagi lodho. Hanya ayam rebus setengah jadi, disiram kuah pedas setengah matang, lalu dicap “lodho asli”.

Lodho bukan sekadar ayam rebus dicelup santan. Lodho itu proses panjang. Ayam kampung dibakar dulu, dagingnya dimatangkan dengan sabar, lalu disiram kuah santan berbumbu lengkuas, serai, cabai, kemiri, ketumbar, dan kawan-kawan. Kuahnya pekat, kental, dan meresap. Pedasnya dalam dan aromanya menusuk.

Akan tetapi, apa yang sering muncul di meja makan warung ayam lodho? Kuah cair, hambar, warna pucat, dan aroma yang nggak menggugah selera. Itu bukan lodho, melainkan santan kebingungan.

#1 “Mempermainkan” daging ayam, tak pakai ayam kampung

Dosa pertama penjual ayam lodho adalah “mempermainkan” daging ayam. Lodho sejati menuntut ayam kampung. Dagingnya keras tapi manis, urat terasa, dan aromanya khas. Tetapi penjual malah memilih ayam potong, ayam broiler, ayam yang penuh air. Dagingnya lembek, gampang hancur, dan rasanya datar.

Kalau sudah begitu, kuliner ini jadi terasa murahan. Lodho kehilangan jiwanya. Seharusnya gagah, tapi jadi lembek tak berkarakter.

#2 Bumbu diblender

Dosa selanjutnya berkaitan dengan bumbu. Bumbu adalah jantung kuliner ini. Bumbu harus ditumbuk dengan sabar hingga menyatu. Tapi banyak penjual pilih cepat. Bumbu diblender asal jadi.

Hasilnya? Kuah jadi kasar, rasa bumbu nggak menempel pada ayam. Rasa pedas hanya terasa di permukaan, sementara rasa gurih hanya singgah sebentar di lidah lalu lenyap. Ayam lodho jadi semacam sup pedas bersantan. Dosa ini yang membuat lidah kecewa.

#3 Siksaan cabai yang tak beradab

Selanjutnya mari bicara tingkat kepedasan. Ayam lodho asli itu pedasnya merasuk, bukan pedas cabai mentah yang dilempar sembarangan.

Banyak penjual yang menipu dengan cabai rawit hijau segenggam. Pedasnya bikin perut panas, bukan bikin lidah menari. Akhirnya lidah jadi tersiksa menikmati kuliner ini, bukan menikmatinya.

#4 Nasi pera bikin ayam lodho jadi lauk seadanya

Jangan lupakan nasi. Ayam lodho tanpa nasi tiwul atau setidaknya nasi gurih hangat telah kehilangan setengah makna. Masalahnya, apa yang dijual di banyak warung? Nasi putih biasa, bahkan seringnya pera.

Lodho jadi sekadar lauk seadanya, bukan paket budaya kuliner yang utuh. Dosa ini sering diremehkan penjual. Padahal istilahnya nasi adalah panggung tempat lodho tampil. Kalau panggungnya berantakan, pertunjukan jadi tak berarti.

#5 Kuah ayam lodho jadi encer

Dosa penjual ayam lodho lainnya adalah memberikan sajian kuah encer kepada pembeli. Lodho sejati kuahnya kental, lengket, berminyak tipis, dan ada sisa santan yang berputar di permukaan. Kuahnya menyelimuti daging, meresap hingga ke serat ayam.

Tetapi banyak penjual yang bikin kuah lodho bening, bahkan mirip sayur lodeh. Warnanya pucat, rasanya tipis, dan aromanya kosong. Kuliner ini jadi seperti kehilangan citranya.

#6 Aroma asap yang hilang

Belum lagi soal aroma bakar. Ayam lodho harus ada aroma asap. Itu tanda bahwa dagingnya dipanggang terlebih dulu supaya rasanya makin kaya. Tapi banyak penjual melewatkan tahap ini.

Ayam langsung direbus, lalu diceburkan ke dalam kuah. Tak ada aroma arang, tak ada rasa hangus tipis yang bikin lidah bergairah. Dosa ini membuat lodho jadi seperti kuliner yang tersesat, soalnya mirip opor.

#7 Ukuran ayam yang menipu pembeli

Dosa penjual ayam lodho selanjutnya adalah menipu pembeli dengan ukuran ayam. Potongan ayam yang terlalu kecil, tulang banyak tapi daging sedikit malah dijadikan lodho. Akhirnya kuliner ini jadi bahan lelucon. Pembeli kecewa sementara penjual berusaha mendapatkan cuan sebanyak-banyaknya.

#8 Mematok harga selangit

Dosa lainnya adalah penjual mematok harga selangit. Lodho kerap diklaim “khas”, lalu dijual mahal. Padahal isinya bukan ayam lodho yang autentik karena kuahnya encer, bumbunya kurang mantap, dan isinya bukan ayam kampung. Orang membayar mahal tapi yang didapat bukan lodho yang autentik. Jadi bisnis licik.

#9 Lauk pendamping yang malah merusak harmoni

Kadang ada penjual yang menaruh sayur pelengkap sembarangan. Urap basi, trancam asal, atau kering tempe setengah hangus. Semua dilempar ke piring, lalu disebut “paket lodho”. Padahal seharusnya pendamping itu memperkuat rasa, bukan merusaknya. Dosa ini membuat lodho kehilangan harmoni.

#10 Menghilangkan identitas sesungguhnya ayam lodho

Paling fatal adalah ketika kuliner ini sudah kehilangan identitas akibat ulah penjual. Lodho dicampur-campur, ditambah bumbu instan, dibikin mirip gulai, bahkan ada yang digoreng ulang. Akhirnya kuliner ini berubah jadi kuliner campuran tanpa arah.

Orang dari luar daerah datang, mencicipi, dan memercayai kalau itulah lodho. Reputasi kuliner ini akhirnya rusak.

Itulah dosa-dosa penjual ayam lodho yang meresahkan sekaligus merusak rasa kuliner ini. Dosa-dosa tersebut membuat kuliner ini kehilangan marwahnya. Lodho berubah jadi dagangan ala kadarnya. Pembeli datang dengan harapan bisa mencicipi lodho asli, tapi malah pulang dengan kekecewaan karena hal-hal di atas.

Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengenal Ayam Lodho, Kuliner yang Diperebutkan Warga Trenggalek dan Tulungagung.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version