Saya ingin menanggapi salah satu tulisan di Terminal Mojok berjudul Realitasnya, Beasiswa KIP Bukan untuk Mahasiswa Kurang Mampu, tapi yang Pandai Memanipulasi Data. Penulis, Mas Aji Permana, mengungkapkan kekesalannya pada proses seleksi Beasiswa KIP yang penuh manipulasi. Asal tahu saja, calon penerima Beasiswa KIP harus melampirkan berkas kondisi rumah, data aset, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), hingga bukti pendapatan orang tua. Kenyataan di lapangan, syarat-syarat ini mudah dipalsukan.
Sebagai penerima Beasiswa KIP, saya sepenuhnya setuju dengan tulisan Mas Aji. Bahkan, di tulisan ini saya ingin menambahkan dosa-dosa lain penerima Beasiswa KIP gadungan itu. Kecurangan tidak hanya mereka lakukan saat melakukan pendaftaran saja. Tindakan curang masih berlanjut ketika mereka sudah menjadi penerima beasiswa.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, saya ingin menginformasikan bahwa penerima Beasiswa KIP itu punya beberapa kewajiban selama menjadi awardee. Sayangnya, banyak penerima beasiswa yang menyepelekan hal ini. Mereka hanya ingin uang beasiswa, sementata kewajibannya dilupakan. Saya menyebutnya, awardee yang gabut alias gaji buta.
Daftar Isi
#1 Penerima Beasiswa KIP yang nggak mau berorganisasi
Kampus mewajibkan mahasiswa penerima Beasiswa KIP untuk mengikuti berbagai komunitas atau organisasi. Mengingat, mereka tidak perlu lagi memikirkan biaya pendidikan karena semua sudah ditanggung beasiswa. Harapannya, mereka bisa memberikan sumbangsih nyata ke masyarakat apabila aktif berkegiatan di luar kelas.
Akan tetapi, kenyataannya, banyak mahasiswa KIP yang tidak melaksanakan kewajiban ini. Penerima beasiswa gadungan kebanyakan hidup seperti mahasiswa reguler lainnya, bahkan beberapa hidup hedon. Selesai kelas, mereka pergi ke mal, nongkrong di kafe mahal, setelah itu pulang.
Padahal, mereka memiliki kewajiban lebih besar sebagai agent of change dibandingkan mahasiswa reguler. Mahasiswa penerima beasiswa KIP seperti ini sepertinya sering lupa kalau kuliah mereka itu dibayar dari pajak rakyat. Oleh karena itu, wajar aja kalau kewajiban mengabdi pada rakyat lebih besar daripada mahasiswa lain.
#2 Sering skip kegiatan wajib penerima Beasiswa KIP
Selain wajib mengikuti organisasi atau komunitas, biasanya kampus-kampus memiliki program-program khusus untuk mahasiswa penerima beasiswa KIP. Di kampus saya misalnya, rutin dibuat program peningkatan softskill atau hardskill selama 3 hari di akhir semester genap. Isi kegiatanya ada pelatihan public speaking, manajemen diri, penulisan karya tulis ilmiah, dan masih banyak lagi.
Sayang seribu sayang, para penerima beasiswa KIP banyak yang tidak antusias mengikuti program gratis yang bermanfaat ini. Terakhir kali saya mengikuti program tersebut, hanya sekitar 400 mahasiswa yang hadir dari 900 lebih penerima Beasiswa KIP. Bahkan, kegiatan yang digelar melalui zoom itu pernah menyentuh angka 300 peserta saja. Dengan kata lain, hanya sepertiga dari penerima beasiswa.
#3 Menunda kelulusan
Beasiswa KIP diberikan tiap semester selama 4 tahun alias 8 semester. Lulus 3,5 tahun memang bukan kewajiban, tapi banyak mahasiswa yang enggan melakukannya walaupun mampu. Mungkin lulus 3,5 tahun dan 4 tahun terdengar tidak berbeda jauh ya. Namun, secara hitung-hitungan, satu semester itu nominalnya sangat besar lho. Saya coba jelaskan di bawah ini.
Bayangkan saja, ada lebih dari 200.000 mahasiswa penerima KIP pada SNPMB 2023. Ibaratkan, masing-masing mahasiswa menerima Rp4 juta selama satu semester (UKT dan biaya hidup). Jadi, tiap mahasiswa menerima kurang lebih Rp32 juta selama 8 semester. Dengan kata lain, alokasi beasiswa KIP untuk mahasiswa PTN bisa mencapai Rp6 triliun lebih.
Nah, andai saja, setengah dari ratusan mahasiswa itu bisa lulus 3,5 tahun. Setidaknya ada sisa dana hingga Rp400 juta yang bisa dialihkan untuk membantu kurang lebih 10 mahasiswa kurang beruntung lainnya. Ini baru hitungan satu angkatan 2023 di PTN, belum angkatan tiap tahun serta penerima-penerima di kampus swasta.
Sayangnya, kejadian yang sering saya temui, kebanyakan mahasiswa penerima beasiswa KIP tidak mau lulus 3,5 tahun padahal mereka mampu. Mereka merasa tanggung jika uang saku semester 8 tidak cair gara-gara mereka lulus lebih dulu. Itu mengapa banyak penerima KIP yang memilih mengambil sidang skripsi di bulan Maret-April. Semua itu demi pencairan dana KIP terakhir.
Di atas beberapa dosa penerima Beasiswa KIP yang sering saya jumpai. Sebagai sesama awardee jelas saya malu dan kecewa. Kita ini sudah makan dari pajak rakyat, tapi melakukan kewajiban-kewajiban yang sepele itu tidak bisa.
Penulis: Abdur Rohman
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Memangnya Kenapa kalau Orang Tajir Menerima Beasiswa Bidikmisi?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.