Gaji selalu menjadi topik obrolan yang tidak bisa dilewatkan. Suatu siang saya membicarakan perkara ini dengan teman saya. Seorang teman bilang kalau UMR di Kota Pekalongan ini terbilang cukup rendah. Gaji UMR menurutnya pas-pasan, jika tidak menyebutnya tak cukup, untuk kebutuhan sebulan.
Saya mengerti betul keluhannya itu. Tapi, kenyataannya, bagi kebanyakan warga Pekalongan, gaji UMR sudah terbilang sangat tinggi. Gampangnya, UMR Kota Pekalongan adalah gaji yang diidam-idamkan warga sini.
Ketika saya menyampaikan fakta itu, kami tertawa kecut. Teman saya heran, kok bisa gaji minimum dianggap tinggi? Kebetulan teman saya itu bukan warga asli. Dia juga belum lama bekerja di Kota Batik.
Daftar Isi
Di Pekalongan, gaji UMR sudah dianggap tinggi. Sungguh memprihatinkan.
Hal tersebut sudah saya rasakan sejak terjun di dunia kerja. Warga Kota Pekalongan itu memang masih menganggap bahwa gaji UMR sangatlah tinggi.
Betul sih, Pekalongan adalah salah satu kota/kabupaten dengan UMR yang cukup tinggi di Jawa Tengah. Pada 2023, UMR Kota Pekalongan adalah Rp2,3 juta sekian. Angka itu lebih tinggi dari tetangganya, Kabupaten Pekalongan, yang UMR-nya hanya Rp2,2 juta sekian. Sementara itu, Kabupaten Batang, juga kurang lebih sama seperti Pekalongan.
Bahkan, Kota Pekalongan menjadi daerah dengan UMR tertinggi ketujuh di Jawa Tengah. Barangkali atas dasar inilah warga sini menganggap gaji UMR itu sangat tinggi. Karena dianggap tinggi, orang sini merasa sudah sangat mapan.
Saya pernah menerima stereotip semacam itu. Ketika bilang gaji saya UMR, semua langsung menganggap bahwa saya bisa ini-itu. Bahkan bapak saya bilang, saya bisa kredit KPR.
Saya akui, tidak sedikit anak muda yang sudah berani ambil cicilan KPR. Saya mendapat cerita itu dari orang-orang yang suka promosi KPR. Namun, saya pikir, kecil kemungkinannya orang yang mengambil KPR hanya mengandalkan gaji UMR. Kalaupun gaji UMR, harus ditopang oleh dua orang yang juga sama-sama bergaji UMR. Sudah begitu, tidak menutup kemungkinan kalau cicilan bakal macet dan ujungnya oper kredit.
Pemandangan semacam itu berkali-kali saya temui. Wong saya pernah ditawari oper kredit KPR! Saya menduga orang-orang yang mengambil KPR dengan modal gaji UMR Kota Pekalongan termakan ajian cocot kencono tukang promosi dan anggapan kalau gaji UMR itu tinggi.
Masih banyak pekerja di Kota Pekalongan mendapat gaji di bawah UMR
Saya paham, gaji UMR di Kota Pekalongan sering dibilang tinggi muncul lantaran masih banyak pekerja mendapat upah yang jauh di bawah standar. Misalnya buruh batik.
Buruh batik adalah pekerjaan yang menurut saya menyedihkan. Mereka ikut melestarikan budaya batik. Tapi, soal kesejahteraan, sama sekali tidak terjamah. Gajinya tidak menentu. Setelah saya menelusuri lewat beberapa literatur dan bertanya kepada buruh batik, gaji mereka untuk 2023 ini sekitar Rp70 hingga Rp100 ribu per hari.
Memang, ketika mendapat gaji Rp100 ribu per hari, buruh batik bisa memperoleh sekitar Rp2,6 juta. Jauh lebih tinggi dari UMR. Tapi, Rp100 ribu per hari adalah batas tertinggi. Dan, juragan batik belum tentu menggaji buruh batik dengan batas tertinggi. Jika kita ambil yang Rp70 ribu per hari, sebulan gajinya tidak sampai Rp2 juta.
Masalahnya, gaji segitu acap hanya diperuntukkan bagi buruh batik usia produktif. Banyak dari bos-bos batik besar tidak hanya mempekerjakan mereka, tapi juga orang-orang sepuh. Dan buruh batik yang sepuh ini digaji sekitar Rp50-60 ribuan per hari. Tidak peduli mandor atau bukan. Itu baru buruh batik.
Di Kota Pekalongan ada pekerja yang bahkan mendapat gaji Rp30 ribu saja per hari, lho! Bayangkan, sebulan gajinya nggak nyampe sejuta! Hal-hal yang begini jarang tersentuh, bahkan oleh serikat pekerja. Biasanya para pekerja cuma bisa ikhlas saja.
UMR Itu ya upah minimum. Titik!
Padahal, UMR itu ya upah minimum. Baca sekali lagi baik-baik. M-I-N-I-M-U-M. Sejak kapan upah minimum malah jadi upah tertinggi? Inilah yang tak disadari warga Kota Pekalongan. Kebanyakan dari mereka sering lebih memilih nrimo ing pandum.
Warga sini sudah terbiasa mendapat gaji kecil. Mereka, barangkali, sudah terpapar anjuran supaya menjadi makhluk yang senantiasa tabah dan bersyukur. Gaji berapa saja disyukuri. Lucunya, yang sering bilang begitu adalah penguasa dan pengusaha yang sering bersembunyi di balik topeng agama.
Alhasil, ketika ada orang bekerja dengan gaji UMR, seolah-olah dianggap sudah kaya. Mereka dianggap pasti bisa memenuhi kebutuhan hidup. Padahal, jika untuk kebutuhan hidup saja, gaji UMR hanya ngepas. Atau malah kadang besar pasak daripada tiang.
Biaya hidup di sini terbilang tinggi
Gimana lagi? Kebutuhan hidup di Kota Pekalongan juga terbilang tinggi. Harga makanan di sini, sekali makan itu Rp15 ribu. Murah-murahnya Rp10 ribu. Dikalikan sebulan sudah habis Rp900 ribu.
Itu belum termasuk bayar listrik, air, WiFi, kuota internet, dan tetek-bengek lainnya. Kalau belum ada tanggungan sih masih cukup ringan. Ha kalau sudah ada tanggungan ya bonjrot juga. Misalnya buat bayar sekolah. Ya kalau sekolahnya negeri. Kalau swasta? Eh, tapi, sekolah negeri saja sekarang kebutuhannya banyak. Ini saya belum bilang biaya kuliah, lho.
Biaya kuliah di kampus-kampus di Pekalongan juga sangat mencekik leher. Contoh di UIN KH Abdurrahman Wahid atau UIN Pekalongan UKT-nya rata-rata sekitar Rp3,5 jutaan ke atas per semester. Sebulan berarti harus menyisihkan uang sekitar Rp800 ribu lebih.
Belum termasuk biaya lainnya seperti ngeprint tugas. Terus, emang bocah mau ke kampus suruh jalan kaki? Ya pasti naik kendaraan. Kendaraan butuh apa? Bensin? Ha modyar!
Gaji UMR Kota Pekalongan yang hanya Rp2,3 jutaan sebetulnya buat hidup kembang-kempis. Eh, lha kok oleh warganya sendiri malah dibilang itu gaji yang sangat tinggi. Sama sekali nggak masuk akal!
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kebijakan Pemkot Pekalongan yang Sebaiknya Nggak Usah Terlalu Dipercaya