Satu tahun yang lalu, ketika muncul wacana majunya Kustini Sri Purnomo, isu dinasti politik sangat santer terdengar. Ini terjadi karena blio sendiri merupakan istri Bupati Sleman saat ini, yaitu Sri Purnomo.
Sebenarnya awal “terceburnya” Kustini Sri Purnomo ke panggung calon bupati Sleman mirip dengan masuknya Presiden Jokowi ke dunia politik.
“Bagaimana saya mengawali kiprah politik? Selalu jawaban saya sederhana untuk pertanyaan ini. Tercebur. Ya, memang tercebur, saya tidak pernah meletakkan kata politik di dalam target hidup saya. Sama sekali,” kata Jokowi dalam memoar Jokowi Memimpin Kota Menyentuh Jakarta karya Alberthiene Endah.
Kustini Sri Purnomo juga tidak pernah punya niat untuk maju dalam palagan bupati Sleman. Namun, pinangan partai dan dorongan dari akar rumput mengubah keputusannya. Bagi Kustini Sri Purnomo, amanah dari rakyat ini adalah sebuah kehormatan yang harus dia jaga.
Sebagai yang mendirikan cabang Asmindo (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan) Solo, Jokowi tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik. Bahkan, Jokowi pernah melawan dorongan pengurus Asmindo Solo untuk maju di Pilkada Solo 2005. Jokowi sudah merasa cukup dengan kehidupannya sebagai pengusaha.
Waktu-waktu Jokowi dihabiskan dengan mengurusi 140 pengusaha mebel dan kerajinan. Namun, seperti kata Jokowi sendiri, dirinya “tercebur”, yang artinya, pada awalnya, Jokowi tidak pernah berniat menjadi kepala daerah.
Namun, pada akhirnya, dorongan itu datang dari dalam diri. Dari keprihatinan Jokowi melihat Solo, kota cagar budaya, yang butuh “sentuhan baru”. Selepas salat istikharah, Jokowi mendapatkan jawabannya. Berduet dengan Rudy, Jokowi maju di Pilkada 2005 lewat PDIP. Mengejutkan, pasangan ini menang dengan selisih 37 persen suara.
Meski kini sudah sangat “berpengalaman”, pada awalnya Jokowi “bukan siapa-siapa”. Suara sumbang datang dengan deras, terutama soal pengalaman. Namun, meski suara sumbang itu memang terdengar nyaring, Jokowi bisa memberi bukti bahwa pengalaman bukan satu-satunya faktor kemenangan, tetapi kualitas pribadi yang justru tidak banyak terekspos.
Tudingan dinasti politik yang diarahkan kepada Jokowi dan Kustini Sri Purnomo pun mirip. Ketika Gibran Rakabuming maju sebagai calon wali kota Solo, tudingan dinasti politik muncul. Begitu juga dengan Bobby Nasution ketika maju sebagai calon wali kota Medan. Gibran adalah anak, sementara Bobby mantu Jokowi.
Kemiripan antara Jokowi dengan Kustini Sri Purnomo juga terlihat dari letupan-letupan serangan isu dinasti politik yang muncul. Seakan-akan lawan menyerang ketika ingat saja. Beberapa minggu kemudian sudah lupa karena muncul isu baru. Sangat konsisten untuk tidak konsisten.
Kenyataan yang terjadi adalah sebagai berikut.
Serangan isu dinasti adalah serangan basi. Sudah bukan lagi narasi arus utama untuk menilai kapasitas seorang calon pemimpin. Di tengah arus informasi yang begitu deras, para milenial, pemilih muda, dan orang-orang mapan bisa menemukan dan memilah mana yang memang kompeten, mana yang jualan kebodohan saja.
Orang-orang pandai kini menilai dari gagasan, bukan sekadar status. Serangan dinasti politik adalah serangan basi. Biasanya dipakai oleh calon pemimpin dan para pendukungnya karena sudah kehabisan amunisi untuk memojokkan kandidat favorit. Mereka orang-orang yang tidak punya imajinasi, tidak percaya diri dengan idenya sendiri, dan tidak kreatif ketika head to head dengan visi dan misi seorang calon favorit.
Supaya lebih jelas, mari berkaca kepada Amerika Serikat, negara demokrasi terbesar di dunia. Di Amerika, isu dinasti sudah tidak laku “dijual” dalam rivalitas politik.
Sebab, masyarakat Amerika Serikat relatif rasional dalam menentukan pilihan. Dinasti yang paling terkenal di Amerika Serikat, antara lain dinasti Kennedy dan dinasti Bush. Secara turun-temurun maupun hubungan keluarga, mereka selalu menempati berbagai posisi kekuasaan.
Dan rakyat Amerika pun baik-baik saja.
Rasionalitas dalam segala hal memang perlu dikedepankan, ketimbang menguras emosi karena bersikap “baperan” dan kering imajinasi.
Jadi, apa yg mesti dikhawatirkan dari isu dinasti politik ini? Bagi saya, ini sudah clear. Isu dinasti politik hanya sekadar komoditas dari ketidakmampuan berkompetisi secara sehat.
Sebagai seorang calon pemimpin, Kustini Sri Purnomo sudah menyiapkan berbagai program yang tujuannya bisa saya peras menjadi dua, yaitu kestabilan dan perkembangan.
Kustini Sri Purnomo juga saya rasa sangat memahami berbagai capaian yang sudah dicatatkan Sri Purnomo sebagai bupati sebelumnya. Pembaca bisa menerka sendiri berbagai program Kustini Sri Purnomo yang dirancang untuk mempertahankan kestabilan dan perkembangan “rumah bersama” yang sudah nyaman kita tinggali.
Sebagai manusia yang hidup nyaman di dalam “rumah bersama” ini, kestabilan adalah sebuah prioritas. Tanpa kestabilan, tidak akan ada keamanan dan kesejahteraan hidup. Tidak akan ada perkembangan di masa depan.
Sekali lagi, serangan dinasti politik ibarat calon lawan yang menghidangkan telur basi ke depan hidung masyarakat Sleman. Jelas tidak akan membangkitkan selera. Di masa sekarang ini, perlombaan demokrasi yang kita rayakan adalah adu ide dan gagasan, bukan menyerang status, tentu ini sudah tidak laku lagi.
BACA JUGA Dinasti Politik 5 Tahun Sekali: Kustini Sri Purnomo dan Ingatan yang Terbeli atau tulisan lainnya dari Muhammad Pribadi Fuad.