Sebagai sarjana kelulusan September 2019, saya langsung bersiap menghadapi fase dilematis yang siap menghadang, barangkali juga beberapa di antara para pembaca. Bagi saya yang sesungguhnya berkeinginan untuk melanjutkan S2 sembari mencari pekerjaan sambilan di perusahaan swasta harus dihadapkan dengan tawaran CPNS di bulan Oktober yang tentu saja dibarengi harapan tinggi dari orangtua yang juga dibesarkan dari status PNS. Memang benar ya kata orang, realita yang hadir di masyarakat tak akan jauh-jauh dari anak politisi menjadi politisi, keluarga dokter tak akan jauh dari obat, atau keturunan tentara tidak akan jauh-jauh dari seragam kebanggaannya, sedangkan CPNS menjadi ritual sakral yang hampir menjadi suatu keharusan yang perlu dilalui oleh anak PNS.
Profesi-profesi yang katanya mensejahterakan dan menaikkan status sosial masyarakat perlahan-lahan menjadi warisan keluarga atau pusaka yang kesannya wajib di lestarikan. Ya, memang tidak semuanya. Namun, tak jarang silsilah per-profesi-an dalam keluarga menjadi acuan sejahtera tidaknya kita di masa depan. Ya, tidak ada yang salah dengan hal itu karena setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tak terkecuali orangtua saya. Kita tak dapat menolak kenyataan bahwa dewasa ini PNS masih dianggap sebagai status yang sangat menguntungkan, predikat menantu idaman salah satunya. Alasannya banyak, selain stabilitas pekerjaan dan terjaminnya kesejahteraan masa tua, banyaknya tunjangan juga menjadi alasan yang tak dapat dikesampingkan.
Sejak lama, saya telah berkomitmen terhadap diri saya sendiri untuk mengikuti kata hati saya dan takkan berhenti memperjuangkan pilihan saya. Namun, keadaan adalah hal paling realistis yang sulit kita abaikan begitu saja. Jauh di dalam hati saya sangat ingin langsung melanjutkan pendidikan setelah saya mendapatkan gelar sarjana sembari mengekplorasi diri saya selagi saya masih muda dengan bekerja di perusahaan-perusahaan swasta di mana saya ditawarkan tantangan baru yang menjadikan saya lebih cepat berkembang. Untuk kemudian mengumpulkan modal guna membangun usaha saya sendiri. Saya pikir, masa muda adalah masa yang teramat sangat singkat, usia kepala dua juga hanya akan habis dalam jangka waktu 10 tahun, tidak lebih.
Bukan perkara tuntutan, kedua orangtua saya selama ini benar-benar tidak pernah menuntut apapun dan memberikan saya kebebasan dalam mengambil keputusan serta menghargai dan mendukung setiap pilihan yang saya ambil. Mereka tidak pernah menyetir setiap keputusan dan pilihan saya, sebaliknya saya bukan pula anak yang sekedar menjadi pion keinginan orangtua seperti kebanyakan kasus di luar sana. Kenyataan ini yang kemudian membuat saya merasa berat untuk terus menerus meyakinkan bahwa saya memiliki pilihan lain yang terbaik versi saya. Setelah perundingan panjang di meja bundar dengan kedua orangtua saya, saya memberanikan diri untuk menanggung biaya S2 saya dengan penghasilan sendiri yang di mana itu bukan jumlah yang kecil sama sekali. Pernyataan tersebut saya ungkapkan dengan sangat percaya diri di depan kedua orangtua saya dalam posisi saya masih S.I.P (Sarjana Isih Pengangguran)~Entah apa yang merasukiku?
Saya berjanji untuk tetap mengikuti tes CPNS seperti yang mereka harapkan, namun saya juga akan tetap mendaftar S2 sembari mencari kerja. Ternyata, setelah menjadi S.I.P (Sarjana Isih Pengangguran), segalanya terasa lebih realistis, dilematis, dan menyakitkan. Saya pikir, cuma polemik dan drama politik negeri ini saja yang bisa sangat dilematis tak berkesudahan, ternyata pikiran saya lebih chaos dari biasanya. Entah bagaimana saya merasa lebih takut lolos CPNS dari pada tidak lolos? Am I serious? Sekali lagi, apa yang merasukiku? “Cukup perasaan DPR saja yang resah, jangan aku”, kata diriku kepada aku.
Bagaimana tidak, jika saya diterima, saya harus menginvestasikan segalanya demi ikatan dinas selama 2 tahun yang hampir belum dapat saya terima hingga saat ini. Untuk beberapa orang barangkali bukan apa-apa, tapi tidak untuk beberapa orang lainnya yang menganggap bahwa kenyataan ini adalah sesuatu yang besar, saya salah satunya. Perasaan tertekan karena harus siap untuk kehilangan segala sesuatu yang sedang saya perjuangkan tak dapat saya pungkiri, sekali pun saya mencoba untuk belajar lebih memahami perspektif dari berbagai sisi. At least, kita mencoba.
Berbeda dengan sahabat saya yang justru sangat ingin bekerja ,dan ya, sudah mendapatkan pekerjaan. Sebaliknya, orangtuanya sangat ingin ia untuk melanjutkan S2 terlebih dahulu seperti saya, namun orangtua saya justru berpikir sebaliknya. Kontras sekali, bukan? Di sini saya memahami bahwa “terbaik” itu sebenarnya sangat relatif dan dalam beberap kasus bisa sangat subjektif. Saya tidak ingin menjadi lebih idealis dari ketika saya masih senang-senangnya nimbrung aksi bersama kawan-kawan yang sangat jauh lebih idealis di masa lalu (artinya sekarang sudah pensiun).
Ada sebuah kalimat yang membuat saya lebih berani mengambil resiko dan menerima segala konsekuensi terhadap apa yang menjadi pilihan saya, “Jangan hidup di mimpi orang lain”- RM, 2019. Saya percaya, setiap orang memiliki pilihan masing-masing dan selalu ada konsekuensi disetiap pilihan. Pilihan tersebut bisa menjadi tepat jika kita memahami dan dapat menerima apapun konsekuensi di baliknya. Tidak mudah memang untuk meyakinkan pola pikir yang tak sepemikiran dengan kita, terlebih lagi orang dewasa yang akan memberikan wejangan-wejangan dengan bercermin melalui keresahan mereka di masa lalu. Di saat seperti ini, yang perlu kita lakukan adalah mencoba memahami. Mencoba memahami memang tidak selalu memahami, setidaknya perjuangan kita tidak akan menyakiti siapapun.
Saya merasa, menjadi dewasa memang terkadang lebih menakutkan daripada melakukan kesalahan di masa muda. Percayalah, setiap dari kita memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik dalam hidup kita. Namun, penting bagi kita untuk belajar membuka mata terhadap segala opsi yang ada dihadapan kita dan juga mengajak orang lain disekitar kita juga untuk tidak menutup mata terhadap pilihan-pilihan yang bisa jadi terlihat tidak realistis dan tidak meyakinkan. Terlepas dari penghakiman tepat atau tidaknya pilihan tersebut, bukan benar atau salahnya, saya berharap siapapun dapat memahami bahwa setiap orang memiliki pilihan mereka masing-masing untuk menentukan apa yang terbaik untuk dalam hidup mereka selama mereka memahami segala konsekuensinya. Seorang anak pun demikian. Mereka pun berjuang untuk itu, berani memperjuangkan pilihan bukanlah hal yang mudah.
Terkadang orang menyebutnya nekat, terkadang orang menyebutnya konyol, terkadang orang menyebutnya tidak realistis. Tapi menurut saya, segala sesuatu tidak akan pernah berubah menjadi realistis apabila kita pun tidak pernah melakukan apa-apa dan selalu mencari aman di zona nyaman. Jika ada keyakinan yang mengatakan bahwa yang terbaik untuk kita tidak selalu baik untuk Tuhan dan manusia lain. Maka keyakinan saya, “terbaik” itu sesungguhnya adalah sesuatu yang sangatlah relatif, semua itu hanya persoalan pilihan dan perjuangan. (*)
BACA JUGA Emang Kenapa Sih Kalau Sarjana Jadi Ibu Rumah Tangga? atau tulisan Ulfa Setyaningtyas lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.