Tidak ada yang salah dari sebuah bisnis kedai kopi. Hal yang lumrah bagi kedai kopi untuk mengedepankan pelayanan dan suasana. Apalagi, kedai kopi memang menjadi tempat berkumpul dan menghabiskan waktu. Tapi, apakah demi suasana ini harus menjual fisik barista perempuan?
Sebelum anda berpikir negatif, saya pribadi tidak mempromosikan budaya eye candy di dunia kedai kopi. Tapi, apa daya, saya merasakan barista perempuan memang sering ditempatkan sebagai frontliner saja. Seolah-olah skill kerja mereka adalah nomor sekian.
Berawal dari hasil menguping di beberapa kedai kopi, saya mencoba memahami sudut pandang para pengunjung serta owner kedai tersebut. Bisik-bisik saya mendengar celoteh perihal barista perempuan ini.
Tidak sedikit dari mereka yang saling tukar info perihal kedai kopi dengan barista perempuan paling rupawan. Beberapa mendiskusikan tentang akun instagram barista yang baru saja mengantarkan kopi mereka. Dan ada yang benar-benar membicarakan mereka dari sudut pandang yang sangat seksis.
Tidak ada yang aneh dari pembicaraan mereka. Kalau perkara salah benar, kembali pada konteks bahasan. Tapi, saya melihat kecenderungan yang menyebalkan: barista perempuan memang ditempatkan sebagai “sawangan” pelanggan.
Padahal, perjalanan lahirnya barista perempuan itu keren lho. Menurut sejarah, awal berdirinya kedai kopi adalah tempat berkumpul kaum adam. Kedai kopi lahir sebagai antitesis dari kedai anggur dan minuman beralkohol.
Ketika budaya ngopi merangsek ke benua Eropa, fungsi kedai kopi makin kompleks. Mirip-mirip dengan kedai kopi hari ini. Kedai kopi menjadi pusat pertukaran ilmu pengetahuan serta kritik politis. Maka tidak heran jika kedai kopi pernah dibredel para tiran yang khawatir dengan kelanggengan kekuasaannya.
Satu babak unik terjadi di benua Eropa. Pada abad ke-17, muncul petisi penolakan pada kedai kopi dari kalangan perempuan. Petisi bertajuk “women’s petition against coffee” ini menunjukkan kecaman kaum hawa terhadap kehadiran kedai kopi. Mereka merasa kopi membuat suami mereka hiperaktif dan kedai kopi membuat suami mereka jarang di rumah. Lagi-lagi, tidak beda dengan kondisi hari ini.
Toh, pada akhirnya kedai kopi tidak lagi menjadi simbol maskulinitas. Seiring dengan gerakan emansipasi perempuan, kedai kopi juga menjadi ruang berkumpul bagi perempuan. Pada akhirnya, gelombang emansipasi ini melahirkan barista perempuan.
Hari ini kita tidak merasa aneh dengan kehadiran perempuan di kedai kopi. Tidak ada batasan sosial perihal siapa yang pantas nongkrong sambil menyeruput segelas kopi. Namun, tetap saja perempuan sering dijadikan “objek” di kedai kopi.
Pendapat saya ini didukung oleh Mas Akrom Dimyati. Si pengusaha kopi dari Jogja ini juga punya pandangan serupa perihal eye candy ini. Blio berpendapat, memang ada kecenderungan dari pihak owner kedai kopi untuk menjadikan barista perempuan sebagai eye candy.
Alasannya sederhana, mereka dapat menarik minat pelanggan pria, yang merupakan golongan utama pelanggan kedai kopi. Demi tujuan ini, mereka mendapat treatment spesial dari pihak kedai kopi. Pokoknya, tugas mereka adalah terlihat rupawan di balik meja kerja mereka.
Saya juga pernah mendengar curhat seorang barista perempuan. Maklum, banyak yang malas untuk curhat langsung ke saya. Tapi, dari curhat yang berakhir menjadi forum ini saya menangkap intinya.
Sang barista perempuan ini merasa pekerjaannya bias. Dia bekerja dalam SOP sebagai barista, namun merasa seperti SPG. Mbak yang enggan disebut namanya merasa profesionalitasnya terbentur dengan urusan menjadi eye candy. Wah, berat juga ya pekerjaannya.
Saya tidak memungkiri, perkara eye candy, sebenarnya ini tidak dibatasi perkara gender. Pasca artikel saya yang menyindir SOP barista, banyak pihak berpendapat bahwa penampilan seorang barista juga menjadi bagian dari pekerjaan. Tentu tidak ada barista yang ingin berpenampilan kumuh seperti baru bangun tidur.
Tapi, perkara eye candy ini juga tidak bisa dimungkiri. Dari apa yang saya lihat dan dari apa yang disampaikan narasumber, pergeseran fungsi kerja mereka memang terjadi. Mungkin tidak disengaja, tapi berubah secara alami.
Hipotesa yang tercetus adalah diawali dengan kehadiran barista perempuan, beberapa kedai melihat potensi daya tarik yang berbanding lurus dengan peningkatan kunjungan pelanggan. Maka potensi ekonomi ini dilirik oleh para owner kedai kopi.
Pada akhirnya saya hanya bisa memaklumi kondisi hari ini. Kondisi saat perempuan dipandang dan ditempatkan sebagai pemanis mata. Penampilan fisik mereka lebih menguntungkan daripada skill meracik kopi serta kinerja pada umumnya.
BACA JUGA Mobil Jenazah Adalah Sisa-sisa Kebaikan yang Tersisa dari Partai Politik dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.