Sebagai orang yang nggak punya meja makan di rumah, saya dan keluarga terbiasa makan di mana saja. Lemprakan di dapur, oke, di ruang tamu pun sah-sah saja. Tetapi, dari beberapa spot makan dadakan di rumah, jelas yang lebih sering jadi sasaran ya di depan TV. Begitu pun ketika makan sahur. Piring berisi nasi dan lauk pauk, lengkap dengan gelas minum, seketika bermigrasi ke ruang tengah. Yang terjadi berikutnya adalah tangan sibuk menyendok makanan ke mulut, sementara mata ke arah TV.
Nonton apa?
Nah ini. Setiap sahur di bulan Ramadan, serial Omar menjadi semacam tontonan wajib saat sahur. Bukan. Bukan Omar dan Hanna. Serial Omar yang saya maksud adalah “Umar bin Khattab”. Memang sih, serial ini sudah bolak-balik disiarkan di TV-nya Pak Harry Tanoe. Sudah lebih dari 7 kali malahan. Tapi namanya orang seneng gimana, siy? Kalian saja kalau lagi cinta sama seseorang juga pasti seneng-seneng aja kan kalau disuruh bolak-balik ke rumah dia? Nah, itu!
Dulu, waktu pertama kali disiarkan di televisi, saya sampai rela bolak-balik dapur–ruang TV–dapur–ruang TV. Maklum, jam siarnya bentrok sama jam masak. Ya nggak mungkin juga kan saya pindah dapurnya ke ruang TV. Untung saja jarak dapur ke ruang TV cuma sa’clorotan saja. Coba kalau rumah saya segede rumahnya Nia Ramadhani. Pegel, Gaes. Yah, Nia Ramadhani lagi!
Bagi saya, serial Umar bin Khattab bukan hanya sekedar tontonan, tapi juga menjadi pembelajaran tentang sejarah islam. Lewat serial ini, kita lebih mengenal sahabat-sahabat Nabi. Meneladani sifat dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa lampau dengan cara yang menyenangkan. Satu lagi. Menonton serial ini juga membuka ruang diskusi antara saya dan anak-anak. Anak-anak jadi bertanya tentang banyak hal. Dan saya, sebagai orang tua, mau nggak mau harus banyak belajar lagi tentang sahabat nabi dan sejarah perkembangan Islam. Ya ra mashoook aja kali, kalau anak tanya terus saya plonga-plongo.
Nonton serial Omar juga seringkali membuat saya takjub dengan keimanan yang dimiliki oleh para sahabat Nabi. Meski disiksa dan diiming-imingi harta benda oleh orang kafir Quraisy, mereka nggak bergeming. Padahal kan siksaan kaum Quraisy ini nggak main-main. Ada yang nggak dikasih makan, ada yang ditusuk pakai bara api, ada juga yang pakai cara “halus”, yaitu dengan cara menyiksa keluarganya duluan. Biar mereka bisa melilhat dengan mata kepala sendiri bagaimana kesakitan yang dialami keluarga mereka. Tapi ya gitu, deh. Iman mereka nggak goyah.
Sulitnya menjadi orang Islam yang tergambar di serial ini juga membuat saya bersyukur dengan kemudahan beribadah yang selama ini saya rasakan. Tempat ibadah di mana-mana, bisa dengan tenang menunjukkan identitas sebagai muslim termasuk merayakan hari besar keagamaan tanpa rasa was-was. Bayangkan kalau hidup di zaman jahilliyah. Boro-boro mau ibadah. Bisa hidup saja, syukur. Mau bagaimana lagi? Di zaman itu kan bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Hiii.
Dengan begitu banyak hal positif yang ada di tayangan ini, sudah selayaknya serial Umar bin Khattab dinobatkan sebagai teman terbaik kala sahur. Hiburannya dapat, nilai edukasinya juga dapat. Fix. Harus lebih banyak lagi nih serial yang beginian tayang di televisi kita. Atau jangan-jangan, kamu termasuk orang yang lebih prefer ke acara sahur yang katanya “komedi” tapi nggak tahu lucunya di mana? Joget-jogetan, saling jahilin antartalent dan sejenisnya? Ya sudah. Untukmu tontonanmu, dan untukku tontonanku.
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Tadarus Al-Qur’an dan Kudapan yang Menyertainya. #TakjilanTerminal06 dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.