Semarang, tak bisa dimungkiri, memang kota yang amat unik. Ibu Kota Jawa Tengah ini punya banyak hal yang amat menarik, dan tak pernah habis digali.
Kita bisa bicara tempat wisata, kuliner, dan mungkin tentang banjir yang kerap melanda. Selain hal tersebut, kita juga bisa bicara dialek Semarang, beberapa orang menyebutnya dengan Semarangan.
Perkara keterkenalan, sebenarnya dialek Semarang itu nggak kalah sama Jawa Timuran yang dialeknya udah terkenal banget. Di Jawa Timur, dialeknya bersifat kasar dan keras, nah kalau di Semarang cenderung lebih halus, tapi sama kerasnya. Intinya Semarang juga punya dialek yang nggak kalah mbois.
Apa saja contoh dialek Semarangan? Nih saya kasih contohnya.
Hooh
Pertama ada hooh, kata ini sering diucapkan warga Semarang. Hooh artinya “iya”. Sehari-hari pun mereka selalu ngucapin ini, nggak boleh ketinggalan. “Hooh aku meh metu”, “hooh wis meh sore iki”, begitulah kira-kira contoh kata ini diterapin. Tapi jangan pakai kata ini dengan yang lebih tua ya, soalnya nggak sopan.
Hooh dalam tingkatan bahasa Jawa termasuk banasa yang bisa digunain hanya ke sesama usia, bukan ke yang dihormati atau yang lebih tua. Nah kalau mau pake ke yang lebih tua pakai kata nggih akan jauh lebih sopan.
Tambahan akhiran “-ik”
Siapa yang hafal dengan kebiasaan dialek Semarang? Pastinya udah nggak asing dengar kata ik yang diucapkan di akhir kalimat. Saya pribadi juga nggak tahu, gimana awal “-ik” ini digunakan. Tapi ya saya ikut-ikutan aja. Iyo ik, hooh ik kalimat-kalimat itu sering terucap dari mereka. “-Ik” yang terlihat praktis itu memang khas Semarang banget. Selain ik ada juga ok yang turut digunakan di akhir kalimat, “ora og”. Terdengar lucu dan unik ya.
Meh
Dialek Semarang lainnya yaitu meh, yang bisa diartikan mau atau hampir. Padahal ya, ada arep, ameh, tetap saja lebih enak kalau tinggal ngomong meh. Nggak heran, ibu-ibu di sini tinggal ngomong “Aku meh nyang pasar” yang artinya aku mau ke pasar. Pakai kata meh atau ameh selain lebih praktis juga efisien waktu.
Sapaan Ndes
Kalau di Jawa Timur nyapa biasa cak-cuk, nah kalau di Semarang biasanya pakai ndes. Ndes yang awalnya dari kata gondes ini akhirnya digunakan sebagai sapaan khas Semarang. Pemakaian sapaan ini ditujukan ke temen dekat aja ya. Jangan ke teman yang belum dekat banget, bisa-bisa mereka kesinggung.
Buat ngingetin temanmu kalau belum bayar utang juga bisa. Misal, “Utangmu wis kok bayar rung ndes?” Yakin deh, kalau ngingetinnya beitu, temanmu nggak bakal kesinggung.
Mboh atau mbuh
Lagi males ngomong kamu juga bisa bales ucapan temanmu dengan males-malesan loh. Pakai kata mboh, yang berarti nggak tahu. Mboh ini sebagai balasan pas ditanya temanmu tapi nggak tahu jawabannya. “Warung cedak kene ngendi yo?” Tinggal bales aja “Mboh ra ngerti”. Ini sepertinya bisa mewakili kalau pas ditanya ayangmu mau makan apa, tinggal bilang Mbuh. Intinya mbuh adalah kata terserahnya Semarangan.
Sebenarnya “mbuh”, “hooh”, dan “meh” ini nggak cuman Semarang yang pakai sih, secara kebanyakan banyak tempat di Jateng juga pakai kata-kata tersebut. Misal, di Surakarta juga banyak yang pakai. Tapi entah kenapa, logat Semarang mengucapkan ini rasanya beda dengan kalau orang Solo yang bilang. Nggak masuk dialek ya? Yaudah deh ngapapa.
Itulah contoh dialek Semarang. Pakai itu pas lagi di Semarang biar dikira warga lokal ya hihi. Selain singkat dan lebih efisien, bahasanya juga seru. Tapi itu hanya berupa bahasa tuturan ya bukan bahasa tulis yang tertulis. Kalau tulis ya beda ceritanya lagi, Ndes!
Penulis: Wulan Maulina
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Selamat Tinggal Bekasi, Ternyata Semarang Lebih Indah untuk Ditinggali