Situbondo, tempat kelahiran saya sudah mengklaim dirinya sebagai kota santri. Kalau sudah klaim, saya husnuzan saja bahwa warga Situbondo itu rata-rata berwatak dan berperilaku seperti santri. Selain latar belakang santri, warga sini juga berlatar belakang salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama yang kemudian disingkat menjadi NU.
Dalam NU, seperti yang pada umumnya diketahui, ada satu sosok yang menjadi patron klien. Biasanya disebut dengan kyai. Sosok tersebut, biasanya dijadikan panutan, entah itu secara perilaku atau pemikiran. Sosok kyai, memiliki pengaruh besar dalam proses kehidupan beragama di Situbondo. Apa pun yang disarankan, seringkali tak tertolak lantaran keefektifan dari saran yang diberikan oleh kyai tersebut.
Sebagai kyai, tentu legitimasi sosial melalui karisma yang dimiliki, nggak bisa digunakan sembarangan. Legitimasi tersebut, harus digunakan sepenuhnya untuk kebaikan kehidupan beragama warganya. Tentang penggunaan legitimasi sosial untuk hal-hal baik, hal ini dilakukan oleh salah satu tokoh agama yang memiliki pengaruh besar di Situbondo, yakni Kyai Kholil As’ad Syamsul Arifin.
Beliau, adalah putra dari KH. As’ad Syamsul Arifin yang merupakan murid dari pendiri Nahdlatul Ulama, Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau menghabiskan kesehariannya untuk berdakwah ke pelosok-pelosok, mengajar di pesantren Walisongo, dan juga berupaya untuk meracik metode dakwah yang nggak grusa-grusu dan nggak mengandung unsur kekerasan.
Di Situbondo, walaupun mengklaim diri sebagai kota santri, tentu masih ada warganya yang “belok-belok” juga. Baik dan buruk, hitam dan putih, di mana pun selalu berdampingan. Kalau ada santri, pasti ada juga preman. Itu kenyataan yang tak tertolak dan merupakan suatu keniscayaan.
Hal ini juga tak luput dari pandangan KH. Kholil As’ad, beliau juga masuk ke segmen hitam dari kota santri ini. Dakwahnya ya nggak hanya cukup kepada santrinya saja, para preman, penjudi, maling, dan lain sebangsanya pun juga kebagian. Menariknya, dakwah yang digunakan, sama sekali berbeda dengan yang biasanya. Malah tergolong nyentrik dan ora umum.
Misalnya, warga Situbondo itu masih banyak yang suka ngaddhu ajem atau sabung ayam. Gampang banget kalau mau cari orang yang mau ngadu ayam di Situbondo. Di depan rumah saya saja, sering diadakan warming up dan latihan untuk sabung ayam. Biasanya mereka datang rame-rame untuk melihat ayam siapa yang merupakan ayam pilih tanding dan akan dinobatkan menjadi pendekar ayam.
Sebagai sosok karismatik, tentu saja KH. Kholil memberikan perlakuan berbeda terhadap orang-orang di segmen yang suka sabung ayam ini. Kalau dakwah biasa dilakukan dengan baca kitab, ceramah, pengajian, dan metode yang banyak digunakan, pada segmen warga yang suka sabung ayam ini, beliau malah memberikan dan “menantang” warga untuk mengadu ayamnya langsung di pondok pesantren yang beliau asuh, yakni Pondok Pesantren Walisongo.
Dari nama pesantrennya saja sudah bisa kita lihat, bahwa beliau berkomitmen untuk menggunakan metode yang dipakai oleh para sunan yang dulu telah berupaya berdakwah. Metodenya, yakni menyesuaikan diri dengan kultur setempat dan tanpa sedikit pun berupaya untuk menghilangkannya.
Uniknya, sabung ayam yang diselenggarakan di pesantren asuhan beliau, memiliki peraturan yang berbeda. Di sana, nggak diperbolehkan untuk taruhan uang, nggak diperbolehkan juga menambahkan pisau taji pada ayam yang akan dipertandingkan.
Selain peraturan tersebut, harus ada kesepakatan awal yang dibentuk. Bagi yang kalah, pemilik ayam tersebut harus bersedia untuk sembahyang sunnah sebanyak 10 kali salam. Begitu juga dengan penonton yang mendukung ayam jagoannya, juga harus bersedia ikut sembahyang sunnah atas konsekuensi kalahnya ayam yang mereka dukung. Semacam taruhan juga, tapi bukan uang, melainkan dengan sembahyang.
Yang bikin saya heran, tak ada satupun yang keberatan dengan model sabung ayam yang dibuat oleh KH. Kholil As’ad. Kontestan yang kalah, malah dengan senang hati melaksanakan sembahyang sunnah dengan jumlah—yang saya yakini—belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dan anehnya, walaupun nggak ada taruhan uang dan keuntungan dari sabung ayam pada umumnya, mereka seringkali belum jera dan malah mengajak temannya untuk mengikuti sabung ayam yang diselenggarakan oleh KH. Kholil As’ad.
Mengenai keefektifan dakwah dengan cara ini, dari beberapa sumber, kebanyakan kontestan yang mengikuti sabung ayam di sana, akhirnya insaf dan malah kebanyakan rela mengabdikan diri di pesantren yang diasuh oleh KH. Kholil As’ad Syamsul Arifin. Dengan adanya tulisan ini, mungkin saja ada yang mau niru agar dakwahnya efektif? Biar nggak bisanya teriak-teriak aja gitu loh. Capek kan kalau keseringan teriak. Sayangi tenggorokanmu.
BACA JUGA Memahami Strategi Decoy Effect agar Nggak ‘Tertipu’ untuk Beli Produk dengan Harga Paling Mahal dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.