Menginjak tahun kedua di pesantren, saya benar-benar terobsesi menjadi modin.
Bagi seorang santri, lebih khusus saya sendiri, saat itu nggak ada cita-cita yang lebih paripurna selain menjadi manusia yang bisa manfaati. Seperti dalam falsafah Jawa, yang namanya ngelmu itu harus kanthi laku (ilmu harus dibarengi dengan amal). Dan modin adalah opsi yang paling mungkin buat saya ambil. Jalurnya pun relatif mudah. Apalagi dari desas-desus yang saya dengar dari omongan beberapa kawan di desa, penunjukan modin sekarang cukup dilakukan melalui tes di balai desa.
Selain pemahaman tentang fikih dan hal-hal dasar lainnya, calon modin harus mempunyai modal keberanian dan mental seorang psikopat. Ini penting karena nantinya modin akan sering berhadapan dengan mayat, dari yang mati wajar sampai yang hangus kebakaran, tubuh amburadul karena kecelakaan, bahkan yang mati karena sebab-sebab nggak lazim. Jadi, tidak hanya paham secara teoretis tata cara mengurus jenazah, modin juga harus memiliki kecakapan dalam mempraktikkannya.
Sistem penunjukan calon modin dengan rangkaian tes di desa saya sebenarnya baru hari-hari itu diterapkan. Sebelumnya pemilihan modin diserahkan penuh kepada pak kiai sebagai sesepuh desa untuk merekomendasikan nama-nama alumni pesantren yang dinilai layak menyandang profesi sakral tersebut. Rekomendasi dari pak kiai, siapa pun itu, secara afirmatif akan diumumkan sebagai tokoh kedua setelah pak kiai yang ditugaskan mendampingi masyarakat untuk urusan tahlilan dan pemulasaraan.
Bisa dipahami kalau peran modin di sini tidak lain adalah sebagai wakil dari pak kiai. Kalau pak kiai mengemban tugas khusus untuk ngemong (mengasuh) masyarakat melalui pengajian dan konsultasi personal, modin berperan mem-back up tugas-tugas lapangan seperti memimpin tahlilan dan ngurusi orang mati, Simpelnya, pak kiai menyampaikan teorinya, modin berperan sebagai eksekutornya.
Tapi nggak setiap orang yang ditunjuk langsung oleh pak kiai itu orang yang prigel (cakap) dan bisa diandalkan. Ada emang alumni pesantren yang pinternya masya Allah, tapi pas di lapangan malah kelihatan kayak orang idiot. Ini pernah terjadi, suatu ketika calon modin pilihan pak kiai di-training untuk memandikan jenazah salah seorang korban kecelakaan yang batok kepalanya pecah. Nggak ada yang tahu persis apa yang terjadi di balik bilik pemandian. Tapi yang dilihat warga, si calon modin ini tunggang langgang keluar dari bilik dengan wajah pucat pasi dan mual-mual nggak karuan.
Iya sih, mayat-mayat orang kecelakaan dengan kondisi mengenaskan memang sudah mendapat sedikit penanganan dari rumah sakit. Tapi yang namanya kepala pecah kan ya nggak bisa dibalikin utuh seperti sediakala. Untuk kasus jenazah seperti ini, di beberapa daerah orang mungkin akan meminta pihak rumah sakit agar sekalian mengurusnya. Dari memandikan sampai mengafani. Tapi kalau di desa saya, pihak keluarga pasti akan lebih mantep kalau jenazah dimandikan dari tangan modin.
Itulah kenapa seorang modin juga harus memiliki mental seorang psikopat. Bukan, bukan bakat membunuh, tapi lebih ke keterampilan dalam menghadapi hal-hal semacam itu: batok kepala pecah, usus brodol, daging terkoyak, dan hal-hal menjijikkan lainnya. Modin dituntut harus tatag menghadapi kondisi mayat yang penuh borok dan berdarah-darah. Modin tak boleh tak memiliki kekuatan batin yang berlebih, yang tangguh luar dalam, apalagi baru lihat percikan darah sudah bergidik ngeri. Sebab modin nggak bisa milih model mayat seperti apa yang akan dia tangani.
Karena alasan tersebut jajaran perangkat desa bersepakat pemilihan modin harus melalui prosedur yang sudah disiapkan, agar kejadian suram sebelumnya nggak kembali terulang.
Sedari awal saya memang sudah memantapkan niat untuk mengikuti pendaftaran calon modin selulusnya dari pesantren nanti. Hal-hal yang bersifat fiqhiyah saya pelajari dengan tekun di pesantren. Saya juga mulai menata mental agar nggak kaget kalau harus berhadap-hadapan dengan mayat dengan kondisi nggak lazim. Lagian, saya ini sudah terlalu sering menyaksikan tubuh-tubuh tikus, ular, kodok, atau ayam tergeletak di jalan raya dengan usus berhamburan dan darah berceceran. Itu modal kecil yang saya pikir lebih dari cukup.
Sampai suatu hari, kawan saya yang tahu perihal cita-cita saya tersebut mengajak saya ke warnet yang nggak jauh dari pondok. “Kalau emang mau jadi modin, kamu harus nonton film ini, Kang, biar lebih kredibel,” ucapnya sambil mengetik judul film yang asing sekali di benak saya. Maklum, selama di pesantren saya ini emang kurang pergaulan.
Final Destination 5, begitu tulisan yang tepampang di layar komputer. Semula saya pikir film tersebut adalah film action biasa. Maka saya pun menyimaknya dengan penuh gairah. Dan ternyata saya salah kaprah.
“Asuuu! Bajingaaannn!” jerit saya ketika menyaksikan dari layar laptop adegan demi adegan kematian yang ngaudubillah bikin jantungan dan mual-mual. Saya malah hampir saja muntah di bilik warnet kalau kawan saya yang bangsat ini nggak menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya sebelum masuk warnet beberapa menit yang lalu.
“Gimana? Manteb tho?” pertanyaan retoris yang langsung saya sambar dengan jawaban, “Manteb ndiasmu apek wi. Kowe iki edyan po piye?” Kawan saya auto ngakak ngelihat wajah saya yang udah kayak ubi ungu rebus.
Bukannya apa, ini sutradara yang bikin film nggak ada otak apa ya. Saya nggak bayangin saja kalau semua adegan film itu dalam kehidupan nyata saya saksikan di depan mata saya sendiri. Ada tubuh manusia yang ketiban besi-besi jembatan, bola mata yang lepas dari orangnya dan dilindes ban mobil, seorang atlet yang jatuh dengan kondisi tulang yang… saya jadi mual lagi. Pokoknya nggak banget lah.
Parahnya nih, gegara ngelihat film itu saya jadi demam selama hampir lima hari dan selama itu pula nggak doyan makan sama sekali. Udah saya paksain buat makan, baru juga satu sendok eh udah mau muntah aja. Masih kebayang-bayang bola mata yang menggelinding di jalan raya, Hiiihhh. Apalagi tiap lihat anak-anak pesantren lalu-lalang bawa pentol. Wuuuhhh itu kuah sausnya udah kayak darah saja di mata saya.
Mengetahui kondisi saya yang lemah lunglai, alih-alih prihatin, kawan saya yang bangsat tadi malah ketawa terpingkal-pingkal sambil megangin perut. Kayak bahagia banget gitu lihat temennya jadi pesakitan. “Sekarang gimana, masih mau jadi modin?” pertanyaan yang membuat saya tersedak. “Ya… ya… jadi, masak nggak jadi,” jawab saya yang entah kenapa jadi gamang dan nggak semantap hari-hari sebelumnya. “Udah, jangan dipaksain. Ha wong lihat film aja sampai kayak gini, gimana kalau ngadepin yang beneran. Bisa malah kejang-kejang kowe.” Saya terdiam. Ada benernya juga sih. Mental psikopat sepertinya nggak ada dalam tubuh saya.
Saya sendiri pernah sekali lagi mencoba ngelihat adegan gore dalam beberapa film. Di antaranya film tentang kanibal dan seri lain Final Destination. Hasilnya? Benar saja, kali ini nggak hanya demam dan nggak doyan makan, tambah lagi tidur saya jadi nggak jenak saking parnonya. Hajingan.
Sejak saat itu saya mulai kembali menata niat dan memutuskan untuk urung menjadikan modin sebagai profesi. Kalau kahanannya kayak gini aku yo ndak kuat, dewe yo wegaaahhh.
Menjadi modin memang nggak semudah yang saya bayangkan. Dulu saya memandang modin sebagai profesi yang bakal membuat saya disegani masyarakat. Tapi harga yang harus dibayar ternyata sebegitu mengerikan. Bukan hanya itu, pekerjaan menjadi modin pada dasarnya adalah pekerjaan yang bakal banyak melibatkan pergolakan batin. Bagaimana tidak, satu orang meninggal bagi modin sama dengan pundi-pundi rejeki yang menanti. Bayangkan, bagaimana pak modin harus menentukan sikap, antara bersyukur atau prihatin.
“Aku iki kadang ya bingung og, Mas.” keluh modin desa saya suatu kali. “Kalau ada kabar orang mati, saya ini sebenere seneng banget mergo bakal diundang buat ngurus mayatnya sama mimpin tahlilan selama tujuh malam, dan itu wis mesti ada pesangonnya.”
“Ya Alhamdulillah tho, Pak,” timpal saya sekenanya.
“Alhamdulillah itu ya pasti. Tapi ya nggak wenak sama yang kena musibah. Kalau kata Warkop DKI itu namanya menyelam sambil minum air, memanfaatkan kesempatan dari kematian orang.”
Iya juga sih. Apalagi kalau yang mati banyak. Masa iya terus bilang, “Lareeesss maneeesss.” Meskipun diucapkan dalam hati, rasa-rasanya kok ya gimana gitu. Ah, beruntunglah saya sudah mengubur dalam-dalam hasrat untuk menjadi seorang modin. Kalau seandainya beneran jadi, disegani masyarakat sih iya, tapi apa saya bakal sanggup meladeni perdebatan-perdebatan kecil dalam hati saya. Lagi-lagi, gejolak batin seperti ini pastinya bakal teratasi kalau si modin udah punya bekal mental psikopat sedari awal. Karena yang namanya psikopat kan emang harus jadi raja tega.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Mengenal Istilah-istilah Kelamin yang Digunakan Orang Jawa untuk Memanggil Anak dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.