Di Balik Pro Kontra soal Daendels Ada Kita yang Kurang Banyak Baca Buku Sejarah

Di Balik Pro Kontra soal Daendels Ada Kita yang Kurang Banyak Baca Buku Sejarah terminal mojok.co

Di Balik Pro Kontra soal Daendels Ada Kita yang Kurang Banyak Baca Buku Sejarah terminal mojok.co

Perbincangan tentang Daendels yang viral belum lama ini mengundang perhatian saya. Obrolan mengenai kisah pembangunan jalan Anyer-Panarukan memicu silang pendapat di kalangan netizen. Sorotan utama tertuju pada adanya anggaran dana yang dikucurkan Daendels saat proyek pembangunan jalan di jalur Bogor-Cirebon digelar. Dalam penyaluran dana ke warga, bupati menjadi pihak penyalurnya. Dikatakan bahwa ada bukti penyerahan ke bupati, sementara dari bupati ke pekerja tiada bukti. Suara netizen terbelah. Ada yang meyakini itu sebagai fakta, ada pula yang meyakini itu sebagai isu belaka. Apakah jangan-jangan kita saja yang kurang belajar dari buku sejarah.

Riuhnya netizen ini mengarahkan saya untuk melihat kolom komentar Instagram satu per satu. Di kolom akun Narasi News Room didapati beberapa komentar yang menarik disimak. Terlepas dari komentarnya yang entah sengaja untuk guyonan, ngawur, atau memang itu berdasarkan pemahamannya, ada baiknya kita melihat keviralan Daendels ini dengan adem dan berdasarkan data yang kredibel. Dari aneka pendapat netizen saya menjumpai tiga hal menarik berikut ini.

#1 Penggunaan ringgit

Disebutkan bahwa Daendels menyediakan dana 30.000 ringgit guna membangun jalan Bogor-Cirebon. Netizen terganggu dan mempertanyakannya karena ringgit adalah mata uangnya Upin & Ipin. Netizen merasa data soal Daendels kurang valid karena seharusnya mata uangnya gulden. Dalam memahami pertanyaan ini, konteks ruang lingkup cara pandang kita seharusnya diletakkan pada awal abad ke-19 saat proyek jalan pos dijalankan. Di masa lampau, sistem alat tukar di Nusantara mengenal sen, cepeng, hepeng, peser, pincang, gobang, benggol, ketip, kelip, picis, tali, kupang, dan ringgit. Jadi, label ringgit di sini jangan disamakan dengan penggunaan di masa kini. Bacaan seputar perekonomian Indonesia tempo dulu dapat dilihat di buku Sejarah Perekonomian Indonesia karya R.Z. Leirissa, G.A. Ohorella, Yuda B. Tangkilisan, atau buku sejarah Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia karya Erwien Kusuma.

#2 Pemaknaan kerja rodi

Pembangunan jalan Anyer-Panarukan memang tidak dapat dilepaskan dari unsur pemaksaaan. Membangun jalan sepanjang seribu kilometer dalam tempo setahun adalah rekor di zamannya. Yang perlu diperhatikan adalah di jalur Bogor-Cirebon dihadapkan pada medan yang sulit. Sejarawan Djoko Marihandono menuturkan bahwa di jalur tersebut disiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, serta konsumsi oleh van Ijsseldijk. Dalam pembangunan jalan rute Cisarua-Cirebon disediakan 30.000 ringgit dan tambahan uang kertas. Pengucuran upah ini berdasarkan faktor beratnya lokasi seperti hutan lebat, batuan padas, lereng bukit, dan tingkat keterjalan. Selain upah, pekerja juga memperoleh garam dan beras. Di Historia nomor 23 tahun 2015 ditulis dengan lengkap terkait dana per rute seperti sepuluh ringgit perak per orang per bulan untuk jalur Cisarua-Cianjur. Rincian ini juga membahas pula untuk jalur Cianjur-Rajamandala, Rajamandala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, hingga Sumedang-Karangsembung.

Istilah kerja rodi lebih tepat untuk disematkan di luar jalur yang disebutkan tadi. Di Karangsembung, Daendels kehabisan dana operasional. Daendels lalu menekan Sultan Cirebon agar menyerahkan tanah guna pembangunan jalan. Dalam menghadapi habisnya dana, Daendels meminta seluruh bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyediakan tenaga kerja dengan sistem “heerendiensten”. Istilah ini dipakai untuk menyebut kerja wajib dari warga kepada raja. Pertimbangannya, selama ini warga menempati tanah milik raja. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi warga untuk memberikan sumbangsihnya bagi raja, yang salah satunya adalah menyukseskan pembangunan jalan pos yang melintasi wilayahnya.

#3Corak historiografi yang digunakan

Perlu diketahui bahwa dalam memandang sejarah kita perlu memperhatikan historiografi yang digunakan. Historiografi adalah penulisan sejarah, yang dalam metode penelitian sejarah berada di tahap akhir setelah interpretasi. Di pelajaran sejarah semasa sekolah kita mengenal adanya historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Hal ini memengaruhi nantinya kita memandang suatu peristiwa sejarah dari sebelah mana, mau dari sudut pandang istana-sentris, Belanda-sentris, atau Indonesia-sentris. Ini menjelaskan mengapa meski terlihat Daendels memberikan upah pembangunan jalan Bogor–Cirebon dan disinyalir dananya dikorupsi pejabat di bawahnya, pembelaan terhadap Daendels dapat dipastikan tidak akan nyaring di masyarakat kita hari ini.

Pelajaran sejarah terutama untuk anak sekolah umumnya bertujuan membentuk nasionalisme di diri siswa. Sosok hitam dan putih seolah wajib digambarkan jelas dalam peristiwa sejarah. Penggambaran sosok abu-abu sedapat mungkin dihindari agar siswa tidak bingung. Meskipun sejujurnya setiap tokoh sejarah memiliki sisi baik dan buruk. Maka tidak heran saat soal dana Daendels ini viral sontak banyak dari kita yang tergopoh-gopoh menerima info. Ini karena pola pendidikan yang berbasis menghafal tidak memberikan banyak ruang bagi siswa untuk berpikir kritis. Perkecualian bagi guru yang mengajar sejarah dengan model diskusi dan analisis yang dominan. Hal ini juga berlaku bagi guru yang dalam pengajarannya mengajak siswa untuk memahami sejarah dari banyak sumber dan tidak mengagungkan buku sejarah paket sebagai sumber belajar tunggal.

Bicara soal sejarah memang wajib menggunakan literatur berbobot guna memahaminya. Selain sumber bacaan di atas, buku sejarah  berikut ini layak dicoba jika hendak memahami seputar Daendels dengan lumayan banyak. Mulai dari Nusantara (karya Bernard Vlekke), Sejarah Kecil Indonesia-Prancis (Jean Rocher & Iwan Santosa), Dua Abad Jalan Raya Pantura (Endah Sri Hartatik), Gardu di Perkotaan Jawa (Abidin Kusno), Kuasa Ramalan (Peter Carey), Denys Lombard (Nusa Jawa Silang Budaya), Perang Napoleon di Jawa 1811 (Jean Rocher), Tanah Hindia (G.J.F. Biegman), Petani & Penguasa (Noer Fauzi Rachman), Dari Buku ke Buku (P. Swantoro), Legiun Mangkunegaran (Iwan Santosa), dan Wahyu yang Hilang-Negeri yang Guncang (Ong Hok Ham).

Memahami sejarah memang tidak semudah mengekor pada informasi yang berbasis konon, katanya, dan sepertinya. Asupan literatur dan buku sejarah yang berbobot turut membentuk corak multi perspektif dalam diri kita. You are what you read.

BACA JUGA Betapa Gobloknya Orang-orang yang Memuji dan Minta Maaf ke Daendels dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version