Banyak orang yang bilang bahwa tinggal di daerah pedesaan itu enak. Udaranya masih bersih, minim polusi, tidak bising, dan lingkungannya masih asri karena belum banyak terjamah oleh tangan-tangan manusia. Singkatnya, desa bebas polusi, tak memuakkan seperti kota.
Hal tersebut memang ada benarnya. Akan tetapi sebagai seorang yang telah menghabiskan seperempat abad tinggal di daerah daerah pedesaan, ingin mengklarifikasi bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Banyak hal-hal yang tidak diketahui oleh masyarakat non-pedesaan, bahwa di daerah pedesaan itu juga ada polusinya sendiri, yang mungkin tidak akan ditemukan di daerah perkotaan.
Desa bebas polusi pabrik, kendaraan motor, limbah, mungkin iya. Tapi kalau polusi dalam bentuk lain, desa jelas punya. Bahkan berlipat ganda. Setelah baca ini, saya yakin kalian akan segera menanggalkan predikat desa (itu pasti) bebas polusi.
Daftar Isi
Banyak masyarakat desa membuang sampah di area hutan
Saya tinggal di daerah Banyuwangi bagian selatan, dan daerah ini masih memiliki area hutan yang sangat luas. Sampai saat ini saya belum tahu mengapa banyak sekali orang-orang yang membuang sampah di hutan dan apa alasannya.
Tapi apa pun alasannya, hal ini sungguh tidak bisa dibenarkan. Hutan yang seharusnya jadi tempat yang indah dan asri kini malah banyak sampah menggunung. Jelas menganggu pemandangan mata, jelas mencemari udara. Yang lebih menyebalkan lagi, hal ini seperti tidak ada tindakan tegas dari pemerintah daerah. Buktinya sampai sekarang sampah-sampah tersebut semakin menggunung dan spot nya juga semakin bertambah.
Saya juga menyaksikan sendiri, bagaimana dengan sengaja, orang-orang menghentikan motornya kemudian “ujug-ujug” membuang satu kantung besar sampah ke daerah pinggiran hutan. Tanpa rasa bersalah apalagi takut. Seolah-olah hal itu sudah sangat wajar.
Padahal perihal membuang sampah adalah hal yang sangat dasar, dan diajarkan di sekolah semenjak kita duduk dibangku taman kanak-kanak. Akan tetapi, masalah ini seolah selalu dianggap remeh karena dampak yang ditimbulkan tidak langsung dialami oleh masyarakat. Ditambah lagi dengan peran pemerintah yang cukup letoy menangani hal-hal seperti ini.
Alhasil, jadilah hutan yang seharusnya menjadi sumber udara bersih dan asri juga ikut-ikutan tercemar karena ulah manusianya sendiri.
Membuang hewan mati di jalan
Salah satu hal yang paling tidak masuk akal dan mejadi penyumbang pencemaran di daerah desa adalah tangan-tangan manusia yang hobi sekali membuang bangkai hewan di jalan, bahkan di jalan raya.
Kalian heran? Apalagi saya yang lihat langsung.
Saya tidak habis pikir, dan menerka-nerka apa alasan mereka membuang hewan-hewan yang telah mati tersebut di jalanan. Bayangkan saja, dulu saat saya masih sering melakukan jogging di pagi hari, banyak sekali bangkai hewan yang saya temui di jalan pedesaan. Mulai dari bangkai tikus, ayam, hingga ular pun pernah saya temui dengan kondisi yang telah membusuk dan mengeluarkan bau tidak sedap.
Jadilah jalan-jalan di pedesaan tak luput dari pencemaran bangkai-bangkai hewan yang telah membusuk. Jalanan yang harusnya bersih dan nyaman untuk dilalui pejalan kaki maupun pemotor, kini sering ditemukan bangkai-bangkai hewan yang membusuk dan sudah dipastikan menjadi penyumbang bau yang tidak sedap. Hal ini tentunya sangat menganggu kenyamanan para pengguna jalan di desa. Padahal, apa susahnya mengubur hewan yang sudah mati, alih-alih membuangnya di jalanan yang dilalui oleh banyak orang.
Desa bebas polusi? Hah, bebas bangkai dulu aja deh.
Membakar kotoran ternak, hal yang amat biasa di desa saya
Mayoritas penduduk di daerah pedesaan menggantungkan hidupnya pada pertanian dan peternakan. Jadi tidak heran, di daerah saya sendiri mayoritas penduduknya memiliki hewan ternak sapi ataupun kambing. Selain karena pemeliharaannya cukup mudah, banyaknya area persawahan memudahkan peternak untuk mencari rumput sebagai pakan.
Akan tetapi, salah satu hal yang menjadi permasalahan hingga kini. Yaitu, pengelolaan dari limbah kotoran ternak itu sendiri.
Minimnya pengetahuan akan limbah kotoran ternak dan pemanafaatannya, para peternak di desa biasanya membakar limbah kotoran tersebut. Dan jangan tanya bagaimana bau dari kotoran hewan tersebut saat dibakar. Selain baunya yang tidak dapat ditoleransi, kandungan gas yang terdapat pada kotoran ternak tersebut bisa membahayakan kesehatan manusia. Terlebih jika membakar kotoran tersebut di pagi hari, tamatlah udara yang seharusnya segar dan bersih.
Padahal, jika mau sedikit berusaha, limbah kotoran ternak tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan bisa dijual. Atau berikan pada petani-petani yang membutuhkan. Hal tersebut biasa dilakukan oleh ayah saya sendiri. Ketika kotoran kambing sudah menumpuk banyak dan mengering maka akan diberikan pada petani buah naga atau siapa pun yang membutuhkan.
Membakar tanaman jagung bekas panen dan debu hasil penggilingan padi atau kedelai
Polusi yang satu ini mungkin bisa sedikit ditoleransi, karena para petani memang tidak ada pilihan lain. Limbah tanaman jagung bekas panen yang dibakar sungguh sangat menjengkelkan. Meskipun jarak rumah saya dari sawah juga tidak terlalu dekat, tapi limbah hasil pembakaran ini bisa beterbangan cukup jauh, hingga mengotori lingkungan sekitar bahkan bisa masuk rumah.Saya tidak membayangkan bagaimana keadaan rumah yang sangat dekat bahkan berdampingan dengan tempat pembakaran limbah tersebut.
Selain itu, sumber polusi yang lain bisa berasal dari debu-debu hasil penggilingan padi atau kedelai. Meskipun debu ini tidak beterbangan cukup jauh seperti limbah tanaman jagung tadi, tapi debu ini cukup membahayakan jika dihirup secara langsung, yaitu bisa mengakibatkan batuk-batuk. Jika terkena kontak mata, akan membuat mata menjadi merah karena iritasi. Untungnya polusi-polusi ini terjadi hanya saat musim panen tiba, selebihnya kita bisa lebih leluasa menikmati udara bersih di daerah persawahan.
Agaknya, kita harus segera meninggalkan kepercayaan desa bebas polusi yang kelewat lama kita pegang. Hadapi kenyataan, bahwa desa sebenarnya tak ada bedanya dengan kota, perkara menghadapi sampah. Sama-sama gagap, sama-sama tak tanggap.
Penulis: Elisa Erni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal yang Bikin Saya Nggak Betah Tinggal di Desa