Sudah beberapa bulan ini proses perataan rumah dan bangunan yang melekat dengan Jeron Beteng Jogja terus bergulir. Hampir tiap hari saya melewati rumah-rumah tersebut dan rasanya mak deg. Inilah cerita akan derita yang saya rasakan setelah tergusur oleh tembok keraton dan terpaksa pindah ke Bantul.
Masih lekat dalam ingatan masa kecil saya, cerita saat simbah menyuapi sambil menggendong hingga ke pojok beteng kulon. Simbah lainnya lalu menggoda saya dengan menanyakan, “Ndi pesekke?” Lalu saya yang masih anak-anak spontan menunjuk hidung dan membuat mereka tertawa.
Saya lahir dan sempat tinggal di Kampung Kadipaten. Kini, saya mengontrak di sisi pojok beteng yang lain. Dulu, saya dan teman-teman masih bisa melihat jalan raya dari atas pojok beteng. Teman yang iseng menakut-nakuti dengan isu hantu di salah satu pojokan. Tapi itu tidak membuat kami berhenti main ke sana. Lalu posyandu, coblosan atau pilkada pertama saya, salat tarawih, semua dilakukan di balai RW yang letaknya di bawah pojok beteng.
Dengan dipugarnya bangunan-bangunan di sekitar Beteng Kraton Jogja, kenangan-kenangan itu jadi terasa menyesakkan. Selain itu, masyarakat juga akan kehilangan angkringan-angkringan yang menjajakan makanan murah.
Tapi, yang menurut saya paling menyesakkan adalah orang-orang yang terpaksa pindah rumahnya. Pemerintah memberi mereka ganti rugi untuk membeli rumah. Akan tetapi, apakah cukup untuk beli rumah di dalam Kota Jogja? Ternyata tidak.
Daftar Isi
Kalau mau tinggal di Kota Jogja, hanya kuat ngontrak
Harga kontrakan di Kota Jogja, minimal, Rp10 juta per tahun. Tapi, rata-rata belasan juta sampai lebih dari 20 juta per tahun. Sementara itu, uang ganti rugi dari penggusuran rata-rata maksimal adalah Rp200 juta. Maka, hanya bisa beli rumah subsidi atau KPR di pinggiran kota seperti di daerah Sedayu, Pajangan, atau sejenisnya, pokoknya di Bantul.
Sedangkan warga Jeron Beteng selama beberapa generasi sudah nyaman di Kota Jogja. Mau ke mana-mana dekat. Mau beli apa-apa mudah. Sekolahan, pekerjaan, semua di kota. Sedih banget mereka yang harus pindah sekolah dan kerja juga kalau dapat rumahnya jauh di pinggiran Bantul.
Pemerintah katanya ingin memberikan ganti rugi yang sepadan seperti diberitakan media massa. Tapi bisakah demikian?
Derita pindah ke Bantul
Saya akan memberi sedikit gambaran pengalaman saya ketika pindah ke pinggiran desa di daerah Bantul, tahun kemarin. Setelah menikah dan anak berumur 5 bulanan saya dan suami memutuskan untuk ngontrak. Karena masih belum mapan, kami ngontrak di pinggiran yang biaya sewanya terjangkau dan rumahnya luas serta bersih.
Akan tetapi, setelah beberapa bulan, saya menemui banyak kesulitan. Jarang ada warung dan letaknya lumayan jauh kalau harus jalan kaki. Terutama warung makan yang menyediakan sayur dan lauk matang. Karena kadang kami tidak sempat masak, anak rewel jadi tidak bisa ditinggal, atau lagi pengin jajan sesuatu karena bosan. Kondisi ini berbeda jauh saat kami tinggal di Kota Jogja. Keluar rumah sudah ada warung, tukang bakso lewat, pilihan menunya banyak.
Selain itu karena kami masih banyak urusan di kota, jadi hampir tiap hari kami masih ke kota naik motor. Iya, bawa bayi yang umurnya belum setahun. Padahal perjalanannya sekitar 30 menit ke pusat Kota Jogja. Belum lagi kalau ke Sleman atau daerah utara, bisa sampai sejam. Belum perjalanan pulangnya. Badan rontok rasanya tiap hari. Kadang pulang malam karena mampir istirahat dulu di rumah ibu.
Ongkos bensin jadi boros. Akses jalan juga bisa membuat motor kami bolak-balik bengkel. Tentu saja itu membuat kami mengeluarkan biaya ekstra. Kalau ingin naik bus Trans Jogja cukup sulit karena letaknya jauh. Harus naik ojek online dulu. Keluar biaya lagi.
Terdapat jurang perbedaan di bidang kesehatan dan pendidikan
Tingkat pengetahuan orang-orang posyandu dan nakes juga berbeda di Bantul. Anak saya sempat dikatakan tidak apa-apa kalau Berat Badan (BB) tidak naik 2 kali. Padahal sudah di garis merah KMS 2 kali. Saat itu saya tidak puas dan membawa anak saya periksa ke Kota Jogja. Setelah cek lab, diketahui ada anemia hingga TBC. Bahkan belakangan ternyata ada masalah sensori, alergi makanan, sampai masalah pencernaan atau diare akut.
Lalu rumah sakit yang ada di kabupaten tidak sebanyak di Kota Jogja. Jadi ketika darurat, kami bingung harus ke IGD mana. Saat sakit dan perlu dirujuk, kami kekurangan referensi. Sementara itu, jika tinggal di kota, pilihan rumah sakitnya lebih beragam. Pendaftarannya juga bisa online. Tempatnya biasanya lebih bersih dan luas.
Tempat bermain anak juga jadi hal yang perlu dipertimbangkan ketika akan memilih tinggal di pinggiran. Karena bosan ya kalau tiap hari di rumah saja, apalagi anak-anak. Di pinggiran jarang ada taman, tempat bermain, atau ruang terbuka yang aman. Kadang kalau ada, letaknya jauh, Ada juga yang sudah rusak.
Dengan berbagai kemudahan yang didapatkan di tengah Kota Jogja, rasanya berat untuk meninggalkannya. Bagi yang bersekolah di kota pasti rasanya berat jika pindah sekolah di desa. Kualitas pendidikan masih timpang. Gaji di kota dan di desa apalagi. Masih banyak lagi yang perlu dipertimbangkan. Jadi sudah seharusnya warga Jeron Beteng mendapatkan ganti rugi yang layak.
Penulis: Nur Fitriatus Shalihah
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.