Februari 2025, saya resmi menyandang status lulusan S2 dari salah satu kampus negeri di Jogja. Awalnya saya memandang punya gelar magister itu nggak bakal merana. Maklum, dulu saya masih percaya dengan nasihat para orang tua yang bilang gini: “Sekolah yang tinggi, biar sukses.”
Pada akhirnya, saya nggak percaya lagi sama kalimat bijak itu. Bahkan saya “murtad” dari kalimat yang nggak terbukti. Jujur saja, saya kesal percaya sama kalimat di atas. Saya yakin, kalimat tersebut berasal dari cara pandang hidup beberapa tahun silam, saat mereka masih muda, dan tak lagi cocok dikatakan sekarang.
Mungkin, orang zaman dulu yang sekolahnya tinggi bisa dengan mudah mendapat pekerjaan yang baik, enak, dan bergaji besar. Sebab, dulu sarjana begitu langka, apalagi magister dan doktor.
Di satu desa, mungkin hanya ada 1 atau 2 orang saja yang bisa menyandang status lulusan S2. Sekarang? Sebaliknya. Sarjana itu hal biasa.
Banyaknya lulusan S2, salah satunya di Jogja, berbanding terbalik dengan lowongan pekerjaan yang ada. Yang ada hanya malah rasa bingung. Mau melamar dosen kok susah. Melamar guru, ya, kok malah dikasihani. Ya, seperti yang saya alami ini.
Mencari kerja di Jogja
Setelah resmi menyandang status lulusan S2, saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja karena beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah karena tak ada pekerjaan yang layak bagi lulusan S2 di kampung saya.
Saya harus jujur tentang ini. Apalagi saya tak sendiri karena beberapa teman juga enggan pulang dengan alasan yang sama. Walhasil, kami sama-sama mencari kerja di Jogja.
Saat itu, saya belum menemukan lowongan kerja untuk jadi dosen. Makanya, saya memutuskan melamar jadi guru di beberapa sekolah d Jogja. Mulai dari tingkat SD sampai SMA.
Saya tidak menghitung jumlah kiriman lamaran karena saking seringnya mengirim. Beberapa lamaran membuahkan hasil dan saya sempat sampai di tahap wawancara. Namun, semua mentok sampai di tahap itu saja. Tidak ada yang menjadi berkah bagi saya.
Baca halaman: Lulusan S2 ditolak sekolah Muhammadiyah karena NU…
Lulusan S2 ditolak sekolah Muhammadiyah karena NU
Dari sekian wawancara yang saya Jalani, ada sekian alasan yang saya kira membuat mereka menolaknya. Jika hanya karena kurang cocok, entah karena tidak linier dengan jurusan atau memang kemampuan tidak memadai, saya bisa memaklumi. Tapi, alasan karena beda aliran, tentu saja itu bikin saya patah hati.
Tahan dulu, biar saya jelaskan.
Pertama, banyak lembaga pendidikan yang berbasis Muhammadiyah di Jogja mensyaratkan punya KTA Muhammadiyah bagi pendaftar. Saya, sebagai seorang NU, pasti tidak akan mengajukan lamaran di lembaga tersebut.
Namun, saya menemukan beberapa lembaga yang tidak memasukkan KTA sebagai syarat. Saya kira mereka “mungkin” lebih terbuka. Namun, dugaan saya salah. Mereka tetap saja tanya apakah saya Muhammadiyah atau tidak.
Kedua, dan ini menambah perih patah hati saya. Ketika membaca CV saya, mereka seharusnya tahu bahwa saya dari Madura. Sebagian besar warga Madura, pasti NU. Apakah mungkin mereka nggak tahu anekdot lucu: “NU adalah agamanya orang Madura”?
Nah, sudah begitu, mereka tetap menerima lamaran saya dan mengundang saya ke sesi wawancara. Eh, saat wawancara mereka nanya saya ormas mana. Tahu gitu kan saya nggak perlu capek ikut tes tulis dan microteaching.
Dikasihani karena nggak tega menggaji lulusan S2 dengan gaji kecil
Alasan yang ini membuat saya tambah bingung. Entah mau respect sama kepala sekolahnya atau malah kasihan sama diri sendiri.
Jadi, suatu kali seorang staf sekolah mengabari saya. Isinya adalah penolakan. Alasannya adalah mereka kasihan kepada saya, seorang lulusan S2, apabila menerima gaji yang terlalu kecil.
Awalnya saya mau sedih. Tapi kok alasan itu tampak seperti tidak ingin merendahkan lulusan S2 yang seharusnya dapat gaji layak di Jogja. Mau bangga, tapi saya sudah mewanti-wanti tidak masalah dengan gaji kecil itu saat wawancara.
Tapi, ya sudah, mungkin itu adalah bagian dari jalan terjal kehidupan yang harus saya lewati dengan tabah dan hati-hati. Saya tetap bersyukur masih bisa bertahan dengan menjadi guru privat di Jogja. Setidaknya saya masih bisa bertahan di tanah rantau tanpa bantuan orang tua. Itu adalah suatu kebanggaan tersendiri.
Ada 1 hal yang saya tahu dari opini beberapa teman, yang sampai hari ini saya setengah percaya setengah tidak. Katanya gini:
“Mau pintar dan tinggi ijazahmu, bakal kalah sama yang punya orang dalam.” Meskipun saya tahu bahwa sekelas wapres dibantu bapaknya, saya tetap tidak sepenuhnya percaya dalam pendidikan ada tradisi semacam itu.
Mungkin saya terlalu idealis tentang pendidikan. Dan kalian bisa memarahi saya tentang itu!
Penulis: Abd. Muhaimin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Malangnya Lulusan S2 UGM yang Kesulitan Bertahan Hidup di Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
