Derita Jadi Lulusan S2 yang Hidup di Desa, Dianggap Gagal dan Kuliahnya Sia-sia 

Derita Lulusan S2 yang Hidup di Desa, Dianggap Gagal dan Kuliahnya Sia-sia  Mojok.co

Derita Lulusan S2 yang Hidup di Desa, Dianggap Gagal dan Kuliahnya Sia-sia  (unsplash.com)

“Ngapain jadi lulusan S2 kalau nggak jadi dosen.”

Kalimat di atas terdengar sederhana, tapi cukup nyelekit di hati beberapa orang. Salah satunya di hati saya. Di usia muda, 24 tahun, saya ini berhasil menyabet gelar magister dari salah satu universitas di Kota Semarang. Usia yang masih belia dan modal ijazah membuat saya percaya diri bersaing di dunia kerja. 

Akan tetapi, itu semua hanya rencana. Sebab, orang tua memanggil pulang ke kampung lantaran bapak sakit. belum resmi merayakan predikat S2 lewat wisuda, saya memutuskan pulang. Persoalannya semakin berat karena para tetangga. Seolah tidak tahu keadaan, para tetangga memberi beban tidak kasat mata melalui celetukan-celetukan seperti di atas dan “habis ini jadi dosen ya?”

Ekspektasi para tetangga yang terlalu tinggi

Dalam bayangan para tetangga, anak-anak kampung yang pergi merantau untuk melanjutkan pendidikan pasti bakal punya karir mentereng di masa depan. Apalagi dengan embel-embel lulusan S2, pasti bakal banyak kantor-kantor yang menerima kerja. 

Padahal kalau balik lagi ke realita, cari kerja jaman sekarang susah. Tambah tinggi jenjang pendidikan makin sulit cari kerja yang maunya sesuai dengan latar belakang pendidikan. 

Belum lagi kotak-kotak jenis pekerjaan yang harus sesuai dengan latar pendidikannya. Jurusan pendidikan harusnya jadi guru atau jurusan Hukum cocoknya jadi pengacara. Dan, banyak pengelompokan lain yang kian memusingkan.  

Padahal mah, orang tua sendiri nggak nuntut anaknya buat jadi apa nantinya setelah lulus kuliah. Kuliah sampai S2 bukan jadi patokan atau alasan untuk dapat kerja yang prestise.

Baca halaman selanjutnya: Dibilang biaya …

Dibilang biaya kuliah nggak balik modal

Bagi anak non-beasiswa seperti saya, biaya kuliah S2 emang nggak sedikit. Uang UKT sebesar Rp7 juta harus dibayarkan oleh orang tuanya setiap semester. 

Ditambah lagi biaya hidup selama merantau di Semarang tanpa ada pekerjaan sampingan. Jadi 100% ditanggung oleh orangtua. Pastinya ekspektasi para tetangga nanti setelah lulus bakal bisa kerja dengan gaji di atas UMR buat balikin uang modal kuliah.

Pas sudah jadi lulusan S2, jalan hidup tidak membuat saya langsung jadi doesen. Bukannya nggak mau, cuma kampus-kampus incaran menolak lamaran yang diajukan. Daripada nganggur lama akhirnya saya bekerja sebagai guru SD di sekolah swasta. 

Mengetahui hal itu, para tetangganya sempat berkomentar, “Kalau taunya jadi guru mah kuliah di sini juga bisa, nggak perlu sampai ke Jawa.” Apalagi sampai di babak hitung-hitungan pendapatan yang katanya nggak seberapa sama uang yang sudah orang tua keluarin buat biaya kuliah. Duh, sakit hatinya bukan main. Emang benar ya kalimat “orang luar cuma bisa ngomong doang.”

Lulusan S2 jadi bahan perbandingan oleh mereka yang nggak kuliah

Selentingan para tetangga yang saling adu kehebatan anaknya sering terdengar. Bukan siapa yang nikah duluan, tapi siapa yang udah dapat kerjaan enak, dekat dari rumah, dan dicap mapan di usia muda. Seolah-olah keberhasilan setiap anak ditentukan dari pekerjaan yang mapan dan gaji besar. 

Tidak sedikit teman-teman sebaya di kampung yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan stabil. Sudah bisa beli motor baru padahal belum satu tahun kerja dan cuma tamatan SMA. Jelas ini jadi bahan membanding-bandingkan yang “renyah” untuk saya yang lulusan S2.

Untungnya, omongan nyelekit para tetangga itu berhasil dibungkam karena saya lolos CPNS Dosen 2024. Saya lalu pindah ke Bali karena ditempatkan untuk mengajar di salah satu politeknik disana. 

Dari sini, bisa kita ambil hikmah kalau semua ada waktunya. Di tengah menunggu waktu yang tepat itu memang akan ada banyak tantangan. Salah satunya omongan tetangga yang nyelekit di hati. Tapi, biarlah semua itu berlalu dan waktu yang akan menjawabnya. 

Penulis: Legi Aspriyanti
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 5 Perguruan Tinggi Swasta Terbaik di Bandung dari Kacamata Orang Lokal, Nggak Kalah dari Kampus Negeri.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version