Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus

Anak Hukum Sok Eksklusif dan Merasa Paling Unggul, padahal Suka Curang Plus Cuma Bisa Pamer Hafalan Undang-undang!

Raihan Muhammad oleh Raihan Muhammad
15 Juni 2025
A A
Anak Hukum Sok Eksklusif dan Merasa Paling Unggul, padahal Suka Curang Plus Cuma Bisa Pamer Hafalan Undang-undang!

Anak Hukum Sok Eksklusif dan Merasa Paling Unggul, padahal Suka Curang Plus Cuma Bisa Pamer Hafalan Undang-undang!

Share on FacebookShare on Twitter

Saya anak jurusan Hukum, tapi saya muak dengan anak-anak Hukum. Bukan, bukan karena mereka jahat atau semena-mena kayak tokoh antagonis sinetron sore. Tapi, karena beberapa kebiasaan kecil, yang makin lama makin terlihat seperti penyakit menahun. Semacam batuk kering ideologis yang disamarkan dengan jas almamater dan kutipan Montesquieu.

Dari luar, anak jurusan Hukum sering dianggap keren. Kalau rapat, bicaranya berat. Kalau ngetik caption, bahasanya setengah peradilan. Tapi begitu kenal lebih dekat, kadang saya bingung: ini teman kuliah atau kontestan orasi di sidang PBB? Mereka suka sok debat, padahal diskusinya ngambang. Dikit-dikit “menurut KUHP”, padahal masih bingung bedain delik biasa dan delik aduan.

Entah kenapa, jadi anak Hukum tuh rasanya kayak diharapkan bisa menjawab semua masalah dunia. Tapi, kalau diminta analisis pasal, jawabannya sering “coba nanti kita kaji bareng-bareng”.

Saya tahu, setiap jurusan pasti punya kelakuan khas. Tapi, entah kenapa, kelakuan khas anak Hukum ini kadang kelewat performatif. Bicara soal keadilan, tapi lupa antre di kantin. Bahas HAM, tapi typing-nya capslock semua pas debat di WhatsApp. Saya nggak bilang saya suci, nggak. Saya juga bagian dari kekacauan itu. Sebagai sesama penumpang kapal ini, kadang saya cuma pengin bilang, “Bro, chill dulu nggak sih?”

Daftar Isi

  • Merasa eksklusif dan elitis
  • Sering melanggar hukum (di pemira)
  • Jauh dari tanah, jauh dari rakyat
  • Sarjana hukum, bukan sarjana undang-undang

Merasa eksklusif dan elitis

Salah satu hal yang cukup membuat saya mengernyit adalah kecenderungan sebagian anak jurusan Hukum merasa dirinya lebih unggul dibandingkan mahasiswa dari jurusan atau fakultas lain. Sejak masa ospek, kalimat seperti “satu anak Hukum setara dengan lima puluh mahasiswa dari jurusan lain” pun sering terdengar seperti mantra wajib. Entah siapa yang pertama kali menciptakan narasi itu, tapi efeknya terasa lama. Seolah-olah kuliah di Hukum otomatis membuat seseorang lebih rasional, lebih penting, dan lebih punya otoritas bicara di segala forum.

Masalahnya, rasa percaya diri itu kadang berubah jadi sikap eksklusif yang tipis-tipis menyebalkan. Diskusi jadi ajang unjuk teori, bukan ruang saling dengar. Anak jurusan lain baru mulai berbicara, langsung dipotong dengan kutipan undang-undang. Alih-alih membuka ruang berpikir, gaya debat seperti ini justru mengunci percakapan di balik dinding formalitas. Kita seolah lupa bahwa dunia nyata jauh lebih kompleks daripada bunyi pasal dan tafsir doktrin.

Ini bukan fenomena satu kampus saja. Teman-teman dari universitas lain pun cerita soal hal yang sama. Bahwa kultur merasa “lebih” itu ditanamkan sejak awal, lalu tumbuh liar seiring waktu. Mungkin niat awalnya agar kita punya kepercayaan diri sebagai calon sarjana Hukum. Tapi kalau tidak dibarengi dengan kesadaran sosial dan rasa rendah hati, ujung-ujungnya malah menjauhkan kita dari realitas. Jadi bukan cuma merasa pintar, tapi juga lupa caranya jadi pembelajar.

Saya bahkan pernah iseng melakukan semacam “penelitian kecil-kecilan”. Ngobrol santai dengan beberapa mahasiswa dari jurusan dan fakultas lain, cuma buat tahu gimana sih pandangan mereka terhadap anak-anak Fakultas Hukum. Jawabannya cukup konsisten: anak jurusan Hukum, katanya, sering kelihatan elitis. Dari luar, kesannya eksklusif. Seperti ada tembok tak kasatmata yang memisahkan kami dari yang dianggap “bukan bagian dari Hukum”.

Sering melanggar hukum (di pemira)

Kalau ada satu momen ketika anak Hukum benar-benar menunjukkan wajah aslinya, itu biasanya saat pemilihan raya (pemira). Entah kenapa, setiap masuk musim pemilihan raya, suasana fakultas berubah jadi simulasi negara dalam keadaan darurat. Debat kusir jadi tontonan harian, saling lapor ke panitia jadi rutinitas, dan mendadak semua orang jadi pakar konstitusi kelembagaan. Tapi, lucunya, di balik semua jargon demokrasi dan legalitas, praktiknya sering jauh dari etis—bahkan melanggar aturan yang dibuat sendiri.

Saya pernah menyaksikan langsung bagaimana pasal-pasal dalam Tata Tertib Pemira bisa ditafsir ulang sesuka hati. Ada yang sengaja memanipulasi jadwal, menyisipkan syarat administratif dadakan, bahkan menyabotase hak suara dengan alasan teknis. Dan anehnya, semua itu dibenarkan dengan bahasa hukum yang rapi. “Secara formil sah kok,” katanya. Tapi, kalau dicek substansinya, baunya busuk banget. Anak Hukum, yang katanya penjaga aturan, justru kadang jadi aktor utama pelanggaran—asal hasil akhirnya menguntungkan kelompoknya.

Parahnya lagi, banyak yang menganggap ini hal biasa. Katanya, “politik memang begitu.” Tapi, buat saya, justru di sanalah masalahnya. Kalau di usia segini saja sudah menghalalkan segala cara demi jabatan sepekan dua pekan di BEM, apa yang bisa kita harapkan kalau nanti masuk ke dunia birokrasi sungguhan? Pemira seharusnya jadi ruang belajar demokrasi dan integritas, tapi sering berubah jadi panggung sandiwara legal-formal yang penuh manipulasi. Dan ya, pelakunya, sayangnya, banyak dari (oknum) anak-anak Hukum.

Jauh dari tanah, jauh dari rakyat

Ironis memang. Di atas kertas, kita belajar tentang keadilan sosial, HAM, negara hukum, dan perlindungan kelompok rentan. Tapi, di luar kelas, banyak dari kita justru kehilangan koneksi dengan apa yang sedang benar-benar terjadi di luar pagar kampus. Anak Hukum sering terlalu sibuk membahas legal reasoning, judicial review, atau pasal-pasal ideal dalam undang-undang. Tapi lupa menyentuh realitas mereka yang hak-haknya benar-benar dilanggar. Kita terlalu nyaman berdiri di balik meja diskusi, tapi enggan turun ke lapangan, menyapa yang tertindas.

Saya pernah ikut forum kemahasiswaan lintas fakultas yang membahas soal pelanggaran HAM. Yang hadir dari Fakultas Hukum bisa dihitung jari. Dan dari yang hadir pun, sebagian besar justru sibuk membahas prosedur administrasi negara dan legalitas (normatif), bukan soal bagaimana warga kehilangan tempat tinggal dan akses hidup layak. Seolah-olah, selama negara menjalankan prosedur hukum, maka semuanya sah dan beres. Sensitivitas terhadap penderitaan sosial seakan lenyap di balik dalil normatif yang kaku dan terlalu teknokratis.

Mungkin inilah kenapa anak jurusan Hukum sering dianggap elitis bukan hanya oleh jurusan lain, tapi juga oleh masyarakat yang seharusnya kita bela. Kita sibuk mengkritik negara, tapi lupa menjadi bagian dari rakyat. Kita bicara soal reformasi hukum, tapi enggan menyentuh mereka yang jadi korban ketidakadilan. Padahal, tugas hukum bukan cuma menertibkan, tapi juga membebaskan. Kalau kita, calon sarjana hukum, malah tumbuh jadi manusia yang apatis dan tidak berpihak, maka untuk siapa sebenarnya semua pasal dan teori itu kita pelajari?

Sarjana hukum, bukan sarjana undang-undang

Saya tahu, tidak semua anak Hukum seperti yang saya ceritakan. Saya pun punya banyak teman satu fakultas yang rendah hati, progresif, dan benar-benar punya kepedulian sosial yang tulus. Ada yang rajin turun advokasi ke warga, ada yang rajin edukasi hukum di desa-desa. Bahkan ada yang lebih sering nongkrong bareng masyarakat termarginalkan ketimbang ikut rapat formal yang penuh basa-basi. Mereka ada, dan merekalah alasan saya masih punya harapan terhadap jurusan ini.

Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan. Justru sebaliknya. Ini adalah cara saya menegur diri sendiri, dan mungkin anak-anak Hukum di luar sana, agar tidak terlalu nyaman dalam romantisme intelektualisme. Kritik ini lahir dari kecintaan. Karena saya yakin, Fakultas Hukum seharusnya tidak hanya menghasilkan penghafal pasal atau penggila debat, tapi juga manusia hukum yang tahu kapan harus mendengar, kapan harus membela, dan kapan harus turun langsung ke medan realitas yang tidak steril.

Kalau kita terus becermin hanya pada bayang-bayang kemegahan gelar “sarjana hukum”, kita bisa lupa bahwa hukum itu lahir bukan untuk memuliakan pasalnya, tapi untuk melayani manusia. Jadi, sebelum terlalu sibuk jadi ahli hukum dalam teori, mungkin ada baiknya kita belajar jadi manusia seutuhnya dulu. Yang tahu caranya berpihak, dan tahu bahwa adil tidak selalu soal bunyi pasal, tapi soal keberanian untuk hadir. 

Karena sejatinya, mahasiswa hukum dididik untuk menjadi sarjana hukum, bukan sarjana undang-undang.

Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mahasiswa Jurusan Hukum Menyesal Kuliah Hukum, Pilih Cari Kerja di Luar Bidang Hukum biar Nggak Tertekan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 15 Juni 2025 oleh

Tags: anak hukumjurusan hukummahasiswa hukum
Raihan Muhammad

Raihan Muhammad

Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan.

ArtikelTerkait

4 Siasat agar Selamat Kuliah di Jurusan Hukum sampai Lulus

4 Siasat agar Selamat Kuliah di Jurusan Hukum sampai Lulus

16 Juni 2025
Culture Shock Mahasiswa Hukum: Kuliah Serba Hafalan hingga Gaya Hidup yang Hedon

Culture Shock Mahasiswa Hukum: Kuliah Serba Hafalan hingga Gaya Hidup yang Hedon

12 Desember 2023
4 Ciri Nyentrik Mahasiswa Jurusan Hukum yang Membuat Mereka Begitu Mudah Dikenali Mojok.co

4 Ciri Nyentrik Mahasiswa Jurusan Hukum yang Membuat Mereka Begitu Mudah Dikenali

17 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pengalaman Menggunakan Samsung S21+ Selama 2 Tahun Bikin Saya Yakin Mending Beli Flagship Seken ketimbang Hape Midrange Baru hape samsung saber line samsung a06 5g

Samsung Galaxy A06 5G, HP Murah yang Nggak Laku padahal Bagus Banget

15 Juli 2025
Derita Bisnis Es Teh Jumbo yang Terancam Gulung Tikar (Unsplash)

Derita Pedagang Es Teh Jumbo yang Jualannya Terancam, Sudah Pasang Harga Murah Masih Kedatangan Pesaing Berat

11 Juli 2025
Soto Mie Bogor Adalah Soto Paling Nyeleneh, Mending Ganti Nama Saja

Soto Mie Bogor Adalah Soto Paling Nyeleneh, Mending Ganti Nama Saja

14 Juli 2025
Pengalaman Menggunakan Samsung S21+ Selama 2 Tahun Bikin Saya Yakin Mending Beli Flagship Seken ketimbang Hape Midrange Baru hape samsung saber line samsung a06 5g

13 Tahun Menjadi Pengguna Samsung: Kadang Sebel, Kadang Sebel Banget, tapi Nggak Mau Pindah, Telanjur Sayang

10 Juli 2025
Sisi Gelap Penjual Angkringan yang Perlu Diwaspadai, Pelanggan Sebaiknya Hati-Hati Mojok.co angkringan jogja

Bagi Saya, Angkringan Jogja Itu (Kini) Overrated, Tidak Perlu Dipuji Sampai Setinggi Itu

13 Juli 2025
Kampel: Makanan Khas tapi Nggak Semua Orang Purwokerto Tahu

Kampel: Makanan Khas tapi Nggak Semua Orang Purwokerto Tahu

13 Juli 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=ek8g_0FrLQM

DARI MOJOK

  • Hak Prerogatif Tuhan di Ponpes Waria Al Fatah
  • Sheila On 7, HIVI!, dan Suasana Riang di Bawah Panggung JVWF Music Fest 2025
  • Hari-hari Terasa Berat bagi Petugas Atlantis Land Surabaya, Lebih Suka Debat dengan Pengunjung daripada Kerja di Wahana Mangkrak
  • Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi
  • 4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!
  • Orang Berpostur Tinggi Sering Dikira Banyak Privilese seperti Gampang Cari Kerja, padahal Penuh Kerepotan

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.