Saya tertarik dengan tulisan Mbak Ayu Octavi Anjani yang berjudul Fandom Habib Rizieq Memang Layak Menang Best Fandom Award! Melalui tulisan tersebut, blio mengatakan fandom Habib yang jadi idola seluruh manusia Indonesia ini adalah fandom terbaik. Saya hanya nggak setuju dalam bagian fandom BTS kalah jumlah.
Ya, ini sih bagian dari pencitraan karena kapok Twitter saya pernah diserang Army tujuh hari tujuh malam. Serangannya sudah seperti perang antara Arab dan Israel. Pokoknya ngeri.
Namun ya itu tadi, fandom Habib Rizieq bisa dikatakan jempolan. Terabas segala tantangan, babak bundas urusan belakangan. Jika Mbak Ayu Octavi Anjani membandingkan dengan fandom Korea, saya lebih setuju semisal fandom Habib Rizieq ini seperti suporter bola.
Ada semacam idiom menarik di akar rumput sepak bola. “Kita nggak ke mana-mana, tetapi kami ada di mana-mana,” sebuah kalimat penuh intimidasi, menandakan bejibunnya para suporter bola. Namun tunggu dulu, jebul nih ya, bukan hanya suporter bola dan fanbase Korea yang punya suporter fanatik, Habib Rizieq pun ada di garda terdepan jika urusan lautan massa.
Melihat lautan masa penjemputan Habib Rizieq ini saya jadi kepikiran, apa nggak buat sesuatu, gitu? Layaknya YouTuber setelah angka pengikut menginjak satu juta, langsung bikin march, vapour, atau komunitas.
Sejatinya, daya tarik Habib Rizieq ini pernah memberikan daya tarik tersendiri, yakni lautan massa demonstrasi cinta damai sentosa raya. Katanya nih ya, mohon maaf untuk Army dan fans Manchester United, katanya lho ya, ini katanya, saya sih nggak tahu, cuma ya katanya, jumlah yang datang itu tujuh juta orang mengelilingi Monas.
Angka itu bukan angka yang sedikit. Jika aksi massa itu masih rutin menggelar reuni, bisa saja RANS Entertainment lewat. Lihat saja, betapa meruginya jika fanbase sebanyak ini, tidak diberikan sebuah manfaat yang berlipat-lipat. Saya kasih contohnya, ya. Tiga saja. Kalau banyak-banyak takut saya blunder.
Pertama, buat film. Entah itu film biografi, film kumpulan Habib Rizieq ceramah dengan super menenangkan itu, atau malah film yang berkisah mengenai perjalanan blio selama umrah di Arab. Tiga elemen ini amat penting, apalagi yang terakhir. Sebagai salah satu orang yang kagum dengan sepak terjang blio, saya sangat penasaran, apa nggak capek Habib Rizieq umrah 3,5 tahun lamanya?
Saya yakin yang menonton akan lewat. Rekor jumlah penonton film Indonesia, saat ini masih dipegang Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dengan jumlah 6,8 juta. Mengekor Dilan 1990 dengan 6,3 juta. Angka ini bakal lewat semisal para peserta demonstrasi Monas itu, menyaksikan kiprah junjungannya di bioskop. Tujuh juta, Hyung! Bayangkan saja!
Setali dengan rencana pembukaan beberapa bioskop di kota-kota Indonesia. Selain mengusik hegemoni Warkop DKI dan Dilan, para penonton yang jumlahnya kurang lebih tujuh juta ini bisa membangkitkan kembali dunia perfilman Indonesia. Sekaligus, tamba lara dengan gagalnya film 212: The Power of Love di pasaran.
Kedua, handshake. Intinya jangan mau kalah sama JKT48! Mereka saja mengusung tema “Idol yang dapat ditemui”, saya yakin Habib Rizieq akan melakukan apa pun untuk penggemarnya. Begini, konsep handshake atau bersalaman di JKT48 itu “saling memotivasi”. Para fans bilang, “Kakak cantik banget”, kemudian para Oshi bilang, “Terima kasih, Kak. Semangat buat hari ini,” dengan senyuman paling membekas di kehidupan para Wota.
Ini lho temen saya, dulu pernah salaman sama Oshi-nya, tiga hari tiga malam blio nggak bisa tidur. Sekaligus emoh cuci tangan, makanan pakai tangan, dan segala kegiatan yang melibatkan tangan kanan. Ketika naik motor, bahkan blio sudi nggak menggunakan fitur motor yang bernama gas. “Kempol pegel nggak masalah, yang penting tangan Mbak Melodi membekas tanpa resah!” katanya.
Nah, Habib Rizieq saya yakin bisa lebih sentimentil dari itu. Saya yakin bahwa bersalaman dengan Habib Rizieq bukan hanya menghadirkan semangat, tetapi juga mendekatkan diri dengan kapling surga. Luar biasa. Harusnya, sih, handshake ini gratis. Saya sih bakal berusaha keras untuk ambil bagian di garda paling depan. Semisal harus bayar pun saya trabas!
Ketiga, menulis di Terminal Mojok. Tentunya, kita sangat ingin tahu pengalaman-pengalaman blio selama di Arab. Melalui tulisan adalah cara paling sahih untuk menuntaskan rasa penasaran para penggemarnya. Apalagi ngirimnya di Mojok. Kan, jamaah Mojokiyah amat, ehem, welcome dengan blio. Itu pun kalau lolos kurasi, sih.
BACA JUGA Perjalanan Fans K-Pop yang Bertobat dari Sifat Barbar dan tulisan Gusti Aditya lainnya.