Memasuki dunia orang tua, khususnya ibu-ibu, seperti berada di dunia perpeloncoan yang sesungguhnya. Mengerikan luar biasa. Banyak perdebatan terjadi, bahkan perihal asisten rumah tangga.
Dimulai dari pemberian ASI atau susu formula, pemakaian popok sekali pakai atau popok kain (clodi), perbedaan cara pengasuhan anak, dan masih banyak lagi. Apa pun itu pasti ada pihak yang mencari-cari kekurangan dan kesalahannya.
Tapi, maaf, saya belum pernah ikut-ikut dalam pilihan hidup orang lain. Selama mereka bertanggung jawab atas keputusan dan keluarganya, ya itu urusan mereka. Tidak perlu ikut campur. Ngurus diri sendiri aja belum tentu benar, kok mau menggurui. Hiks….
Belakangan ini saya tergelitik dengan adanya pembicaraan baru di dunia peribu-ibuan. Yakni perihal mempekerjakan Asisten Rumah Tangga (ART). Bukan lagi tentang kesulitan mencari ART, kegundahan ART tidak kembali pasca cuti lebaran, atau ketidakcocokan ART dengan keluarga, melainkan keluarga tanpa ART merasa lebih baik daripada yang memiliki ART.
Kenyataannya ada keluarga yang mempercayakan pekerjaan domestik pada seorang asisten rumah tangga, ada yang tidak. Dan lagi-lagi hal tersebut menimbulkan perdebatan. Minimal upload dokumentasi anak disertai dengan kepsyen yang biasanya kurang nyambung dengan ilustrasi.
“Nih lho, saya aja bisa nggak dibantu ART, padahal saya kerja.” ujar wanita karier di sebuah perkantoran. “Semua urusan domestik dan anak-anak saya yang handle dibantu suami. Apalagi saat SFH begini…. Harus pintar-pintar bagi waktu.” tulis seorang bunda sembari membagikan video anaknya yang sedang belajar mengeja.
“Kok ada ya anak seusianya belum bisa baca tulis? Padahal ibunya di rumah aja. Nggak malu sama ibu-ibu kantoran yang anaknya udah bisa ina inu? Heran akutu….” dan masih banyak lagi tulisan-tulisan yang mengandung toxic (yang positivity saja belum) lainnya.
Di ujung sana ada seseorang yang teriris hatinya membaca celetukan tersebut. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak masih kecil-kecil kok ya bisa-bisanya dibantu asisten rumah tangga. “Sudah nggak kerja, anak masih dibantu momong orang tua/mertua, pekerjaan rumah dikerjakan ART. Masih aja rumah berantakan. Aku ni ngapain aja?” Pikir ibu-ibu itu sambil menyusui anaknya yang barusan lahir.
Ada lagi wanita karier yang tidak sempat mendampingi anaknya belajar. Merasa tak cukup waktu, ia mempercayakan pada ahli dibidangnya, memanggil guru les. Baju masuk laundry, mau makan tekan tombol di handphone tinggal menunggu ojol datang, serta tampak robot sapu dan pel otomatis yang berkeliling di rumahnya. “Huh kok bisa ya?” batin ibu yang bekerja tanpa asisten rumah tangga tadi. “Kalo aku sih…” [sebagian teks hilang]
Nggak masalah kok bund, nggak dosa. Dengan atau tanpa asisten rumah tangga tak membuatmu lebih mulia atau hina.
Begitu kata saya. Iya, saya. Saya yang pernah ada pada posisi itu semua. Ya kuliah, ya punya anak, ya nggak ada ART. Saya kerjakan semua pekerjaan rumah dibantu suami. Maklum, posisi masih di rantau saat itu. Sama sekali tidak ada pikiran bahwa saya ibu yang luar biasa hebat. Anu, Bund, di sana yang kayak gitu banyak. Alias akeh tunggale…
Saya juga sempat memiliki ART sekembalinya di Indonesia. Padahal saya hanyalah Ibu Rumah Tangga alias di rumah saja. Orang tua dan mertua kadang datang bergantian. Ya nggak membuat saya merasa hina juga.
“Don’t put yourself in other’s shoes…”
Kita tidak pernah tahu tentang rumah tangga orang lain. Ada tipe-tipe suami yang tidak mau melihat istrinya letih. Jadi, pundi-pundi hartanya sebagian dibagikan ke orang-orang yang mau membantu pekerjaan rumahnya. Bisa jadi….
Atau mungkin Anda termasuk ke dalam tipe orang yang kurang mantap jika pekerjaan rumah dan anak-anak diurus orang lain? Atau bahkan tidak percaya kalau orang lain bisa menggosok baju lebih licin dari Anda? Jangan salahkan orang lain yang tak sepemikiran dengan Anda.
Sekali lagi, kebutuhan rumah tangga masing-masing berbeda satu sama lain. Selama anda tidak ikut repot ngurusin, hargailah keputusan masing-masing. Toh juga anda nggak diminta iuran membiayai ART-nya. Hahaha….
Jangan-jangan yang terjadi sebenarnya adalah Anda tidak nyaman berada pada kondisi saat ini? Mendengus gelisah, mengapa mereka terlihat lebih enak hidupnya ketimbang Anda yang sudah lelah bekerja dan masih harus mengurus rumah serta anak? Alih-alih beristirahat, malah waktunya habis untuk mencela hidup yang tak sama. Ngurusin hidup orang lain lagi akhirnya.
Aduh, Bund, mengapa tak sekalian Anda bayarkan token listrik dan SPP anaknya saja?
BACA JUGA Sebenarnya, Seberapa Penting Rewarding dalam Parenting Itu?