Bencana demi bencana melanda Indonesia. Banjir merendam beberapa wilayah hingga tanah longsor terjadi di hari-hari menjelang akhir tahun ini, saat curah hujan mulai naik. Bukan cuma bencana hidrometeorologi yang sudah “rutin” terjadi, bahkan baru-baru ini, gempa menggetarkan dan merobohkan bangunan-bangunan di Cianjur dan menimbulkan ratusan korban jiwa. Sebagai bentuk mitigasi bencana ke depannya, apa yang pemerintah dan masyarakat lakukan?
Mari kita bicarakan tentang pemerintah dulu karena mereka punya power yang kuat. Power di sini maksudnya adalah kemampuan untuk melakukan riset, melakukan sosialisasi, atau mengalokasikan dana untuk upaya-upaya pencegahan lainnya. Lalu, apakah pemerintah sudah memaksimalkan power itu?
Saat gempa mengguncang daerah Pasaman Barat, Sumatera Barat pada Februari lalu, warga mengaku tidak pernah tahu ada ancaman gempa di bawah tanah tempat mereka tinggal. Padahal, potensi gempa akibat aktivitas sesar Sumatera bisa terjadi kapan saja. Hingga akhirnya, gempa yang terjadi di awal 2022 itu menelan belasan korban jiwa dan merusak ribuan rumah warga. Semua itu mungkin bisa diminimalisasi jika literasi kebencanaan masyarakat dibangun sejak awal.
Seolah belum belajar dari peristiwa itu, gempa di Cianjur seakan mengulang sejarah. Belum banyak warga yang menyadari bahwa mereka berdiri di atas zona sesar Cimandiri dengan potensi gempa yang dimiliki. Kurangnya literasi bencana, berujung pada kurangnya kesiapan mitigasi bencana, dan akhirnya menimbulkan kerusakan hingga korban yang banyak.
Masyarakat yang tidak pernah dikenalkan dengan penyebab gempa secara saintifik pun hanya bisa bertumpu pada kepercayaan untuk menjelaskan bencana alam yang terjadi. Beberapa orang menuding individu-individu yang melakukan maksiat telah mendatangkan azab. Beberapa menganggap daerah yang terkena bencana dipenuhi pendosa. Saya sebenarnya enggak masalah dengan kepercayaan itu. Namun, ada baiknya alih-alih fokus dengan dosa-dosa personal yang sangat sulit dikontrol (karena pasti banyak, tersebar di mana-mana, susah diberi pendekatan secara langsung, dsb.), kita juga tidak abai dengan penjelasan ilmiah dari bagaimana bencana alam, seperti gempa, bisa terjadi.
Dengan mengetahui bahwa daerah yang terkena gempa dengan kerusakan parah memang berada di atas kawasan sesar aktif, mungkin kita tidak akan langsung berasumsi bahwa daerah tersebut dipenuhi oleh para pendosa. Dan mungkin akan membuat kita mencari tahu tindakan konkrit apa yang bisa dilakukan jika berada di zona rawan. Misalnya, menuntut pemerintah untuk mengedukasi atau melakukan simulasi mitigasi gempa secara rutin.
Pemerintah Jepang adalah contoh pemerintah yang belajar dari sejarah. Ketika gempa berkekuatan 9,0 magnitudo dan mendatangkan tsunami pada 2011, ditambah dengan keadaan geografis yang membuat Jepang menjadi rawan gempa, pemerintah pun mulai melakukan berbagai upaya mitigasi. Mulai dari simulasi gempa di sekolah dasar yang dilaksanakan secara rutin, hingga peringatan gempa yang akan masuk ke ponsel pengguna beberapa detik sebelum gempa terjadi. Di sisi lain, kita di sini mendapatkan informasi terkait gempa beberapa detik atau bahkan menit setelah gempa terjadi.
Hal itu menunjukkan penelitian maupun riset terkait kebencanaan kita masih perlu ditingkatkan. Upaya pencegahan, minimalisasi risiko, dan membangun budaya sadar bencana harus semakin digencarkan. Dan semua itu menuntut kita untuk melek sains.
Jadi, ketika pemerintah menerapkan upaya-upaya pencegahan bencana, kita sebagai masyarakat pun harus terbuka dan bersikap kooperatif. Dengan kata lain, baik pemerintah maupun masyarakatnya jangan sampai antisains. Kuat iman dibarengi melek sains, demi keberlangsungan hidup kita semua ke depannya.
Penulis: Ni Made Tasyarani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Siap Sedia Hadapi Bencana dengan Tas Siaga Bencana