Sebagai orang yang berkecimpung di organisasi eksternal mahasiswa, walaupun nggak aktif-aktif amat, saya sudah kenyang dengan perselisihan dan saling sikut dengan organisasi eksternal mahasiswa yang lain. Menurut saya, persaingan dan kontestasi itu hal yang biasa dan wajar. Yang nggak wajar adalah ketika sampai benci dengan alasan yang nggak jelas.
Contohnya dulu saya menulis soal HMI dan PMII di fakultas saya sendiri yang isinya kebanyakan guyon dan tidak menghina integritas. Apa yang saya dapat dari sebuah artikel lucu-lucuan? Sebuah caci maki dan hinaan yang nggak nyambung dengan isi artikelnya. Belakangan, beberapa hari yang lalu di kampus saya viral dengan sebuah skrinsut seorang oknum dari organisasi PMII yang menyebarkan chat berisi ujaran kebencian (?). Kurang lebih, isinya seperti di postingan ini.
Tapi, di postingan media sosial pribadi yang bersangkutan ada klarifikasi lain yang menyatakan bahwa bukan dirinya yang mengetik dan menyebarkan chat tersebut. Entah siapa pun pelakunya, yang pasti saya nggak tahu pelajaran sejarah apa yang ia dapat dan dari mana informasi yang ia dapat sampai bisa menjelekkan organisasi lain dengan narasi sejarah yang kacau. Lantas, apa dengan cara begitu ia kira organisasinya akan mendapat banyak kader? Bukan, bukan maksud saya organisasinya jelek dan salah.
Untuk kasus yang satu ini, murni yang bersangkutan saja yang blangsak. Sebab, saya punya teman dari organisasi lain dan mereka berpikiran lebih baik. Kalau mau menjatuhkan, kenapa nggak dengan retorika dan fakta yang baik sebagai akademisi sekaligus aktivis organisasi? Kalau kayak gitu nggak ada bedanya dengan buzzer mah.
Setidaknya ada tiga kerugian yang ia tanggung setelah membuat narasi bodoh seperti itu:
Pertama, membuat berita yang isinya menjelek-jelekkan organisasi lain tak lantas membuat organisasimu terlihat lebih baik di mata orang lain. Yang ada orang-orang cenderung ilfil dan hilang respek. Kapasitasnya sebagai seorang kader organisasi jadi diragukan.
Kedua, kebencian dan fanatisme itu tidak akan membantu dalam hal apapun. Misalnya itu hadir dari bisikan senior, apakah kelak senior itu akan membantu dalam proses selanjutnya di jenjang setelah kuliah? Tidak akan, senior pasti akan sibuk cari kerja dan mementingkan diri sendiri. Ujung-ujungnya, kamu cuman seperti pion catur. Dia yang senang, kamu yang tertebang.
Ketiga, ketahuan kadar cerdasnya. Label jelek dan sederet cacian akan terus tersemat. Boleh jadi malah seumur hidup. Kamu cuman dianggap kader organisasi yang sotoy, lalu yang jelek siapa? Organisasi sendiri, padahal organisasinya adalah organisasi yang baik. Tidak ada riwayatnya organisasi diajarkan untuk saling membenci.
Seminggu yang lalu saya ngopi dan ngobrol dengan teman saya yang seorang kader dari organisasi yang sama dengan si pembuat onar itu. Saya berbincang soal masalah kontestasi yang makin tidak sehat antara HMI dan PMII di Ciputat. Kenapa kami berbicara soal itu? Sebab, kultur politik tak sehat di organisasi eksternal mahasiswa sudah kelewatan. Berbicara masalah pluralitas agama, anak UIN memang baik, sangat baik. Tapi, menyangkut urusan politik kampus, mereka luar biasa kelewatan. Semuanya dihantam, nggak pakai filter, dan semua cara dihalalkan.
Dari pembicaraan itu saya dapati beberapa hal yang sama-sama kami amini soal kontestasi politik kampus yang makin ambruk, mulai dari kebencian yang nggak masuk akal sampai kultur organisasi eksternal mahasiswa yang mulai berubah orientasi.
Kami merunut bahwa kebencian antar organisasi tidak didasari dengan alasan yang wajar. Sebenarnya bagaimana sih awal mula kebencian tersebut? Setahu saya, HMI dan PMII adalah dua organisasi yang membawa wajah Islam yang sangat moderat. Di HMI, ada Cak Nur yang membawa gagasan tersebut dan PMII di bawah naungan NU yang jelas kita tahu sangat moderat dalam beragama. Lalu, apa yang dipermasalahkan? Kenapa wajah Islam moderat malah saling menyerang satu sama lain? Lagian, HMI dan PMII adalah saudara lama. Mahbub Djunaidi, ketua pertama PMII adalah kader HMI pada mulanya.
Soal kolaborasi, kita tahu bahwa organisasi eksternal yang memenangi kontestasi politik kampus akan menguasai segala lini organisasi internal. Mulai dari tingkat jurusan sampai tingkat universitas, kenapa masih ada ego untuk tidak berkolaborasi dalam memajukan tempat berteduh yang sama? Apa semacam najis jika bersatu dan berkolaborasi? Mungkin ini kesalahan senior di atas yang malah menanamkan paham bahwa wadah itu, ya, buat diri sendiri. Kenapa harus berbagi, kalau bisa dikuasai. Mohon maaf, itu bukan contoh moderat, sih.
Selain itu, HMI dan PMII yang saya kenal adalah organisasi dengan kultur akademik dan keilmuan yang luar biasa. Apa segitu pentingnya sampai bidang lain dikacangin? Tidak semua kader menyukai politik. Memang pelajaran politik lewat kontestasi itu baik tapi kenapa orientasi politiknya makin berat sebelah. Sampai-sampai, mahasiswa non-organisatoris menganggap organisasi eksternal mahasiswa itu adalah partai kampus. Padahal, nyatanya itu bukan visi-misi organisasi eksternal mahasiswa.
Kalau masih saja begitu dan kita tidak mencoba memutus rantai kebencian, saya katakan bahwa organisasi eksternal mahasiswa sudah gagal. Khususnya di UIN Jakarta sendiri.
BACA JUGA 5 Lauk yang Secara Misterius Selalu Ada di Berkat Tahlilan dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.