Tagar #saynotoprank menjadi trending karena kelakuan gila seorang konten kreator yang melakukan prank terhadap ojek online. Tidak tanggung-tanggung, konten kreator tersebut memesan pizza seharga 1 juta dan tiba-tiba cancel. Sudah ditebak alurnya, setelah membiarkan bapak ojek online itu sedemikian tersiksa dan menderita, ia datang bak pahlawan memberikan “segepok uang”. Helloo, lu pikir uang segitu bisa otomatis menghapus luka batin si bapak ojol tadi?
Heran, dewasa ini kok semakin banyak ya orang-orang senang melihat penderitaan orang lain? Kok makin lama, makin banyak ya orang yang “kebelet jadi hero”? Dia pikir dengan skenario dia datang memberi uang setelah melakukan “penyiksaan batin” kepada korban prank, ia lantas dianggap sebagai orang yang dermawan? Bukan begitu, Ferguso!
Sebenarnya ada begitu banyak prank yang tidak masuk akal yang berseliweran di media sosial. Prank hancurin kosmetik pacar, prank dikejar orang gila, prank homo, prank hey Tayo, prank mandi di lampu merah, prank hantu, dan prank-prank lainnya. Memang tujuan awalnya untuk lucu-lucuan. Tapi pada akhirnya prank ini digunakan untuk menambah popularitas dan pundi-pundi uang.
Tapi, apakah lucu-lucuan harus begitu? Apakah demi kata “lucu” dan “menghibur” kita rela menjual “ketersiksaan” orang lain akibat prank yang dibuat. Misal, ada prank dikejar orang gila sampai tercebur ke sawah. Lalu kru prank dengan bahagianya menadatangi korban dan berteriak “prank!” Lalu semua orang tampak tertawa puas. Mbok yo mikir, kalau ternyata korban prank tadi sudah janjian ketemu dengan pacar, terpaksa ia batalkan karena keadaannya begitu. Pun, itu termasuk pelecehan orang gila. Tidak semua orang gila begitu. Yang ada malah jadi generalisasi kalau semua orang gila suka mengganggu orang. Pernah nggak sih mikir begitu kalian yang hobi bikin konten prank?
Bagi Anda yang melakukan prank dengan tujuan menambah “adsense” tapi dengan menampilkan penderitaan orang lain, Anda kejam dan sangat keterlaluan. I see human, but no humanity. Anda turut melanggengkan rantai setan, artinya akan ada orang yang mengikuti langkah Anda bertidak demikian. Selamat, Anda turut menyumbang dehumanisasi pada pengikut Anda.
Harusnya fokus tagar “say no to prank” bukan hanya pada ojol saja. Tapi kepada semua prank yang meresahkan masyarakat. Sudah tahu kalau “hantu” adalah sesuatu yang ditakuti, masih nekat bikin prank. Di jalan raya pula. Kalau korban prank sampai terjatuh saat berkendara lalu tulangnya patah, apa sampeyan mau menanggung biaya rumah sakit, recovery, dan biaya hidup selama proses penyembuhan? Belum lagi kalau korban prank lebih pintar, Anda yang nge-prank jadi hantu tiba-tiba menyeberang jalan, bisa habis ditabrak korban. Anda juga yang merugi kan?
Saya tidak kontra terhadap prank, kadang saya juga senang bercampur kesal kalau dikerjai pas ulang tahun. Namun, dalam kapasitas sewajarnya dan pada konteks yang sesuai. Tidak sampai diikat di pohon lalu dilempar telur dan diguyur air satu drum. Kalau itu bukan prank, itu bullying dan penyiksaan. Kalau atas nama prank tapi ujung-ujungnya menyakiti hati, untuk apa? Kalau atas nama prank tapi merugikan, untuk apa?
Saya jadi teringat novel Fantasteen Ghost Dormitory in Cairo karya Marsella Azuela, bercerita tentang 5 orang yang bersahabat melakukan prank “menjauhi” salah satu sahabatnya bernama Neferti. Tujuannya baik, agar Neferti sadar akan keegoisannya dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi, bukannya sadar, Neferti justru makin bringas. Ia bahkan menjual jiwanya kepada iblis bernama Rhea. Ia memutar waktu agar teman-temannya menderita dan mengacaukan dunia. Orang-orang yang harusnya tidak mati, terjebak dalam lingkaran loop. Tentu kisah ini berakhir tragis dengan kematian sahabat dan penyesalan tokoh utama.
Dear konten kreator, mohon lebih bijak ketika ingin membuat konten. Tolong lihat dari sudut pandang siapa pun yang terlibat dalam konten Anda. Tolong gunakan Pancasila sila ke-2 sebagai landasan membuat konten, yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Manusia harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama derajatnya, hak, dan kewajibannya.
BACA JUGA Stop, Bikin Konten Prank Ojol! atau tulisan Winda Ariani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.