Saya pernah beli zukini (zucchini) semata-mata karena penasaran dengan rasanya. Di grup fitness para mama yang saya ikuti dan berpusat di Amerika Serikat, sayuran sebangsa labu ini kerap dijadikan menu pengganti spaghetti. Vegetti, begitu nama alat yang dapat membuat sayuran menjadi berbentuk mirip mi. Sepertinya merek tersebut berasal dari kata vegetable dan spaghetti.
Oh iya, zukini tersebut saya beli di sebuah jaringan supermarket besar di Semarang. Setelah sebelumnya salah membeli ketika belanja di Yogyakarta (malah beli timun Jepang), kali ini saya pastikan tidak salah lagi. Zukini yang saya beli harganya sekitar Rp12.000,00 per buahnya. Saya beli dua buah, sekadar biar pantas. Soalnya saya malu kalau cuma beli satu.
Oleh karena saya tidak punya alat yang sudah saya sebutkan di atas, zukini tersebut hanya saya potong-potong memanjang, tentunya setelah kulitnya dikupas terlebih dahulu. Sesuai dengan resep yang banyak dibagikan di grup fitnes para mama dari Amerika Serikat itu, saya hanya meng-saute sayur tersebut dengan bawang putih dan merica. Tentunya dengan tetap diberi garam.
Ketika matang, saya agak curiga. Tekstur dan aromanya mengingatkan saya pada sesuatu. Benar saja, ketika saya mencoba, rasa tumisan zukini itu sangat jauh dari spaghetti. Lebih mirip dengan tumisan labu siam. Ralat, persis sama dengan rasa tumisan labu siam. Padahal harga labu siam hanya Rp2.000,00 per tiga biji. Saya sedikit kecewa, tapi tetap aku rapopo. Setidaknya sudah nggak penasaran lagi.
Mengapa harga zukini bisa jauh sekali di atas harga labu siam padahal rasanya serupa? Tentu saja karena sayuran yang pertama adalah produk impor. Bukan rahasia bahwa harga barang impor di Indonesia jauh lebih tinggi daripada barang produksi lokal maupun harga barang tersebut di tempat asalnya.
Kita lihat contoh harga zukini. Tahun 2020, satu kilogram zukini di Perancis dihargai sebesar 1,92 euro. Ini setara Rp32.300 per kilogram. Rata-rata satu kilogram berisi delapan zukini. Ini berarti harga per buahnya hanya sebesar Rp4.037,50. Harga sayuran ini di Semarang tiga kali lipat harganya di Perancis.
Salah satu hal yang membuat produk impor di Indonesia terasa mahal adalah pajak yang dibebankan. Setidaknya ada tiga jenis pungutan yang dikenakan pada produk impor, yaitu Pajak Penghasilan (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) dan bea masuk.
Per 30 Januari 2020 yang lalu, ambang batas pembebasan bea impor atau yang sering disebut de minimis bea impor via e-commerce diturunkan menjadi USD 3. Ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman. Artinya pembelian barang impor yang harganya setara dengan Rp42.000 (kurs Rp 14.000) dikenakan bea masuk. Nilai yang sangat kecil dibandingkan dengan ambang batas sebelumnya yaitu sebesar USD 75.
Meskipun demikian, dilakukan juga penyesuaian tarif. Sebelumnya aturan tersebut diubah, besaran tarif yang dikenakan untuk produk impor di atas USD 75 adalah sebesar 27,5 persen hingga 37,5 persen pasca-penurunan ambang batas tersebut maka tarifnya menjadi 17,5 persen. Rinciannya adalah dari bea masuk sebesar 7,5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) nol persen. Namun produk tekstil, tas, dan sepatu impor dikenai tarif yang lebih mahal. Bea Masuk untuk tas sebesar 15-20 persen, sepatu 25-30 persen, dan untuk tekstil 15-20 persen. Sementara PPN sebesar 10 persen dan PPh 7,5-10 persen.
Kita ambil zukini yang saya beli sebagai contoh perhitungan pajak. Jika saya mengimpor sepuluh kilogram zukini dari Perancis, maka pajak yang saya tanggung adalah sebagai berikut:
Harga 10 kg zukini dari Perancis = 10 x Rp32.300,00 = Rp323.000,00
Bea masuk 10 kg zukini= 7,5% x nilai barang= 7,5% x Rp323.000,00 = Rp24.225,00
PPN= 10% x (nilai barang + bea masuk) = 10% x (Rp. 323.000,00 + Rp24.225,00) = 10% x Rp347.225,00 = Rp34.722,50
PPh= 0% (zukini bukan salah satu produk tekstil, tas maupun sepatu)
Total harga setelah pajak dan bea masuk= nilai barang + bea masuk + PPN + PPh = Rp323.000,00 + Rp24.225,00 + Rp34.722,50 + Rp0 = Rp381.947,50
Dari perhitungan tersebut, pajak memang menambah harga barang impor, namun tidak terlalu signifikan. Jadi apa yang sebenarnya membuat harga barang impor di Indonesia terasa mahal? Jawabannya adalah ongkos logistik.
Ongkos logistik di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, importir harus mengeluarkan ongkos logistik antara 30 persen hingga 36 persen dari total nilai barang, sedangkan di Singapura hanya 16 persen dan Malaysia 17 persen.
Ongkos logistik yang masih tinggi itu, membuat harga barang impor di Indonesia sangat mahal. Terlebih para importir tidak hanya membayar ongkos logistik yang resmi, namun juga uang jaminan yang kerap kali tidak dikembalikan secara utuh karena kontainer yang digunakan rusak.
Kembali ke contoh impor sepuluh kilogram zukini yang saya lakukan. Ongkos logistik yang harus saya bayar adalah sebesar 30 sampai 36 persen nilai barang. Kita ambil nilai tengah sebesar 33 persen.
Ongkos logistik = 33% x nilai barang = 33% x Rp323.000,00 = Rp106.590,00
Total biaya yang saya keluarkan = harga setelah pajak + ongkos logistik = Rp381.947,50 + Rp106.590,00 = Rp488.537,50
Hampir lima ratus ribu rupiah. Cukup jauh dari harga asli yang hanya Rp323.000,00 bukan? Itu belum saya masukkan biaya untuk membayar uang jaminan (karena saya tidak menemukan besarannya). Belum lagi jika ada dokumen yang tidak lengkap sehingga barang tertahan beberapa hari di pelabuhan (ini akan menambah ongkos logistik). Ditambah kalau ada zukini yang busuk sehingga tidak bisa dipasarkan.
Dengan melihat besarnya biaya yang ditanggung importir untuk membuat zukini tersebut sampai ke tangan saya, wajar rasanya jika labu yang di negara Prancis sana harganya hanya empat ribu rupiah per buah dijual tiga kali lipatnya setelah sampai di Indonesia. Tapi, sebagai konsumen pelit nan irit yang pura-pura peduli dengan jejak karbon, sepertinya mulai saat ini saya akan makan labu siam saja alih-alih zukini. Toh rasanya serupa.
BACA JUGA Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China, Bukan Hanya Belanja Barang Impor dari Mr. Hu dan tulisan Maria Kristi lainnya.