Kita semua tahu bagaimana rasanya ketika produktivitas kerja terhambat karena satu dan lain hal. Kalau yang rugi diri sendiri, nggak apa-apa. Tapi kalau yang rugi ternyata orang banyak, ya jadi masalah yang lebih gede. Sebenarnya, menemui hambatan dalam menjalankan peran sehari-hari adalah sebuah hal yang wajar bagi semua orang karena setiap profesi di dunia ini pasti memiliki hambatannya masing-masing. Tak terkecuali seorang atlet.
Kalau dipikir-pikir, jadi atlet—yang terkenal—itu berat karena seorang atlet tak berbeda dengan figur publik. Keuntungan didukung oleh orang banyak harus sebanding pula dengan konsekuensinya. Sekali prioritas terganggu karena distraksi, maka seluruh mata akan memandang dengan tajam.
Jenakanya, atlet-atlet negara kita ini memiliki distraksi yang menarik untuk ditertawakan. Ada yang sekali juara langsung tergiur dengan tawaran bintang iklan sosis, ada yang banting setir ke dunia hiburan, ada juga yang tergiur tawaran partai, ada juga yang belum keliatan prestasinya tapi udah eksis banget di media sosial, dan kasus-kasus kocak lainnya.
Dari banyaknya contoh kasus tersebut, yang sedang menarik diperbincangkan saat ini adalah kasus atlet bucin. Kita selalu diwanti-wanti oleh pepatah lama yang mengatakan bahwa ada tiga hal yang dapat menghancurkan laki-laki, yakni harta, takhta, dan wanita (untuk perempuan sebaliknya). Yang ketiga ini memang racunnya kebangetan karena buktinya terlihat di mana-mana. Sebenarnya nggak masalah sih kalau atlet pacaran, yang jadi masalah itu kalau sampai berpengaruh ke kariernya.
Atlet yang punya tanda-tanda pacarannya jadi distraksi ke kariernya ini biasanya diawali dengan berpacaran dengan figur publik. Tapi nggak semua kok, cuma ya kebanyakan sih gitu. Gaya hidup figur publik yang glamornya kebangetan ini seperti sebuah jebakan betmen kepada si atlet untuk mulai mengikuti gaya hidupnya (ya namanya juga bucin). Saking bucinnya, lama-kelamaan si atlet ini mulai meninggalkan usaha-usaha kecil yang biasanya ia lakukan demi investasi karier. Hal tersebut berdampak kepada hancurnya karier dalam jangka panjangnya.
Sebagai warga negara yang baik, tentunya kita boleh mengingatkan orang-orang yang mulai masuk ke lubang kenikmatan tersebut untuk kembali melakukan taubatan nasuha. Sebab, selain sebagai bentuk perhatian kita kepada si atlet, hal tersebut juga merupakan implementasi pemenuhan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara.
Coba deh bayangin, mereka-mereka ini digaji dan difasilitasi oleh negara, anggaran negara didapatkan dari pajak, dan pajak didapatkan dari uang-uang kita. Kesimpulannya, mereka ini digaji pake uang kita. Sebuah pengingat bahwa pengaplikasian pajak harus dipergunakan sebagaimana mestinya adalah hak kita juga.
Sayangnya, atlet-atlet bucin yang sering dipermasalahkan orang-orang (bahkan pihak yang berwajib) kebanyakan adalah atlet sepak bola. Kita pasti sering banget denger berita pemain sepak bola yang mainnya kendor dikaitkan dengan kelakuannya dalam membucin sudah masuk ke level maksimal. Ada yang sampai-sampai beliin mobil buat pacarnya, ada yang seolah-olah keliatan nggak ada harga dirinya joget-joget di medsos pacarnya, ada juga yang kelihatan Insta story berasa nggak ada beban sama pacarnya padahal abis kalah dan mainnya lemes banget, dan lain sebagainya.
Padahal, kalau kita buka cakrawala kita lebih luas (yaelah cakrawala) buanyak banget atlet nasional non sepak bola yang bucinnya selevel juga. Tanpa menyebut merek, saya melihat media sosial atlet yang sering berurusan dengan raket, berpacaran dengan seorang figur publik dan pernah beberapa kali memposting kemesraannya di media sosial. Tetapi mayoritas respon warganet dalam postingan tersebut adalah hal-hal gemes kayak “so cute”, “lutu amat”, dan hal-hal menggemaskan lainnya. Hal tersebut juga muncul di postingan atlet-atlet bucin lain, seperti atlet basket dan atletik.
Berbanding terbalik dengan atlet bucin sepak bola, yang apabila memposting kemesraannya di media sosial, komentar-komentar yang biasanya ada di postingan tersebut adalah kalimat-kalimat kebun binatang, seperti “pantes lemes”, “oh ini alasan mainnya kendor”, dan lain sebagainya. Padahal, setelah saya bandingkan prestasi antara atlet sepak bola dan atlet bulu tangkis atau atlet basket ini nggak ada bedanya juga, sama-sama udah lama nggak berprestasi.
Saya sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan pacarannya. Saya juga nggak iri dengan kegemasan mereka. Tetapi yang menjadi poin saya di sini adalah diskriminasi yang diterima atlet-atlet sepak bola kita. Jika sampel yang digunakan dalam perbandingan sudah sama, tetapi respons yang diterima masing-masing berbeda, siapa sebenarnya pihak yang salah dan yang benar dalam kasus ini?
Eh, tapi ngapain saya pikirin juga ya, wong federasi dan kementerian yang menaungi aja nggak mikirin-mikirin banget~
BACA JUGA Pareidolia dan Dugaan Gambar Salib di Logo HUT RI dan tulisan Raihan Yuflih Hasya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.