Rasa-rasanya, lidah sebagian besar masyarakat Indonesia akan cocok dengan masakan Minang. Misalnya seperti rendang, ayam pop, dan lain-lain yang terhimpun dalam istilah nasi padang. Bagi yang kuliah di Jogja, pasti bisa dengan mudah menemukan beragam warung nasi padang dengan berbagai klasifikasi. Misalnya, ada yang memakai nama “padang murah” sebagai klasifikasi harga.
Untuk saat ini, terutama bagi anak kos di Jogja, yang (terpaksa) memegang ideologi frugal living, warung nasi padang adalah sarana perbaikan gizi. Warung terpuji ini menawarkan fitur nasi dan lauk yang bisa diambil sendiri. Apalagi banyak dari warung nasi padang memakai jenis beras yang pera, di mana setiap bulirnya tidak bersatu seperti kisah cintamu.
Lauk, sayur, dan kuahnya bisa kita mix and match. Cita rasa yang muncul semakin enak ketika semuanya sudah bercampur. Namun, meski enak, sebenarnya dulu saya tidak bisa makan nasi padang setiap hari. Ya gimana, muncul rasa eneg ketika harus menyantapnya setiap hari hidangan penuh santan dan bumbu yang tajam ini.
Ketika masih di Jogja, sebelum pindah ke Padang, saya hanya bisa makan nasi padang sebanyak 2 sampai 3 kali saja dalam seminggu. Namun, jalan takdir Tuhan menuntun saya menjadi mahasiswa pertukaran ke Minang, Sumatera Barat.
Baca halaman selanjutnya: Setiap hari menikmati pusaka kuliner tanah Minang.
Dari Jogja, pindah ke Minang
Begitu mendapatkan informasi bahwa saya harus meninggalkan Jogja dan pindah ke Padang, banyak pertanyaan muncul. Akan seperti apa hidup saya di sana? Akankah seperti yang saya lihat di film-film yang bertema Minangkabau seperti Negeri 5 Menara? Termasuk juga bayangan soal nasi padang di sana.
Nah, untuk keperluan beradaptasi, selama 1 bulan sebelum meninggalkan Jogja, saya banyak belajar tentang Minangkabau. Saya juga banyak berdiskusi dengan teman saya yang otentik urang Minang. Bahkan saya mencoba meningkatkan intensitas makan nasi Padang di Jogja.
“Hampir 80% warung yang ada di Padang, jualannya ya nasi padang. Kalau ada yang lain, bumbunya pasti tak jauh-jauh,” ujar kawan saya.
Yang awalnya hanya beberapa kali dalam sepekan, kini saya coba eksperimen makan nasi padang hampir setiap hari. Untungnya saya tak merasa eneg setelah bisa menemukan keseimbangan antara nasi putih dan sayur singkong untuk menetralisir. Dan, tiba juga waktu keberangkatan ke Padang.
“Dipaksa” makan nasi padang setiap hari
Orang Padang menyebutnya nasi ampera dengan berbagai cerita di balik penamaannya yang begitu heroik. First impression saya terhadap nasi padang di Minang adalah rasanya yang gurih banget!
Secara rasa, benar-benar berbeda dengan yang di Jogja. Mungkin karena penyesuaian bumbu dengan lidah orang Jogja. Hasilnya adalah rasa sedikit manis, entah di lauk, sayur, atau sambalnya. Dan entah kenapa, saya tidak merasa eneg sama sekali.
Maka jadi sudah, hampir setiap hari, saya makan nasi ampera. Dari sarapan sampai makan malam, dari lapar sampai gabut. Rasanya hampir semua makanan di sini adalah nasi ampera. Dari kaki lima pinggir jalan, sampai nasi gratis hari Jumat.
Sampai suatu ketika saya jatuh sakit karena efek santan yang berlebihan dan jarang berolahraga. Namun, saat sakit, makanan saya ya tetap nasi padang. Mau gimana lagi, yang terdekat dari asrama hanya nasi ampera.
Oleh sebab itu, saya mulai mengatur gaya hidup sehat, dari puasa sunnah, makan buah, dan olahraga rutin. Tapi ya, tetap saja, kalau makan, tetap nasi ampera.
Seperti kata orang Minang, “Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang.” Kalau kata saya, “Di mana saya berada, di situ lidah saya siap untuk semua makanannya.” Menemui nikmatnya nasi padang 24/7 di Padang adalah takdir, maka menyantapnya adalah bentuk menjalani takdir Tuhan!
Penulis: Faishal Hazza
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Rekomendasi Tempat Takjil di Bukittinggi, Dijamin Bikin Ngiler!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.