Rasa-rasanya, lidah sebagian besar masyarakat Indonesia akan cocok dengan masakan Minang. Misalnya seperti rendang, ayam pop, dan lain-lain yang terhimpun dalam istilah nasi padang. Bagi yang kuliah di Jogja, pasti bisa dengan mudah menemukan beragam warung nasi padang dengan berbagai klasifikasi. Misalnya, ada yang memakai nama “padang murah” sebagai klasifikasi harga.
Untuk saat ini, terutama bagi anak kos di Jogja, yang (terpaksa) memegang ideologi frugal living, warung nasi padang adalah sarana perbaikan gizi. Warung terpuji ini menawarkan fitur nasi dan lauk yang bisa diambil sendiri. Apalagi banyak dari warung nasi padang memakai jenis beras yang pera, di mana setiap bulirnya tidak bersatu seperti kisah cintamu.
Lauk, sayur, dan kuahnya bisa kita mix and match. Cita rasa yang muncul semakin enak ketika semuanya sudah bercampur. Namun, meski enak, sebenarnya dulu saya tidak bisa makan nasi padang setiap hari. Ya gimana, muncul rasa eneg ketika harus menyantapnya setiap hari hidangan penuh santan dan bumbu yang tajam ini.
Ketika masih di Jogja, sebelum pindah ke Padang, saya hanya bisa makan nasi padang sebanyak 2 sampai 3 kali saja dalam seminggu. Namun, jalan takdir Tuhan menuntun saya menjadi mahasiswa pertukaran ke Minang, Sumatera Barat.
Baca halaman selanjutnya: Setiap hari menikmati pusaka kuliner tanah Minang.