Dalam Mendaki, Semboyan ‘Puncak Bukan Tujuan Utama’ Adalah Omong Kosong!

puncak gunung mendaki omong kosong mojok

puncak gunung mendaki omong kosong mojok

Bagi para pendaki gunung, pasti nggak asing dengan semboyan “Puncak bukan tujuan utama, yang paling penting adalah kebersamaan.” Sepintas, kalimat tersebut terdengar sangat indah dan seolah menjadi simbol kesetiakawanan bagi siapa saja yang melontarkannya. Tapi, bagi beberapa pendaki, kalimat tersebut seandainya diundang-undangkan, ha ya nggak jauh beda dengan UU ITE. Alias jadi pasal karet yang penerapannya lebih sering nggak tepat sasaran.

Yang paling sering nih, ya, semboyan tesebut dijadikan senjata oleh beberapa orang untuk menuding partner mendakinya sebagai sosok yang egois dan nggak setia kawan. Imbasnya adalah, si partner ini nanti bakal kesulitan buat nyari partner mendaki lagi, nggak bakal masuk list nama-nama yang bakal diajak lagi, dan parahnya, pelan-pelan bakal dicoret dari lingkaran tongkrongan. Begitulah saking saktinya semboyan tersebut.

Biasanya yang jadi sasaran perundungan adalah mereka yang dalam pendakian langkahnya paling cepet dari yang lain. Sehingga meninggalkan kawan-kawannya yang masih jauh di belakang. Atau juga mereka yang selalu punya obsesi tersendiri dengan puncak, yang naik gunung memang tujuannya buat nyampe puncak, bukan sekadar alasan kebersamaan.

Nah, mereka-mereka ini lah yang paling rentan kena pasal karet tentang puncak bukan tujuan utama tersebut.

Dulunya saya memang termasuk orang yang paling sering menyalahgunakan kalimat ini. Tapi, setelah saya pikir-pikir, ternyata penggunaan kalimat tersebut selama ini agak sedikit bermasalah. Sebab kita nggak bisa gitu aja dong nge-judge orang egois hanya karena dia jalannya lebih cepet dari kita atau hanya gara-gara dia ngebet banget buat sampai puncak.

Ini cacat nalar dan cara pikir yang nggak adil, Cuy. Nggak bisa digebyah uyah padha asine, alias memukul rata siapa saja dengan label egois hanya dilihat dari ketika sudah di gunung dan kalau sudah memenuhi dua kriteria utama tadi. Proses sebelum pendakian juga harus dipertimbangkan juga dong, Lur.

Harusnya malah kita—yang nge-judge—juga harus melihat ke dalam diri kita sendiri. Jangan-jangan malah kita—yang selama pendakian tertinggal di belakang dan sok-sok berpandangan bahwa puncak bukan tujuan utama—lah orang yang pantas buat disebut egois.

Pasalnya gini, pertama, munafik kalau mendaki gunung nggak punya hasrat buat sampai ke puncak. Siapa pun, saya yakin, pasti memiliki tujuan tersebut. Secara, yang menjanjikan dari gunung kan memang puncaknya, yang bisa membayar semua letih ya cuma rasa puas ketika kita bisa menikmati bentang alam Indonesia dari atas sana.

Kalau naik gunung cuma atas dasar kebersamaan, heleh, nggak harus ke gunung juga kali. Nongkrong di warkop kan juga sudah termasuk kebersamaan. Dalam konteks naik gunung, oke, kebersamaan itu harganya mahal, tapi terlalu mahal juga harga yang harus ditebus kalau ke gunung tapi gagal mencapai ke puncak.

“Eh tapi banyak, kok, orang-orang yang rela nggak sampai puncak demi nemenin partnernya yang nggak sanggup nerusin pendakian.”

Rela? Hash, itu semua bullshit! Nggak ada orang yang bisa rela gitu aja pas nggak bisa ke puncak. Pasti ada rasa dongkol dan nyeselnya. Secara, Rek, sudah ngeluarin ongkos banyak, sudah capek-capek juga, eh lha kok zonk.

Mereka cuma sok-sok ngerasa rela dan fine-fine saja ya biar nggak dituduh egois. Bukan karena mereka punya rasa solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi.

Kedua, kita ini cenderung nggak mau memahami dan nggak mau tahu sama kondisi orang lain. Maunya menang sendiri: orang lain harus mau memahami kita dan harus tahu kondisi kita. Khususnya buat kita-kita yang sering nge-judge egois orang lain, nih. Nah, dari sini saja sudah kelihatan banget, siapa sebenarnya yang punya pola pikir egois?

Partner mendaki kita kelihatan selalu jalan lebih cepat nggak serta merta karena dia nggak peduli dengan kita-kita yang di belakang. Tapi, barangkali dia punya target waktu yang harus dikejar, menyesuaikan dengan jadwal kerja, atau agenda lain setelah turun dari gunung. Itulah kenapa dia bikin estimasi waktu biar pendakian jadi lebih efektif. Kita-kitanya saja yang nggak mau mengerti, dan itu egois sekali, Bro. Kalau atas nama kebersamaan, ya kita dong yang mestinya harus ngikutin dia.

Dia sudah ngeluangin waktu biar bisa mendaki bareng, maka kita juga harus membantu dia untuk menyelesaikan semuanya sesuai target. Sebab, kalau nggak ngeluangin waktu ikut mendaki, pastinya bakal kena label nggak setia kawan. Repot memang.

Atau jangan-jangan, bukan dia yang jalannya terlalu cepat, tapi kita saja yang memang lamban.

Soalnya gini, Rek, banyak dari kita yang jadi pendaki nggak tahu diri. Kita suka berlindung dan ngerasa aman dengan adanya pasal karet tak tertulis tentang kriteria egois itu tadi. Alhasil, banyak di antara kita yang suka menyepelekan hal-hal teknis pra pendakian.

Misalnya, meski tahu mendaki gunung butuh fisik dan tenaga lebih, alih-alih bersiap diri dengan memperbanyak berolahraga, eh kita malah nyaman dengan aktivitas yang jauh dari kategori sehat, yang berpotensi mengganggu kebugaran tubuh. Kalau fisik sudah terlatih sih, nggak masalah.

Tapi, contoh kasus yang sering terjadi, banyak yang akhirnya engap-engapan selama pendakian. Ada juga yang fisiknya drop dan kesehatannya menurun. Terus kita berdalih dengan kalimat, “Puncak bukan tujuan utama, yang paling penting adalah kebersamaan.” Halah, taek!

Oke semboyan tersebut, di titik tertentu, memang ada benarnya. Tapi, dalam konteks kasus yang saya contohkan ini, jelas kita saja yang nggak tahu diri. Yang namanya mau naik gunung itu harus siap segala macemnya. Nah, kalau memang masih drop tengah jalan padahal sebelumnya sudah banyak-banyakin olahraga, serta jaga kesehatan dan kebugaran tubuh, sah-sah saja kalau kita meminta agar dimengerti.

Intinya, dalam mendaki, menuntut orang lain untuk setia kawan itu boleh-boleh saja. Tapi, menuntut diri sendiri buat jadi orang yang tahu diri kayaknya jauh lebih penting. Dan itu yang gagal dipahami oleh banyak pendaki yang kita jumpai.

BACA JUGA Menguak Kebenaran Sosok Sabda Palon dan Naya Genggong dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version