Pengalaman saya dengan mobil Daihatsu tak pernah bisa disebut menyenangkan. Daihatsu Espass, mobil pertama yang pernah pernah saya naiki dengan sadar dan sengaja, memunculkan kenangan berupa sopir merangkap kenek yang menggilai dangdut dengan segenap jiwanya yang dia buktikan lewat volume suara speaker-nya saban hari saat mengantar saya ke sekolah. Sedangkan si mungil Ceria, yah, tampak lebih cocok untuk disebut segelondong ironi yang diberi roda.
Maka ketika seorang sahabat bertandang ke rumah dan berkata, “Yuk, kita piknik ke Rembang,” sambil menunjuk Daihatsu Luxio anyarnya yang terparkir manis di halaman, saya bergidik dan menyeruput tandas air segelas sebelum mengangguk setuju. Pengalaman traumatis bersama Espass dan Ceria memang belum sirna, tetapi kapan lagi saya bisa mengulas mobil orang sambil jalan-jalan?
Daihatsu Luxio milik sahabat saya itu memang benar-benar baru. Sebelumnya dia pemakai Honda Brio RS, mobil yang dibelinya sejak awal pernikahan dan bertahan hingga enam tahun kemudian. Brio RS memang keren, tetapi kehadiran dua orang anak dan daya akomodasi Brio tipe apa pun yang kepayahan untuk mengangkut sesuatu yang sedikit lebih besar ketimbang galon air membuat sahabat saya itu melegonya dua bulan lalu.
Dibelilah sebiji Daihatsu Luxio tipe X A/T itu kemudian, dan ia segera membangkitkan semua kenangan saya terhadap Toyota Sienta yang pernah saya naiki untuk kemudian saya ulas pada artikel tempo hari. Keduanya, misalnya, sama-sama berkelir putih, sama-sama berpintu geser, sama-sama berjenis MPV 7 penumpang, dan sama-sama norak meskipun dengan pendekatan gaya yang berbeda: Sienta berdesain kelewat berani untuk ukuran brand Toyota yang konservatif, sedangkan Luxio berdandan seperti penyanyi rap tahun 2000-an yang menganggap aksesori bling-bling sebagai sesuatu yang keren.
Penggunaan krom yang cenderung berlebihan pada produk-produk Daihatsu sudah menjadi pengetahuan umum. Gril mesin All New Terios, contohnya, seolah dicemplungkan ke kubangan krom dengan keriangan yang tulus oleh para pekerja pabriknya, sama halnya dengan yang terjadi pada Luxio ini. Seolah belum cukup silau, penggunaan krom juga terdapat pada spion dan klaster lampu belakang Luxio, membuat saya menunggu dengan cemas kehadiran Busta Rhymes dari balik gerumbul semak-semak untuk menyenandungkan “Touch It”.
Tren selalu berubah, hanya itu yang pasti, dan satu hal yang luput diketahui oleh siapa pun desainer Luxio adalah bahwa sesuatu yang sedang trendi hari ini bisa apa saja kecuali penggunaan krom banyak-banyak.
Itulah hal yang berkecamuk di benak saya kala menenteng barang bawaan menuju mobil. Namun, ketika sahabat saya menggeser-buka pintu baris kedua dan meminta saya duduk di dalamnya, semua kesan norak tersebut lenyap oleh apa saja yang hanya bisa dihadirkan Luxio dan tidak oleh mobil lain di rentang harga setara.
Pertama, tentu saja kelegaan kabinnya. Pernah saya menaiki pelbagai macam mobil yang dirancang khusus untuk mengangkut orang dengan layak, jenis mobil yang saat ini kita labeli sebagai Multi Purpose Vehicle (MPV). Sebut saja Avanza, Ertiga, Sienta, Confero, dan Innova. Meskipun Luxio jelas kalah mewah ketimbang mobil-mobil tersebut, saya berani jamin kalau kabin penumpang Luxio adalah yang terlega. Level leganya itu nggak ngotak banget!
Dengan penyetelan kursi yang paling maju sekalipun, jarak dengkul saya ke kursi penumpang depan ternyata masih tiga jengkal, itu pun jarinya saya rentangkan lebar-lebar. Padahal kursinya masih bisa disetel ke belakang lagi, yang niscaya membikin kaki saya bisa sepenuhnya selonjoran. Luas kabinnya benar-benar tidak bisa disaingi oleh Wuling Confero, mobil yang sebelumnya saya anggap paling lega di kelasnya. Janganlah diperbandingkan dengan mobil-mobil LMPV lain; sudah pasti beda level.
Kedua, kelengkapan kursinya. Iya bener, kursinya belum captain seat, tapi Luxio punya sesuatu yang Sienta sekalipun nggak sanggup beri: sandaran lengan di bagian tengah. Sandaran lengannya solid, empuk, dan punya ketinggian yang pas, meskipun tidak punya coakan buat penumpang menaruh botol. Sandaran lengan di bagian tengah ini juga hadir di bangku baris ketiga, sesuatu yang sangat langka di kelas harganya.
Memang cuma dua hal itu yang ditonjolkan Luxio, selebihnya ia keteteran saat bertanding dengan rival-rivalnya. Kekedapan kabinnya biasa saja, meskipun saya pikir ini karena letak mesinnya yang berada di kolong kursi baris depan. Getaran mesinnya masih bisa ditoleransi, tidak separah GranMax apalagi Espass, tapi jelas tidak sehalus mobil dengan mesin di kap depan. Mutu rancang bangunnya benar-benar khas Daihatsu, sedangkan kualitas material interiornya bisa ditingkatkan andai Daihatsu mau melupakan ide soal krom lalu mengalokasikan dana tersebut ke sektor desain interior.
Secara ringkas, Daihatsu Luxio pantas untuk kita kalungi medali emas dalam hal kelegaan kabin dan akomodasi penumpang. Namun, ia seperti siswa medioker yang terengah-engah untuk sekadar mencapai nilai KKM pada sektor lainnya.
Tentu saja Luxio sangat layak untuk dimiliki saat ini. Anda bisa mengantar anak-anak ke sekolah pada pagi hari, berjualan durian yang Anda taruh di bagasi pada siang hari, mengantar barang dan membuka kursus menyetir pada sore hari, dan membantu istri Anda kulakan barang pada malam hari. Ia benar-benar mobil MPV sejati, yang dibuat untuk segala kebutuhan tanpa perlu bernegosiasi ini-itu dengan keadaan.
Namun, ia adalah Daihatsu, sesuatu yang mungkin menjadi ganjalan utama bagi Anda yang mementingkan citra. Daihatsu selamanya akan menjadi mobil nomor dua karena strategi Toyota yang menghendakinya demikian, persis dengan yang terjadi pada Datsun di hadapan Nissan dan Suzuki di hadapan, yah, semua pabrikan lain.
Daihatsu dikungkung oleh stigma mobil murahan yang sebenarnya sengaja mereka bentuk sendiri. Anda tidak akan memperoleh air mata haru dan pelukan hangat dari handai taulan di kampung yang berkata, “Luar biasa, Ferguso, ternyata kamu sudah sesukses ini di kota,” ketika membawa mudik sebiji Luxio. Dengan duit 230-an juta, peluang Anda memperoleh citra sukses akan lebih besar andai pilihan Anda jatuh kepada All New Avanza trim terbawah.
Positioning semacam itu tentu tidak salah, toh Daihatsu selama ini adalah pemegang ranking dua abadi dalam hal penjualan mobil tahunan. Namun, strategi tersebut membuat citra Daihatsu tak seberkilau pabrikan Jepang lainnya sekalipun ia punya produk yang benar-benar bagus. All New Sirion, contohnya, punya segala hal yang bisa membikin Brio RS nangis di pojokan, tapi citra murahan Daihatsu membuat produk istimewa ini merana di laporan penjualan.
Entahlah, Daihatsu, saya kok malah jatuh iba sama kamu.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Fitur Canggih pada Mobil yang Nirfaedah.