Pesantren dan obat gatal adalah duet maut yang tak bisa dipisahkan.
Kiranya benar pepatah yang sering diucapkan banyak motivator, kurang lebih berbunyi, “Kita terjatuh bisa jadi bukan karena batu yang besar. Tapi justru karena tersandung kerikil yang teramat kecil.”
Yang paling dekat saja misalnya, peradaban mutakhir umat manusia hanya butuh waktu nggak lebih dari tiga bulan bisa dibikin luluh lantak oleh makhluk mikroskopis bernama corona. Amerika, Rusia, dan berbagai negara adidaya lainnya memang berhasil menciptakan pesawat ulang-alik, pesawat tanpa awak, atau bahkan mengirim manusia ke bulan. Kabar-kabarnya manusia juga sedang merancang kehidupan baru di planet Mars. Gimana? Gilak nggak tuh? Namun, segala kecanggihan itu nggak berarti apa-apa di hadapan makhluk yang besarnya saja nggak lebih dari jari kelingking bayi yang baru lahir..
Atau yang populer dalam kitab-kitab agama samawi, yaitu kisah Raja Namrud yang mati karena seekor nyamuk yang bersarang di kepalanya. Ada juga kisah David (Daud) yang berhasil menewaskan raksasa bernama Goliath (Jalut) hanya dengan batu kerikil kecil. Kisah-kisah yang kian menegaskan bahwa manusia bahkan bisa begitu nggak berdaya oleh benda-benda dengan ukuran yang jauh lebih kecil darinya.
Termasuk oleh makhluk bernama kutu kupret Sarcoptes Scabies yang seringnya menyerang anak-anak pesantren. Makhluk kecil, mungil, tapi nggak unyu apalagi menggemaskan ini entah bagaimana menjadi momok yang cukup mengerikan bagi ketenangan hidup para santri. Kutu ini terdeteksi menjadi biang penyakit asam aurat, gatal-gatal di area selangkangan atau gudik yang tersebar di berbagai titik. Maka bagi anak pesantren, nggak ada derita sepedih derita harus mencari-cari celah buat garuk area vital manakala gatal sudah melanda. Ya meski menggaruknya selalu bisa menghadirkan senasi kenikmatan tiada dua.
Dan sialnya, gatal yang ditimbulkan oleh Scabies ini menjadi entitas yang sangat muhal (mustahil) buat dihindari bagi anak pesantren. Pergerakannya terselubung, lebih gelap dari Anarko, penularannya pun nggak kalah terstruktur dari Illuminati. Alhasil, lahirlah hukum tak tertulis yang menyebut, “Seseorang belum sah dianggap santri kalau belum pernah merasakan yang namanya gudiken.” Santri tanpa gudik ibarat NKRI tanpa Luhut Binsar Pandjaitan AADC tanpa Dian Sastro.
Meski begitu, siapa juga yang betah berlama-lama bergumul dengan rasa gatal yang udah kayak jailangkung ini: datang tak dijemput, pulang tak diantar. Mau nggak mau harus ada langkah konkret dalam upaya penanggulangan serangan Scabies yang datang bertubi-tubi, silih-berganti nggak tahu situasi, dan nggak tahu diri ini. Imperialisme kutu Scabies harus dibumihanguskan dari dunia perselangkangan umat manusia. Lha kalau didiemin makin ngelunjak, jeee. Kan nggak enak aja gitu misalnya lagi jalan bersimpangan sama mbak-mbak santriwati terus tiba-tiba gatalnya kumat. Masa iya mau garuk-garuk itu ‘si otong’ di hadapan mbaknya? Jatuhnya malah dianggep pelecehan seksual, kena pasal ya modyar.
Saya sendiri ketika awal masuk pesantren nggak butuh waktu lama buat ngerasain betapa mengganggunya aktivitas kutu gudik ini di sekitar selangkangan. Pas digaruk sih emang menghadirkan kenikmatan surgawi yang hqq, tapi setelah itu kulit jadi lecet-lecet nggak karuan dan kerasa perih luar biasa kalau kesenggol air. Apalagi pas kena sabun. Untuk itu, dibanding menggaruk-garuk, saya lebih memilih jalan damai dengan membeli beragam macam produk sebagai berikut:
1# Bedak Herocyn
Sengaja saya taruh bedak Herocyn di urutan teratas menimbang dari tingkat risiko yang ditimbulkan selama penggunaan. Bisa dibilang bedak bubuk yang satu ini adalah pilihan paling recommended buat mengatasi gatal-gatal di selangkangan, diam-diam menerkam (bacanya pakai nada lagu Cicak di Dinding).
Pertama, bentuknya yang berupa bubuk halus sangat nyaman di kulit khususnya di selangkangan yang cenderung lembab. Maksudnya pas ditabur dan diratakan di sekujur selangkangan nggak bakal menimbulkan efek becek dan lengket. Kedua, sensasi menthol yang dihasilkan bedak Herocyn memberikan kesejukan tersendiri bagi si pengguna. Semriwing-semriwing gimana gitu. Lebih-lebih kan daerah selangkangan ini emang sumuknya ngaudubillah, Jadi ya selain mengurangi rasa gatal, bedak Herocyn juga berperan aktif dalam memberi efek adem di bagian yang ditaburi.
Saking mantapnya sensasi dingin dari bedak Herocyn, nggak jarang juga ada santri cowok yang sehabis menaburkan bubuk bedak ke selangkangannya auto lepas cawet (sempak). Biasanya gitu sambil dikipas-kipasi sama buku. Perpaduan kesejukan antara Herocyn dengan angin buatan di samping ampuh mengusir gatal, juga berhasil membuat si santri merem melek. Jauh sebelum Charm Cooling Fresh memasuki panggung pasar perselangkangan, Herocyn adalah keniscayaan tersendiri dan sepertinya bakal tetap menjadi primadona sepanjang masa.
Maka nggak heran jika ada sensus yang mencatat, 65% penghuni pesantren pasti terindikasi menyimpan bedak Herocyn di dalam lemari mereka. Sementara 35% sisanya adalah kelompok ahli gosob yang biasanya akan mengambil Herocyn milik temannya kalau sedang lengah.
2# Bedak Cair Caladine
Pilihan kedua jatuh pada Caladine, bedak cair dengan gambar kemasan seorang ibu memeluk dua anaknya ini pernah direkomendasikan oleh mbak-mbak apoteker langganan saya. Katanya bisa menghilangkan bintik gatal hanya dalam tiga kali pemakaian. Bahkan konon, bedak cair ini juga mampu mengeringkan luka-luka bekas garukan hanya dalam semalam saja. Wah, mantul banget nih. Pikir saya waktu itu.
Nggak jauh beda dari Herocyn, bedak ini juga menimbulkan efek cool yang cetar membahana. Lebih-lebih kalau dioleskan beberapa saat setelah mandi. Rasanya seperti di puncak Gunung Prau. Namun, nggak banyak santri yang melirik Caladine untuk memasukkannya ke dalam daftar wajib belanja bulanan. Bukan, bukan urusan harga. Secara harga nggak jauh beda dengan Herocyn, masih cukup terjangkau untuk ukuran saku anak pesantren yang serba pas-pasan.
Bentuknya yang cair dinilai nggak worth it buat para santri yang mendambakan kenyamanan. Apalagi untuk selangkangan mereka, Sudahlah selangkangan itu lembab, ditambah lembab lagi sama bedak cair Caladine, kan malah jadi nggak karu-karuan. Becek, lengket, baunya agak menyengat pula. Bagi beberapa santri yang lebih mengedepankan gengsi di atas kesembuhan, hal ini jelas-jelas sangat mengganggu dan nggak bisa ditolelir.
3# Sabun Asepso Plus dan JF Sulfur
Kedua merek ini adalah jalan ninja yang akan ditempuh para santri yang sudah di tingkat kronis dan hampir mengibarkan bendera putih saking nggak betahnya sama gatal-gatal yang diderita. Kalau memakai bedak kan nggak mungkin ditabur atau diolesi ke sekujur tubuh. Bedak hanya bisa beroperasi di daerah-daerah yang sudah masuk wilayah ekspansi si kutu gudik. Sedangkan sabun lebih luas lagi jangkauannya.
Karena sabun bisa digosokkan di celah-celah mana pun, diharapkan penggunaan sabun selain mengurangi rasa gatal juga mencegah benih-benih gatal yang hendak tumbuh. Dua sabun ini adalah jenis sabun antibakterial yang terbukti sangat cocok untuk menumpas segala macam gangguan kulit: asam aurat dan gudik misalnya. Dibanding Asepso Plus, JF Sulfur sepertinya lebih dominan dipakai kalangan anak pesantren. Pertimbangannya, JF Sulfur memiliki banyak varian warna dan kadar wangi lebih tinggi ketimbang Asepso Plus yang semasa saya nyantri dulu hanya tersedia satu warna: ijo. Aromanya pun luar biasa menyengat
4# Salep Kulit 88
Untuk produk yang satu ini, sepertinya nggak lebih dari lima santri dari ratusan populasi anak pesantren memasukkannya ke dalam list obat-obatan gatal yang opsional. Pasalnya, salep mungil berwarna merah ini terkesan sangat radikal dalam menumpas rasa gatal. Sebenernya Salep 88 terbilang cukup efektif dalam memerangi segala jenis penyakit kulit. Namun, karena berbau anyir, membuat orang-orang jadi berpaling. Lebih dari itu, sensasi menthol yang dihasilkan oleh si salep gatal ini terlalu kebablasan, Jadinya panas menyengat luar biasa, walhasil banyak yang nggak tahan.
Saya sendiri hanya sekali saja pernah menggunakan Salep 88. Saat itu saya tergoda dengan iming-iming kawan saya yang katanya gatalnya jarang kumat setelah menggunakan salep tersebut. Katanya juga, nyaman kok kalau dioleskan di area selangkangan. Ketika saya tanya, “Apakah ada sensasi dinginnya?” Jawaban temen saya sungguh sangat meyakinkan dan menggoyahkan iman. “Lebih dingin dari Herocyn apalagi Caladine. Dinginnya itu kayak es batu.”
Dalam benak saya, dingin kayak es batu itu ya dingin-dingin seger gitu. Nggak taunya dingin yang… ah kalau saya ingat kejadian itu ingin rasanya saya olesi wajah temen saya dengan salep durjana tersebut. Sial betul memang, demi sembuh dengan segera, saya mengoleskan cukup banyak Salep 88 di area selangkangan. Beberapa juga menyenggol kulit kemaluan. Lima menit kemudian, saya terpaksa menyiramnya dengan air di sumur. Panasnya udah kayak dibakar tahu nggak? Hmmm. Pasca kejadian itu, saya pun mem-black list Salep 88 dari daftar obat gatal yang dianjurkan. Terlanjur kapok setengah modyar.
Sebenernya pengin sih memberantas gatal ini dari akar-akarnya, biar nggak kumat-kumatan gitu. Namun, karena pola hidup di pesantren nggak memungkinkan buat merealisasikannya, maka bersahabat dengan aneka macam obat gatal menjadi pilihan paling rasional. Sebab menggaruk-garuk juga bukan pilihan yang menguntungkan. Apalagi kalau pakai cawet yang habis disetrika, malah nggak berdampak apa-apa.
BACA JUGA Bagaimana Rasanya Jadi Santri yang Pondoknya Dekat dengan Rumah? dan tulisan Aly Reza lainnya.