Cuti ASN: Izin Istirahat yang Penuh Tugas Tambahan dan Masih Dibebani Rasa Bersalah

Mempertanyakan Efisiensi Syarat Administrasi Seleksi CPNS 2024 ASN penempatan cpns pns daerah cuti ASN

Mempertanyakan Efisiensi Syarat Administrasi Seleksi CPNS 2024 (Shutterstock.com)

Cuti bagi ASN itu ibarat oase di tengah padang tugas. Sebuah hak yang dijamin negara, tapi sering terasa seperti mimpi yang harus diperjuangkan dengan surat, tanda tangan, dan sedikit rasa bersalah.

Di atas kertas, semuanya tampak sederhana: isi formulir, minta paraf atasan, tunggu Surat cuti keluar, lalu pergi berlibur. Tapi di dunia nyata, cuti ASN itu bukan cuma soal waktu istirahat,  ini soal strategi bertahan hidup di tengah budaya kerja yang tak pernah benar-benar tidur.

Cuti yang harus diperjuangkan dengan surat dan niat tulus

Pertama-tama, sebelum bicara soal jalan-jalan atau healing, ASN harus menghadapi ritual sakral: minta tanda tangan atasan. Entah kenapa, momen itu selalu terasa seperti audisi. Kita datang dengan surat cuti di tangan, senyum setulus mungkin, berharap tidak ditanya kalimat yang paling bikin keringat dingin:

“Emang nggak bisa ditunda, ya?”

Dari situ saja sudah kelihatan bahwa cuti bagi ASN bukan hak, tapi izin moral. Kalau jawabnya kurang mantap, bisa langsung direspons dengan nasihat klasik,

“Sabar dulu, kerjaan lagi numpuk.”

Padahal kerjaan memang selalu numpuk. Kalau ditunggu selesai dulu baru cuti, ya mungkin baru bisa cuti pas pensiun.

Saat cuti, tapi tetap jadi admin grup WA

Cuti pun akhirnya disetujui. Surat cuti sudah turun, tiket sudah dibeli, rencana sudah disusun. Tapi sayangnya, yang tidak bisa cuti itu adalah grup WhatsApp kantor.

Pesan tetap masuk. Ada yang minta file laporan, ada yang tag nama kita, ada juga yang cuma ngirim “Noted 👍” tapi bikin jantung deg-degan. Dan kita, dengan refleks terlatih selama bertahun-tahun, tetap membuka pesan itu meskipun sedang di hotel atau di pinggir pantai.

Kadang, ada rasa bersalah yang aneh kalau tidak membalas. Kayak dosa administratif. Padahal sudah jelas di bio WA kita tertulis “Sedang cuti, akan aktif kembali Senin depan.”
Tapi tetap saja, setiap kali muncul pesan “@Kevin tolong dikirim datanya”, jempol langsung reflek mencari folder di HP.

Mungkin ini yang dimaksud Max Weber kalau bicara tentang etika kerja birokrasi. Tapi entah kenapa di kita etika itu sering berubah jadi kutukan online.

Liburan tapi tetap ngetik laporan

Cuti juga sering kali berubah menjadi cuti setengah hati. Di satu sisi, badan sudah di luar kota. Tapi kepala masih di file Excel, laporan kegiatan, dan notulen rapat yang harus dikirim “sebelum sore ini, ya.” Bahkan di destinasi wisata sekalipun, ASN sejati bisa dikenali. Dia yang duduk di kafe sambil buka laptop. Dia yang diam-diam kabur dari kolam renang anaknya karena “ada yang harus dikoreksi dulu”.

Dan, Dia yang teriak ke istri, “Sebentar ya, ini tinggal satu paragraf lagi kok,” padahal sudah dua jam belum juga selesai.

Kadang saya pikir, mungkin satu-satunya cara ASN bisa benar-benar libur adalah kalau grup WA kantor ikut cuti. Minimal, admin-nya lah.

Cuti, tapi tetap dikirimi surat tugas

Ada juga versi yang lebih ironis: cuti yang disusul surat tugas. Baru saja mau jalan-jalan, tiba-tiba muncul surat dari sekretariat, “Mohon kehadiran Saudara dalam kegiatan sosialisasi di Palangka Raya.” Dan lucunya, tanggalnya pas banget dengan hari cuti yang sudah disetujui.
Akhirnya, daripada ribet, banyak ASN yang lebih memilih mengganti cuti jadi dinas sekalian.

“Lumayan lah, ada SPPD-nya.”

Begitulah cara birokrasi Indonesia menjaga keseimbangan alam: tak ada cuti yang benar-benar cuti, tak ada dinas yang benar-benar dinas.

Cuti dan rasa bersalah nasional

Masalahnya, banyak ASN yang menganggap cuti itu tanda kurang loyal. Padahal justru karena rame itulah kita butuh istirahat, supaya bisa kerja lebih waras. Birokrasi sering lupa, bahwa produktivitas itu bukan diukur dari seberapa lama kita duduk di meja, tapi dari seberapa jernih kepala kita saat mengambil keputusan. Dan kepala yang jernih itu cuma bisa lahir dari tubuh yang sempat napas.

Lucunya, kita sering lebih menghargai ASN yang lembur sampai malam daripada yang berani ambil cuti buat jaga kesehatan mental. Padahal dua-duanya sama pentingnya, hanya beda cara bertanggung jawab.

Di banyak instansi, cuti bahkan jadi semacam drama moral. Begitu ada yang izin, selalu ada yang nyeletuk, “Asik ya, bisa cuti.” Padahal dia cuma memanfaatkan haknya. Tapi di telinga ASN, kalimat itu terdengar seperti sindiran halus dari sistem yang tidak pernah benar-benar percaya pada konsep istirahat.

Akhirnya, banyak ASN memilih menumpuk hak cutinya bertahun-tahun. Dan ketika pensiun, baru sadar: hak cuti yang tidak diambil tidak bisa diuangkan. Ironis, ya. Sudah capek nahan istirahat, eh akhirnya malah hangus juga.

Negeri yang tak pernah benar-benar rehat

Cuti bagi ASN seharusnya jadi simbol bahwa negara juga tahu: manusia punya batas. Tapi entah kenapa, di negeri ini, istirahat justru dianggap kemewahan.

Kita hidup di sistem yang mendorong kerja terus, tapi lupa memberi ruang untuk mengendapkan makna bekerja itu sendiri.
Padahal, ASN yang sempat rehat justru lebih siap menghadapi rapat. ASN yang sempat diam lebih tajam mendengar. ASN yang sempat tidur siang lebih cepat berpikir.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap cuti sebagai pelarian. Karena sesungguhnya, cuti itu bagian dari pelayanan. Pelayanan terhadap diri sendiri.
Dan kalau diri sendiri saja tidak dilayani dengan baik, bagaimana kita mau melayani masyarakat dengan hati yang utuh?

Jadi kalau ada ASN yang sedang cuti, biarkanlah dia benar-benar cuti. Jangan kirimi pesan, jangan tag di grup, dan tolong, jangan panggil pulang hanya untuk rapat koordinasi mendadak yang hasilnya nanti “akan dibahas lagi minggu depan.”

Penulis: Kevin Nandya Kalawa
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Masih Ngebet Jadi PNS? Pikir-pikir Lagi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version