Sebelum curhat lebih banyak, saya ingin memberi dua penegasan. Pertama, curhat saya ini tidak mewakili banyak atau HRD secara keseluruhan, lebih kepada subjektif atau dari apa yang saya alami. Kedua, saya ingin membuktikan bahwa, bukan hanya mahasiswa tingkat akhir atau lulusan baru saja yang bisa mengeluh, seorang staf HRD—sebagai manusia biasa—pun bisa.
Sebagai mahasiswa lulusan Psikologi, menjadi seorang staf HRD adalah lumrah dan sewajarnya jika ingin bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan—bukan berarti menjadi keharusan—tak terkecuali dengan saya yang memang saat ini bekerja sebagai perekrut di suatu perusahaan.
Saya sendiri memilih menjadi seorang staf HRD khususnya sebagai perekrut karena merasa bidang ini yang saya sukai. Perasaan tersebut saya dapatkan ketika masih kuliah. Di mana perjalanan kuliah seperti sedang bermain dan lelahnya kegiatan yang diikuti seperti menjadi kebahagiaan tersendiri. Entah ini yang dinamakan passion atau bukan, yang saya tahu ada rasa senang ketika menjalani aktivitas ini.
Pada perjalanannya, saya menemui beberapa kisah menarik saat melakukan proses perekrutan entah asalnya dari lulusan baru atau pun yang sudah berpengalaman. Hal ini menjadi kenangan sekaligus keluhan tersendiri bagi saya.
Banyak pencari kerja yang kebanyakan lulusan baru sepertinya perlu memahami bagaimana setidaknya mengirim lamaran via email. Yang saya temui, masih ada beberapa pelamar hanya mengirimkan CV lalu hanya menuliskan “LAMARAN” pada kolom subjek. Ditambah badan email pun dikosongkan tanpa ada sepatah-dua patah kata. Saran saya, selain lebih sopan badan email harus diisi sebagai kalimat pembuka agar penerima atau pembaca paham maksud dan tujuan email dikirim. Bisa pula ditambahkan dengan sedikit identitas.
Lalu, usahakan satu pengiriman email tertuju hanya untuk satu perusahaan. Saya pernah menerima email dari pencari kerja yang pada kolom tujuan, dicantumkan juga email HRD perusahaan lain. Saya paham agar bisa “sekali mendayung, dua-tiga pula terlampaui”, tapi apa si pengirim juga paham saya menerima dan membaca email sambil misuh?
Sebelum wawancara, saya sangat menyarankan untuk mencari tahu tentang profil perusahaan beserta deskripsi kerja dari posisi apa yang dilamar. Minimal akan mendapat gambaran tentang apa saja yang harus dikerjakan saat diterima kelak. Jangan terlihat seperti nothing to lose—yang penting datang wawancara saja dulu, diterima atau tidak bagaimana nanti.
Asah kemampuan dalam berkomunikasi dan tunjukan rasa antusias juga percaya diri. Sebagai orang yang bertugas melakukan proses wawancara, saya selalu senang dan ikut bersemangat jika kandidat komunikatif apalagi bisa menceritakan secara rinci kemampuan yang dimiliki. Itu sebabnya mengenali potensi dalam diri terbilang penting saat wawancara kerja.
Kerap kali saya heran jika menemui kandidat yang tidak terlihat antusias saat wawancara. Pasalnya, dia menjelaskan butuh pengalaman kerja tapi tidak diimbangi dengan keseriusan saat bertatap muka dengan saya. Ada kandidat yang sambil main handphone, ada yang tas juga perlengkapan lainnya di simpan di atas meja, bahkan ada kandidat yang memanggil saya dengan sebutan abang.
Saat ini juga banyak kandidat yang sewaktu hubungi berkata “iya, akan datang” di telpon, dikirim undangan formal via email juga sudah, tapi saat ditunggu kehadirannya tidak juga datang. Tidak pula memberi kabar atau balasan via email. Katanya, susah cari kerja dan lapangan pekerjaan sedikit, tapi begitu diberi kesempatan untuk mengikuti proses wawancara malah tidak datang. Padahal, kandidatnya sendiri yang sudah apply untuk posisi tersebut.
Lalu saat sudah lolos dalam semua proses dan tinggal tanda tangan kontrak, saya pernah berhadapan dengan dua orang kandidat—mereka berteman dari masa kuliah—yang akhirnya menolak untuk bergabung hanya karena mereka beda posisi. Jadi, mereka akan mengambil kesempatan bekerja jika ada di posisi dan divisi yang sama.
Saya sempat tidak habis pikir dan mencoba meyakinkan mereka bahwa, mereka berdua walau beda divisi tetap akan berada dan bekerja di satu perusahaan yang sama. Lagipula, mau sampai kapan mereka terus berdua seperti itu?
Masih banyak cerita dan persoalan lain yang bisa diceritakan. Dengan permasalahan yang sama, saya jadi menganggap narasi tentang sedikitnya lapangan pekerjaan pada zaman sekarang hanya mitos. Semuanya dikembalikan kepada tiap individu—para pencari kerja—niat dan mau atau tidak menerima kesempatan yang ada serta terus belajar mengasah kemampuan diri.
Dari seorang staf HRD bagian perekrut, yang ingin sekali memberikan kesempatan pada setiap lulusan baru dan para pencari kerja untuk dapat meniti karir. Namun, keinginan tersebut kadangkala terbentur oleh ketidakseriusan kandidat saat proses wawancara kerja, selain juga memang belum rezekinya.