Tulisan ini sebagai curahan hati. Semoga menjawab keresahan mahasiswa jurusan pertanian atau lulusan pertanian yang sering disangka cuman omon-omon tentang kontribusi swasembada pangan
Ah, mahasiswa jurusan pertanian. Kami ini seolah jadi target empuk setiap kali isu swasembada pangan di Indonesia mencuat. Begitu ada berita harga beras naik, gagal panen, atau impor meroket, kami yang kena getahnya. Dicap sebagai “agen penghasil omong kosong” yang kuliahnya cuma buang-buang waktu di tengah krisis agraria.
Seolah-olah, masa depan pangan negara ini sepenuhnya berada di pundak kami yang saban hari cuma bolak-balik ke lab, belajar cara mengawinkan padi, atau menghitung populasi hama. Padahal, realitanya jauh lebih kompleks dari sekadar narasi sinis itu.
Capek juga, kan, dibilangin kuliah capek-capek ujung-ujungnya cuma jadi mantri tani di desa, atau malah kerja di bank yang nggak ada hubungannya sama sawah. Izinkan kami, para pejuang lahan, untuk melancarkan lima pembelaan heroik ini. Bukan untuk mencari simpati, tapi untuk meluruskan sejarah dan realitas.
Biar curahan hati kami, nggak hanya dianggap sebatas keluhan semata.
Kami belajar sistem, bukan sekadar cangkul dan sabit
Stop membayangkan kuliah jurusan pertanian itu cuma berisi praktik mencangkul dan teori menanam padi ala zaman kolonial. Kami ini belajar agrobisnis, bioteknologi, konservasi sumber daya alam, hingga sistem rantai pasok global.
Kuliah kami adalah tentang bagaimana membuat sistem pangan itu efisien, berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan iklim. Kami nggak cuma belajar gimana cara panen yang banyak, tapi juga soal meminimalisir kerugian petani, pemberdayaan petani, dan kebijakan agraria.
Jadi, ketika ada yang bilang kami omong kosong, artinya sedang meremehkan upaya merombak sistem pangan yang sudah karatan bertahun-tahun. Kami ini sedang disiapkan jadi arsitek pangan, bukan sekadar kuli tani.
Ilmu Pertanian itu bukan ilmu sihir, pagi tanam sore panen
Sering denger, “Kalau mahasiswa pertanian pintar, kenapa negara masih impor?” Logika macam apa ini?
Krisis pangan dan swasembada itu bukan masalah yang bisa dipecahkan dengan skripsi S1. Itu adalah masalah struktural, politis, dan ekonomi yang melibatkan kebijakan impor, konversi lahan besar-besaran, hingga minimnya insentif untuk petani.
Kami, mahasiswa, memang belajar ilmu terbaik. Tapi, ilmu itu perlu modal, kebijakan yang pro petani, dan infrastruktur yang memadai untuk bisa diimplementasikan. Ibaratnya, kami punya penemuan bibit kelapa sawit unggul, tapi biaya sertifikasinya mahal, birokrasinya ribet, dan pemangku kebijakannya nggak peduli.
Jangan salahkan ilmunya, salahkan ekosistemnya yang nggak mendukung. Kontribusi kami itu nyata, tapi efeknya tergerus oleh kepentingan politik dan kapitalis yang mengubah sawah jadi perumahan atau pabrik.
Pertanian bukan hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas
Produksi dengan kuantitas tinggi nggak menjamin kualitas yang baik, itulah tugas kami memastikan kualitas pangan aman dan baik. Coba perhatikan makanan di dapur atau mall-mall. Kenapa cabai sekarang ada yang super pedas, mangga ada yang tanpa biji, atau tomat bisa dikirim antar-pulau tanpa cepat busuk?
Itu semua karena hasil riset dan pengembangan yang dimulai dari kampus pertanian. Kami mungkin nggak bikin revolusi panen yang masif, tapi kami bikin evolusi produk yang berdampak langsung pada gizi dan kualitas hidup semua orang.
Iya, kami ada di balik layar menjamin bahwa apa yang dimakan itu aman dan bergizi. Kami ini silent heroes pangan!
Tidak semua harus jadi petani di sawah, kami berkontribusi di banyak sektor
Pembelaan klise yang paling sering muncul adalah: “Kalau semua pinter, siapa yang mau nyangkul?” Jawabannya mudah: kami nggak harus nyangkul, tapi kami memastikan yang nyangkul itu sejahtera dan produktif.
Kontribusi swasembada itu bukan cuma tentang berjemur di sawah, tapi tentang integrasi ilmu pengetahuan ke dalam seluruh rantai nilai pangan. Kami adalah konektor, inovator, dan fasilitator.
Swasembada bukan hanya peran mahasiswa pertanian, tapi semua orang
Terakhir, dan ini yang paling penting, jangan pernah berpikir swasembada pangan adalah urusan kami, mahasiswa dan petani. Swasembada adalah tanggung jawab nasional.
Sama kayak keberhasilan sebuah tim sepak bola, swasembada perlu tim yang solid. Mahasiswa dan dosen sebagai pelatih, petani jadi striker, pemerintah jadi manager, dan konsumen sebagai kiper.
Kami tidak butuh dicaci, kami butuh dukungan ekosistem. Mari makan produk lokal, lindungi lahan, dan dorong kebijakan yang benar-benar memihak pangan nasional. Tanpa itu, kami akan terus dianggap omong kosong, padahal yang omong kosong itu adalah janji-janji swasembada tanpa eksekusi yang nyata.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Derita Saya Menjadi Mahasiswa Jurusan Pertanian di Universitas Negeri
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
