Belakangan, banyak orang yang menuliskan atau sekadar update story di media sosial tentang culture shock mereka ketika datang dan merantau ke Bali. Kebanyakan yang menuliskan culture shock adalah orang Jawa, seolah hanya orang Jawa yang pergi merantau hingga ke pulau lain. Padahal, orang Bugis Makassar juga tak kalah banyak yang merantau lalu menetap di daerah lain, salah satunya ke Bali.
Akan tetapi sedikit sekali saya menemukan cerita orang Bugis mengalami gegar budaya di daerah yang mereka datangi. Saya jadi bertanya-tanya, apakah karena daerah tersebut yang justru mengalami gegar budaya karena didatangi orang Bugis? Atau mungkin kebetulan saja orang-orang yang merantau adalah orang-orang kuat yang bisa beradaptasi dengan sangat baik di daerah baru.
Meski begitu, sebagai orang Bugis Makassar yang lemah, tentu saja saya mengalami culture shock ketika merantau, khususnya merantau ke Bali. Berikut beberapa culture shock yang saya rasakan saat tinggal di Bali.
Daftar Isi
Pemaknaan kata tabe’ yang berbeda
Pemaknaan kata tabe’ di Sulawesi, khususnya di Makassar, secara umum hampir sama dengan di Bali, yaitu kesopanan. Tapi saya melihat orang Bali yang lebih memaknai kata tabe’ ini karena benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika harus memberikan uang kembalian dengan tangan kiri.
Di Makassar sendiri penggunaan kata tabe’ lebih kepada orang itu ingin di hargai, jadi jatuhnya seperti krisis identitas. Misalnya ketika ingin melarang atau menakut-nakuti seseorang. Tak jarang dia akan mengatakan, “Tabe’di saya tompolko(pukul) itu.”
Pulau sejuta motor Honda Vario
Di daerah saya di Makassar, kendaraan motor sangat bervariasi, beda sama di Bali. Sejauh apa pun kita memandang, di Bali hanya ada motor Honda Vario mulai dari yang keluaran lama sampai terbaru. Saya bahkan berani bertaruh, setiap rumah di Bali, jika di dalam garasinya ada beberapa motor, setidaknya minimal ada satu motor Vario. Entah kenapa populasi Honda Vario di Pulau Dewata begitu banyak.
Dari data pusat statistik Provinsi Bali 2023, pengguna motor di Bali berada di angka 4,3 juta, yang kemungkinan 60 persennya menggunakan Honda Vario. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala Wilayah PT Astra Internasional Tbk-Honda Sales Operation (HSO) Denpasar, Afriano Nadianto, di sela turingnya yang mengatakan bahwa Honda telah mencapai pangsa pasar 78 persen yang 60 persennya berasal dari segmen sepeda motor matik (skutik) yaitu Honda Beat dan Vario. Dan trennya terus meningkat.
Banyak lalat di Bali
Sebagai penyumbang sampah terbesar ketiga di Indonesia, Bali perlu mengelola sampah dengan baik. Hal ini diawali dari perasaan kurang nyaman saya saat sampah di depan kos yang sudah penuh belum diambil. Memang sampah di sini nggak diambil setiap hari, malah bisa nggak diambil sampai sebulan. Kalau sudah begini, jadinya banyak lalat beterbangan.
Waktu saya pergi ke Kintamani juga saya pernah disuguhi kopi dan teh. Di sana, ada banyak lalat beterbangan. Anehnya, tuan rumahnya nggak mengusir lalat atau sekadar menutup gelas kopi untuk menghindari lalat nyemplung ke dalam gelas, seolah sudah biasa.
Soal lalat di Kintamani ini bahkan pernah ramai diberitakan. Katanya sih jumlah lalat yang banyak itu diakibatkan penggunaan pupuk kotoran ayam oleh petani di sana.
Tukang parkir tatoan di Bali tapi ramah dan baik
Di Makassar, kalau Anda melihat tukang parkir tatoan, berarti biasanya dia sering melakukan perbuatan kriminal. Minimal begal. Nggak ada kata-kata don’t judge a book by its cover di sini, Bos. Selain itu, tukang parkir bertato ini kebanyakan pungli dan nggak mengerjakan SOP tukang parkir pada umumnya. Tiba-tiba saja muncul meminta uang parkir seperti siluman.
Akan tetapi di Bali nggak begitu. Tukang parkir di sini justru ramah meski badannya besar dan penuh tato. Profesi tukang parkir di Pulau Dewata memang sangat profesional. Mereka berseragam lengkap dan menjalankan tugas sesuai SOP. Mereka akan membantu Anda mulai dari memarkirkan motor sampai keluar dari parkiran. Malah jika boleh sedikit lebay, jika Anda minta diantar ke rumah, mungkin tukang parkir di sini mau-mau saja saking ramahnya.
Selain itu soal tarif parkir, di seluruh Provinsi Bali rata-rata seribu rupiah. Tapi sekarang khusus daerah Denpasar tarif parkir motor naik jadi dua ribu rupiah. Menurut saya nggak masalah lah tarif segitu kan tukang parkir di sini juga amanah. Saking baiknya tukang parkir di Bali, saya selalu ingin memberikan semua uang yang ada di kantong saya. Tapi sayang kantong saya selalu kosong karena semua uang dipegang oleh istri.
Begitulah culture shock yang saya rasakan sebagai orang Bugis Makassar saat merantau ke Bali. Sebagai perantau, tentu saja saya tetap harus menghormati nilai-nilai yang dijunjung tinggi di sini sekaligus menghargai perbedaan.
Penulis: Sulkifli
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Lalu Lintas Bali Ngawur, Bikin Saya Bersyukur Tinggal di Surabaya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.