Jokes Coki Pardede sepanjang 2020 beberapa sangat berhasil, berhasil mancing keinginan khalayak buat ngata-ngatain. Laughter is the best medicine, nggak berlaku buat jokes Coki, tiati buat yang punya masalah asam lambung.
Saya bukan mau menghakimi akhlaknya Coki Pardede, ya. Perkara kurangnya empati dalam menyusun materi humor itu bukan urusan audiens. Ini juga bukan soal salah dan benar secara teknis, teoritis, atau apalah.
“Lo ketawa bukan buat menghibur diri dan orang lain, lo ketawa karena berpikir kesedihan dan kesusahan orang lain itu menggelikan dan potensial buat jadi konten.” semacam itu pikiran buruk saya. Anggapan semacam itu biasanya muncul saat si pemilik jokes yang nggak termasuk dalam barisan orang susah bikin guyonan dan narasi tentang mereka. Yang bikin jokes jelas punya privilese, privilese untuk minimal ngetawain kesusahan orang.
Orang-orang di Jakarta lagi kesusahan banjir, eh Coki Pardede malah bahas soal basah karena ngewe. Mentang-mentang masih bisa makan meski kebanjiran. Lagi pandemi Corona, eh malah nyebut isi angpao orang-orang di Wuhan. Mentang-mentang nggak berstatus positif Covid-19. Sekarang mau natalan juga ngece anak-anak yang terlihat malnutrisi di Afrika pakai segelas Chatime. Mentang-mentang perut aman dari buncit akibat busung lapar.
Menyusun materi konten kok bermodalkan “mentang-mentang” setelah gagal lucu, lalu ngaku-ngaku dark jokes, hmmm suram.
Berlimpah privilese yang berkebalikan dengan narasi dalam humor yang hendak disajikan bisa membuat seseorang nggak “berhak” nge-dark jokes. Sebab, kalau komika yang membawa narasi kepahitan tersebut bukan si penyintas, rada susah pesannya sampai ke audiens. Yang sampai malah pesan penghinaan, ngece belaka. Padahal dark jokes itu sindiran, bukan penghinaan.
Di mana tepatnya letak dark jokes dari keseluruhan konten yang terbaru, pakai topi santa dan pegang segelas Chatime, milik Coki? Saya nggak paham. Untuk disebut jokes aja failed, apalagi dark jokes.
Coki Pardede dan umatnya sudah tersesat sejak tataran definisi, tapi mereka seperti umumnya penduduk Twitterland, malah ngatain balik pakai kata-kata mutiara soal open minded.
Atau mungkin saking dark-nya sampai nggak bisa dilihat pakai panca indera? Baiklah, lain kali perlu dicoba dilihat pakai dengkul, siapa tahu dengkul bisa lebih open minded.
Dark jokes seperti dark chocolate, sama-sama soal hal yang pahit. Urusan “kegelapan” ini bukan hanya soal membawa isu yang sensitif atau tabu dalam narasi humor, tapi juga soal siapa yang membawa narasi tersebut.
Meski cenderung nggak menghargai apa pun dan siapa pun termasuk nilai-nilai yang dimiliki oleh audiens, dark jokes tetap punya pakem. Sebagai humor, golnya dark jokes adalah lucu.
Dark jokes etnisitas yang dibawakan oleh Ernest Prakasa atau soal diskriminasi pada perempuan oleh Sakdiyah Ma’ruf, misalnya. Nyaman banget tuh buat disimak. Selain bikin ketawa juga membuka pikiran, “Oh, gitu yang mereka rasakan sebagai etnis minoritas.” Di sisi lain, audiens jadi menaruh respek ke pemilik jokes yang berhasil menertawakan kesusahannya dan akhirnya mudah pula bagi audiens untuk melihat isu yang dijadikan materi humor dari sudut pandang orang yang “tertindas”.
“Justru Coki Pardede sukses membuat semua orang berpikir, buktinya rame dibahas di medsos sampai viral.” begitu kata pendapat orang-orang yang mencoba menyerang balik dengan melawan arus. Kalau kesuksesan humor dilihat dari ramainya hujatan sampai viral, kenapa nggak ganti profesi jadi buzzer aja?
Bagi sebagian orang, ada konteks yang kemudian melekat di etnis anak-anak yang gambarnya ada di materi humor Coki. Oleh karena itu, alih-alih lucu, joke Coki jadi terlihat menyedihkan. Topi santa, TV berlayar lebar, segelas Chatime, dan senyuman lebar gagal membangun narasi yang diinginkan Coki.
April lalu dua dokter asal Prancis, dr. Jean Paul Mira dan dr. Camille Locht, mengusulkan untuk menjadikan Afrika sebagai tempat uji coba vaksin Covid-19. Usulan ini menuai protes karena dianggap rasis.
Materi humor Coki Pardede seakan mengingatkan saya pada usulan tersebut. Boro-boro lucu, malah jadi cringe. Tapi, siapa tahu memang cringe adalah jalan ninja Coki Pardede sebagai komika? Kalau begitu ya, asu-dahlah. Seandainya nggak ada konteks rasisme gara-gara usulan dokter Prancis pun joke Coki Pardede tetap gagal lucu.
Lagian nge-dark jokes soal kemanusiaan kok pakai propertinya cuma segelas Chatime, coba berendam bubble tea, atau mandi boba tujuh rupa, jangan kayak orang susah. Biar yang menghujat juga bisa totalitas gitu, lho. Sekalian mewujudkan keberagaman genre komedi. Jika semua komika punya teknik humor yang sama dengan Coki Pardede, nonton video kucing lucu di Nyutub, Toktok, atau Instakilo rasanya sudah cukup lah.
BACA JUGA Menebak Alasan Jokowi Merasa Perlu Berkomentar Soal Pernyataan Macron dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.