Awal bulan ini isu berbahasa Inggris kembali digoreng beramai-ramai. Bermula dari protes warganet dalam klarifikasi video blunder mengenai rasialisme Tionghoa di TikTok, persoalan mengenai penggunaan bahasa Inggris dalam percakapan di internet kini merambah ke jagad Twitter. Warganet beramai-ramai memperdebatkan mengenai penggunaan bahasa Inggris dalam berargumen. Tentu saja persoalan ini menuai pro dan kontra. Banyak warganet yang menganggap pengalihan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (code switching/alih kode) ketika berinteraksi sama saja tidak menghargai lawan bicara. Akan tetapi, banyak pula yang menganggap code switching itu sah-sah saja, nggak perlu lebay protesnya.
2beer! Pls normalize ngehargain lawan bicara, lu mau adu argumen atau pamer kalimat savage? pic.twitter.com/zeTDC1bo4X
— TUBIRFESS (@tubirfess) March 3, 2021
Perdebatan mengenai hal tersebut melebar ke isu privilese, bahkan diungkit sampai hasil pemeringkatan yang menunjukkan bahwa Indonesia tergolong rendah dalam kecakapan berbahasa Inggris di tingkat Asia. Ya wajar, sih, kan banyak negara Asia yang merupakan negara bekas jajahan Inggris, bahkan Amerika Serikat. Nggak apple to apple.
Saya sendiri nggak setuju kalau ada yang mengatakan bahwa code switching itu sah-sah saja, nggak perlu lebay protesnya. Bagaimanapun, etiket berkomunikasi mengajarkan bahwa kita harus menghargai lawan bicara dalam percakapan. Salah satu hal sepele yang seringkali diabaikan orang adalah menggunakan bahasa yang sama-sama mengerti. Kalau sudah latah kebiasaan alih kode ke semua orang, harusnya sadar dan mulai mengusahakan untuk “pilih-pilih” lawan bicara yang sekiranya bisa diajak ngomong bahasa gado-gado.
Mungkin mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan Inggris sering diindikasikan sebagai orang yang terpelajar. Lha gimana nggak terpelajar, orang bisa ndakik-ndakik ngomong bilingual? Nanti kalau lawan bicara lebay protes karena nggak bisa basa enggres tinggal dikatain “educate yourself” atau “Google Translate exists”. Kurang superior apa tuh?
Akan tetapi, sadar nggak sih, orang-orang seperti ini justru secara terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya nggak “seterpelajar itu”. Orang yang betulan terpelajar sudah pasti bisa menjadi komunikator yang baik bagi semua orang. Tentu saja salah satu indikatornya dapat berkomunikasi secara efektif dengan bahasa yang mudah dipahami. Pun dengan mengindahkan etiket-etiket dalam berkomunikasi.
Hal-hal semacam ini menjadi sangat penting mengingat jika lawan bicara tidak memiliki kecakapan dalam memahami alih kode dapat menimbulkan kesalahpahaman. Sebagai contoh, pernyataan klarifikasi dari konten kreator TikTok yang kemarin blunder diprotes warganet karena ketidakkonsistenan dalam menggunakan bahasa Indonesia. Jelas poin yang beliau sampaikan tidak sampai ke audiens. Oleh karena itulah saya sangat tidak setuju apabila alih kode dinormalisasi dan diterapkan ke semua orang tanpa memandang latar belakang audiens.
Lagipula, apa sih susahnya belajar untuk berbicara dalam satu bahasa secara menyeluruh? Selama ini saya sering melihat fenomena ketika salah satu pihak mengaku tidak memahami apa yang dibicarakan karena terkendala bahasa lantas pembicara tersinggung dan menyuruh menggunakan jasa Google Translate. Padahal hal sepele semacam ini bisa dibicarakan secara baik-baik dan nggak perlu merasa superior karena bisa code switching dalam bahasa Inggris. Justru orang-orang yang tidak bisa menggunakan satu bahasa utuhlah yang harus belajar lebih keras agar dapat berkomunikasi secara efektif kepada semua orang dari pelbagai latar belakang.
Sebagai penutup, saya ingin mengutarakan bahwa esensi komunikasi adalah saling memahami poin yang diutarakan kedua belah pihak. Kedua belah pihak akan memahami dengan maksimal ketika komunikasi tersebut menggunakan bahasa yang saling dimengerti. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi untuk menormalisasi dan membiasakan code switching dalam percakapan ke semua orang. Yuk, belajar berkomunikasi dengan baik sekaligus menghargai orang lain.
BACA JUGA Code Switching Itu Sah-sah Saja, Nggak Perlu Lebay Protesnya dan tulisan Hastomo Nur Hidayatulloh lainnya.