Setiap provinsi, kabupaten/kota di Indonesia biasanya memiliki brand, slogan, semboyan, tagline masing-masing. Hal ini bisa kita temukan di gapura/pintu masuk sebuah daerah. Misal Jateng ‘Gayeng’, Sleman ‘Sembada’, Kulonprogo ‘Binangun’, Bantul ‘Projotamansari’, Klaten ‘Bersinar’, Aceh Selatan ‘Sekata Sepakat’, dan masih banyak lagi.
Lihat saja ketika kita berkunjung ke suatu daerah, sepanjang jalan pasti akan disambut tugu, gapura, atau spanduk dengan slogan-slogan ‘ciri khas’ mengenai wilayah tersebut. Lantas seberapa penting sih brand-brand tersebut digunakan untuk memberi julukan untuk sebuah nama kabupaten/kota?
Branding menurut Anholt adalah sebuah proses merancang perencanaan dan menceritakan nama serta identitas dalam rangka membangun atau mengelola reputasi. Dalam dunia bisnis atau usaha, branding amat sangat penting untuk menarik perhatian para konsumen. Misal ‘Sedikit Nakal Banyak Akal‘, diakui atau tidak tagline ini sangat melekat di kalangan kawula muda wabil khusus jamaah mojokiyah. Tentu ini salah satu dari sekian banyak contoh teknik marketing kreatif yang lumayan berhasil memberi attention bagi masyarakat.
Jadi mari kita sepakati terlebih dahulu jika sebuah slogan, brand itu penting digunakan untuk memberi sebuah kesan bagi masyarakat, tak terkecuali slogan-slogan untuk memberi embel-embel nama sebuah provinsi, kabupaten/kota.
Sebagai warga yang kebetulan lahir dan berdomisili di Gunungkidul, sejak kecil saya sangat familiar dengan embel-embel di belakang nama Gunungkidul: Handayani. Hampir setiap agustusan, anak-anak di pelosok desa diminta membantu memugar Tugu yang memiliki atap joglo bertuliskan Gunungkidul Handayani.
Tagline ‘Handayani’ sendiri sebuah singkatan dari Hijau, Aman, Normatif, Damai, Amal, Yakin, Asah Asih Asuh, Nilai Tambah, Indah. Di mana embel-embel itu telah melekat di dalam sanubari setiap orang yang lahir dan besar di Gunungkidul.
Akan tetapi seiring berjalanya waktu, di era yang super digital ini tampaknya tagline Handayani nyaris dilupakan banyak orang, baik warganya sendiri maupun wisatawan yang berkunjung tak mengenali slogan penuh qairah semangat ini. Justru mereka lebih mengenal Gunungkidul dengan sebutan Jogja Lantai Dua.
Contohnya saat saya menemani seorang teman dari Jakarta beberapa hari lalu ke salah satu Pantai Selatan di Gunungkidul. Sepanjang jalan dia mencari tagline Jogja Lantai Dua yang jelas-jelas tidak terpampang baik di ‘Tugu Selamat Datang’ maupun di spanduk-spanduk. Dia menganggap bahwa Jogja Lantai Dua sama seperti brand Jaya Raya di Jakarta. Terpaksa saya harus menceritakan sekelumit sejarah yang masih simpang siur terkait slogan atau lebih tepatnya hashtag kondang (media sosial) tersebut.
Entah siapa inisiator di balik istilah Jogja Lantai Dua untuk moyoki Kabupaten Gunungkidul. Yang jelas istilah ini terkenal luas di kalangan netizen sejak pariwisata di Kabupaten Gunungkidul mulai mulai berkembang pesat, tentu akibat postingan gambar-gambar tempat pariwisata yang mantap jiwa di Twitter dan Instagram.
Hingga saat ini saya juga belum tau motivasi seseorang menjuluki Gunungkidul dengan Jogja Lantai Dua. Memakai sudut pandang manakah para inisiator tagline ini dalam memahami konteks ‘Lantai Dua’? Karena Gunungkidul berada di wilayah ‘atasnya’ Kota Yogya, akibat gunung-gunung menjulang itu? Atau Gunungkidul dipandang sebagai sebuah wilayah yang dalam konteks sosial budaya sama ssperti Kota Jogja?
Gunungkidul memang bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tapi memang bisa bisa menyama-ratakan bahwa Kota Jogja itu sama seperti Gunungkidul?
Tapi bagaimana bisa sama? Lha wong Kota Jogja itu punya banyak gedung bioskop, di Gunungkidul mana ada gedung-gedung untuk pemutar film? Belum lagi perkara hotel, mal, dan lain sebagainya. Semua tidak ada! Jadi tagline Jogja Lantai Dua ini dalam hal ke absahan logika patut dipertanyakan.
Selain itu, dalam prespektif sebuah rumah yang memiliki lantai dua, biasanya terdapat balkon yang berguna untuk bersantai melihat pemandangan di bawah (sekitar rumah), inget ‘di sekitar rumah’ bukan untuk melihat isi dalam rumah di lantai dasar. Jadi jika kita memiliki sebuah balkon di lantai dua, mustahil melihat isi lantai dasar rumah kita. Yang akan kita lihat adalah pemandangan sekitar rumah.
Nah, apabila ‘Bukit Bintang’ dikategorikan sebagai balkon-nya Kota Jogja, kok bisa kita melihat isi ruangan lantai dasar rumah kita? Hmm…
Inilah salah satu contoh ‘kekreatifan’ manusia Indonesia di era Digital. Atas nama viral dan ‘kondiang’ lantas melupakan esensi dalam konteks pemaknaan. Tak lebih ini hanya semacam clickbait ‘Nomer 14 ini bikin anda tegang seumur hidup‘. Hiyuuuuh.
Terlepas dari itu semua, jika Gunungkidul adalah Jogja Lantai Dua, maka bisa dong menyebut Kota Jogja adalah Gunungkidul Lantai Dasar?
Sudah. Sudah. Lebih baik kita kembali ke tagline masing-masing. Gunungkidul itu ya Handayani dengan semboyan ‘Hari Esok Lebih Baik’, begitupun Kota Jogja yang istimewa dengan semboyannya Berhati Nyaman. Bukankah seperti ini jauh lebih adem daripada harus repot-repot ngotak-atik sebuah kata yang kering akan esensi dan makna?
Hanjuuk piye ya namanya juga kita. Nek ora ngotak-atik yo gatel tangane, Dab.
BACA JUGA Gunung Kidul Saat Disambut Ulat Jati atau tulisan Jevi Adhi Nugraha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.