Kemarin saya baru membeli sebuah lemari. Sebuah lemari bekas yang mau bagaimana juga, tetap bikin saya senang setengah mampus. Pasalnya, sebaik yang bisa saya ingat, sejak menginjakkan kaki pertama kali di jogja yang istimewa ini, saya tidak pernah memiliki lemari sendiri. Jadilah lemari baru yang sudah bekas ini menjadi salah satu pencapaian besar saya setelah tiga tahun di jogja.
Sebuah kebetulan yang luar biasa. Sebabnya adalah karena lokasi saya COD-an dengan mantan pemilik lemari tersebut ada di sekitaran Terminal Condongcatur sedang saya saat ini tinggal di daerah Umbulharjo (Kota). Jauh? Ya lumayan lah. Di maps saya tertera jarak empat km.
Kebetulan yang luar biasa lainnya adalah ketika saya bertemu dengan seorang sopir jasa angkot yang “katanya” entah sudah menggeluti usaha tersebut sejak 11 atau 12 tahun yang lalu. Blio sendiri kurang bisa untuk memastikan. Yang pasti, pertemuan kami yang terwujud berkat saling butuh itu membawa salah satu cerita yang akhirnya harus saya tuliskan ini.
Pertemuan dengan sopir jasa angkut yang belakangan saya tahu bernama Pak Alfan itu tentu tidak seperti pertemuan orang lain pada umumnya. Kami dipertemukan oleh dua kepentingan yang berlawanan arah. Saya yang membutuhkan jasa angkut Pak Alfan, di lain sisi Pak Alfan membutuhkan uang saya. Walau banyak orang justru menyebut hubungan ini sebagai mutualisme berbalut materialisme.
Setelah kesepakatan di angka seratus ribu untuk sekali angkut lemari dengan ukuran 150cm×100cm×45cm itu, kami melaju ke lokasi kos saya. Di tengah jalan, demi menghindari suasana krik-krik dan canggung, saya coba memberanikan diri bertanya kepada Pak Alfan perihal pengalaman blio selama menjadi sopir jasa angkut barang.
Blio bercerita dengan gaya yang anteng, awalnya. Seperti halnya saat beberapa kali saya menggunakan jasa ojek atau taksi online dan berusaha bisa berbasa-basi dengan si pengendara yang berakhir sekedar “oh?” atau “iya.” Namun, dalam alam pikir saya, dugaan bahwa Pak Alfan mestinya punya pengalaman besar selama menjalani laku jasa angkutan ini seperti menyihir saya untuk menanyakannya sesegera mungkin sebelum kami sampai di tujuan.
Pertanyaan, “Ada nggak pengalaman yang paling aneh yang pernah bapak rasakan selama menjadi sopir jasa angkut, Pak?” itu seketika keluar dari tenggorokan saya. Sebenarnya saya tidak terlalu berharap ada pengalaman yang aneh karena setelahnya pun blio menyebut pengalaman yang menurut blio acap terjadi kepada jasa angkutan barang lainnya.
Hingga pada akhirnya blio memberanikan diri berkata begini, “Tapi, pengalaman yang berat, pernah, Mas.” Saya akhirnya bertanya balik perihal pengalaman “berat” dari blio. Maka pengalaman yang (sepertinya) berusaha disimpan rapi itu terkuak.
“Pengalaman itu terjadi sekitar sembilan tahun yang lalu,” kata Pak Alfan memulai ceritanya. Adalah kerja mengangkut, manusia. Mengangkut orang.
Awalnya saya merasa bahwa itu hal yang biasa. Toh saat mengangkut barang, biasanya juga memang ada orang yang ikutan. Dan itu pengalaman yang tidak berat menurut pandangan saya. Namun, saya memberanikan diri berpikir agak liar, mungkinkah yang dimaksud “orang” itu adalah mayat atau orang yang sudah meninggal? Dan ternyata jawabannya juga tetap bukan karena yang diangkut oleh blio adalah orang. Satu orang.
Satu orang yang terkena penyakit obesitas hingga mencapai berat hampir 300 Kg. sangat berat dari yang bisa saya bayangkan sebagai bobot manusia.
Saya membayangkan begini, berat saya saat ini hanya sekitar 50 Kg. Dibandingkan satu manusia yang diangkut Pak Alfan, itu setara dengan saya sebanyak enam orang. Dan itu angka yang menurut saya besar.
Belum habis rasanya keterkejutan saya, lantas Pak Alfan melanjutkan bahwa blio yang diangkut Pak Alfan itu awalnya akan diantar ke rumahnya di Kebumen menggunakan ambulans karena blio memang pasien di salah satu rumah sakit pusat di Jogja. Kenyataannya, sopir ambulans dan kernetnya tidak sanggup. Butuh ruang seluas satu bak utuh macam pick-up milik Pak Alfan. Dan itu tidak bisa terjadi di mobil ambulans karena bak ambulansnya tertutup serta di dalamnya sudah tersekat, terutama untuk bagian kursi.
Setelah sepakat dengan jasanya, Pak Alfan mengantar si sakit ini tadi ke rumahnya pada malam hari sekitar jam sepuluh malam. Sesuatu yang lagi-lagi kebetulan yang luar biasa. Tapi, demi kesepakatan mendapat cuan, Pak Alfan memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Anehnya, justru selama perjalanan yang memakan waktu 3,5 jam itu, Pak Alfan tidak sekalipun menoleh ke belakang melihat “orang” yang diangkutnya. Kata Pak Alfan, “Saya tidak tega menyaksikan blio, tiduran di bak saya macam orang yang menunggu mati, Mas. Belum lagi Jalan Daendels yang saat itu masih jauh dari kata bagus”, yang malah membuat hati dan pikiran saya tidak bisa saling kompromi.
Sampai di tujuan pada pukul setengah 2, Pak Alfan sudah ditunggu sekitar 8 atau 9 orang yang semakin membuat kaget blio. Dikiranya mau mengeroyok blio. Ternyata, kedelapan atau kesembilan orang itu disewa untuk memindahkan si “orang” ini tadi dari bak pick-up ke dalam rumah.
BACA JUGA 3 Tahap Belajar Ngompreng Truk di Lampu Merah dan tulisan Taufik lainnya.