Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan tugas pengabdian para mahasiswa–makhluk yang katanya agen perubahan–kepada masyarakat. Nama KKN sendiri sebenarnya tidak konsisten, sebab beda perguruan tinggi akan beda penyebutannya. Ada yang menyebutnya Kuliah Kerja Sementara (KKS), Praktek Pengalaman Lapangan (PPL), dan lainnya. Namun, yang lebih umum dikenal adalah KKN, apalagi sejak ada cerita KKN Desa Penari orang-orang jadi semakin mengenal tugas pengabdian mahasiswa ini dengan sebutan KKN. Kok jadi horor, ya.
Sebelum turun KKN, para mahasiswa terlebih dahulu mendapatkan pembekalan dari pihak kampus. Pembekalan tentang tujuan, kegiatan, dan hasil dari KKN nantinya. Pengalaman saya sewaktu ikut pembekalan KKN, ada sangat banyak wejangan hebat yang disampaikan untuk mahasiswa. Salah satu wejangannya, “Mengabdilah sepenuh hati dan buatlah perubahan di desa yang kalian datangi.” Namun, itu semua hanya bacot, bacot yang luar binasa, eh, maksudnya luar biasa.
Para mahasiswa mendapat wejangan untuk mengabdi sepenuh hati, tapi di sisi lain motivasi mahasiswa mengabdi adalah agar tidak mendapat nilai KKN yang rendah. Bukankah itu dua hal yang bertentangan?
Mengabdi sepenuh hati untuk memberi perubahan lebih baik pada masyarakat, sungguh niat yang mulia. Kata-kata Sang Guru dalam “Manuskrip yang Ditemukan di Acra” karya Paulo Coelho bahwa bekerja adalah perwujudan cinta yang menyatukan umat manusia. Merupakan ungkapan yang sangat cocok untuk menggambarkan KKN sebagai tugas akhir pengabdian masyarakat oleh para mahasiswa.
KKN merupakan totalitas pengabdian mahasiswa–sang agen perubahan–kepada masyarakat. Mahasiswa bekerja bukan untuk sekadar kepentingan diri sendiri, tapi untuk mendapatkan nilai “A” dari Kepala Desa. Eh keliru, kok ya terlalu jujur. Anggaplah mahasiswa bekerja untuk memberikan manfaat bagi masyarakat di desa yang akan didatangi, biar lebih kelihatan mahasiswa itu agen perubahan.
Sang agen perubahan bebas membayangkan berbagai program hebat yang akan dilakukan di desa. Sang agen perubahan bisa turun ke desa dengan berjuta gagasan hebat. Gagasan yang bisa jadi hanya akan mengotori lembaran-lembaran kertas putih tak berdosa. Sebab berbagai program terukir indah di atas kertas putih, tapi tak berhasil dijalankan. Karena sang agen perubahan sibuk dengan kegiatan asmara di posko KKN dan asmara di desa.
Selain itu, satu hal yang sangat saya tidak setuju adalah ketika kesuksesan KKN hanya dinilai dari sebesar apa lomba yang diselenggarakan mahasiswa di desa. Seakan tak peduli sebagus apa pun programnya–penghijauan desa, pemberantasan buta huruf, rumah baca anak-anak, bimbingan usaha mikro. Namun, jika tidak menyelenggarakan lomba desa, KKN kok dianggap tidak sukses?
Saya termasuk mahasiswa yang sewaktu KKN tak terlalu tertarik pada kegiatan lomba desa. Dana lomba 5-10 juta, sebenarnya bisa untuk membuatkan ruang baca anak-anak serta taman pengajian anak-anak, lengkap dengan buku dan Alquran-nya. Namun, dana itu habis hanya untuk lomba saja. Dan program lain yang sebenarnya lebih penting tepaksa tak dijalankan, karena mahasiswa sudah terlanjur lelah dan dana sudah terpakai habis di lomba desa.
Jauh-jauh turun KKN di desa pedalaman, hanya untuk menyelenggarakan lomba desa yang sebenarnya bisa diselenggarakan oleh orang-orang di desa, buat apa coba? Padahal kehadiran mahasiswa yang katanya si agen perubahan bisa lebih bermakna daripada hanya sekadar menjadi agen perlombaan.
Nonsense rasanya, ketika selesai KKN para mahasiswa hanya bisa menceritakan program berupa lomba desa. Apalagi mahasiswa yang hanya bisa menceritakan hubungan asmara di desa, itu bukan hanya nonsense tapi lebih dari bullshit. Mahasiswa agen perubahan bukan agen perlombaan apalagi agen percintaan, Coy.
Namun, kendalanya adalah banyak masyarakat di desa yang menganggap bahwa jika ada mahasiswa KKN, pasti akan ada lomba di desa. Entah sejak kapan cara pandang ini terbangun?
Mahasiswa harus bisa mengarahkan cara pandang masyarakat agar kehadiran mahasiswa di desa bisa lebih diefektifkan pada program-program KKN yang sebenarnya, tak hanya menghabiskan tenaga untuk penyelenggaraan lomba desa.
Tapi, kendalanya juga mahasiswa sangat suka dengan program lomba desa. Soalnya program lomba desa yang meriah akan nampak keren, dan termasuk program yang lebih mudah dilaksanakan daripada harus melaksanakan program ruang baca anak-anak, bimbingan usaha mikro, dan program lainnya yang cenderung sulit untuk dilaksanakan.
Selain itu mahasiswa yang dianggap sebagai agen perubahan, yang katanya masyarakat intelektual, yang belajar di perguruan tinggi, kok ya mudah sekali dibodoh-bodohi di desa?
Ada teman saya yang menceritakan bahwa katanya mereka melakukan program pemlesteran (pengecoran) dinding kantor desa. Haduh, buat apa coba? Itu urusan desa bukan mahasiswa KKN, dananya juga sudah ada di desa. Kalau programnya perbaikan sekolah swasta yang hampir roboh, ya bagus. Kalau perbaikan kantor desa, suruh pikirinlah sama desanya pakai dana mereka yang satu miliar.
Lebih parah lagi mahasiswi, kok ya mudah sekali ditipu pemuda di desa. Diajak jalan terpaksa mau, sebab kalau tak mau diancam tak akan dibantu programnya. Kalau jalan-jalan di kota ya ke warkop, kalau jalan-jalan di desa ya ke gelap-gelapan. Astagfirullah langsung muncul prasangka buruk.
Haduh, untuk mahasiswi KKN jangan mau diajak gitu, termasuk juga jangan mau dirayuin teman seposko. Turun KKN untuk masa depan, bukan merusak masa depan. Kalau pemuda di desa tak ingin bantu program KKN, mahasiswa jangan merasa bersalah. Lagian desanya bukan desa kamu, jadi kalau pemudanya tak mau bantuin program yang rugi mereka bukan kamu. Jangan ngorbanin diri deh, mahasiswa itu agen perubahan bukan hewan korban.
Mahasiswa harusnya punya kesadaran bahwa dia itu agen perubahan bukan agen perlombaan, apalagi hanya sebagai agen percintaan atau hewan korban. Sehingga KKN bisa dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi pada masyarakat dengan berjuta ide menarik dari mahasiswa. Tak hanya sekadar diharapkan buat lomba desa saja atau malah jadi hewan korban dibodoh-bodohi sama aparat dan pemuda desa. Kamu mahasiswa loh, perlihatkan di mana “maha” kamu itu.
BACA JUGA Persamaan Pengalaman KKN Saya dengan KKN di Desa Penari atau tulisan Moh Rivaldi Abdul lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.