Beberapa waktu yang lewat, saya bersama beberapa teman semasa kuliah yang sudah bekerja di berbagai perusahaan, bertemu untuk sekadar reuni kecil-kecilan. Kami berbincang tentang banyak hal, utamanya brainstorming soal ruang lingkup pekerjaan. Sebagian di antara kami sama-sama bekerja sebagai HRD. Sebagian lainnya ada yang bekerja sebagai customer service dan marketing.
Perbincangan ngalor-ngidul tentang pekerjaan pun akhirnya mengerucut kepada satu pembahasan yang membikin kami sama-sama antusias dalam bercerita sekaligus mendengarkan satu sama lain. Yakni, tentang rekan kerja yang hobi menjilat atau cari muka kepada para atasan atau orang yang punya pengaruh cukup besar di suatu perusahaan dengan posisi/jabatan yang bukan kaleng-kaleng.
Sebelum bercerita lebih jauh, mohon jangan mengartikan kata menjilat atau cari muka secara harafiah. Tentu saja dua kata tersebut hanya sebuah kiasan atau istilah bagi seseorang yang punya penyampaian halus untuk mencapai suatu tujuan pribadi. Nggak jarang, trik ini juga seringkali digunakan oleh sebagian orang untuk menjatuhkan atau membuat seseorang yang tidak disukai diberi penilaian buruk atau didepak dari posisinya.
Menurut KBBI sendiri, menjilat diartikan sebagai berbuat sesuatu supaya mendapat pujian. Istilah ini biasa dikenal juga dengan cari muka.
Curhatan dari beberapa teman mengenai rekan kerja mereka yang hobi cari muka di kantor masing-masing berlanjut. Mereka terlihat sangat mangkel saat bercerita. Sesekali mereka mengungkapkan kekesalan dengan menyelipkan kata “anjing”, “bangsat”, dan sebangsanya, karena saking mangkelnya. Di waktu yang bersamaan, sebagai teman yang baik, saya menyimak sekaligus menjadi pendengar yang siap untuk memberi saran jika diperlukan.
Mereka bercerita, meski berbagai cara yang dilakukan oleh rekan kerjanya dalam cari muka terbilang template, tetap saja selalu bikin mangkel setengah mampus. Bikin jijik. Kalian boleh sambil membayangkan beberapa situasi ini yang, mungkin juga terbilang familiar dan kerap terjadi di lingkungan kerja masing-masing.
Pertama, rekan kerja yang terlihat malas-malasan saat nggak ada bos di kantor, begitu ada bos semangatnya naudzubillah setan. Belum lagi sok-sokan mengerjakan beberapa kerjaan yang sudah menjadi deskripsi pekerjaan kita. Jika bos tidak ada di kantor, kelakuannya balik malas-malasan lagi. Cara ini bisa dikategorikan sebagai cari muka aktif-pasif.
Kedua, rekan kerja yang terbilang sangat aktif cari muka secara gamblang dan blak-blakan. Caranya pun bisa dilakukan secara frontal sekaligus serampangan, tanpa mempedulikan perasaan rekan kerja lainnya. Terpenting, tujuan pribadinya tercapai dan/atau rekan kerja yang tidak disukai kena sialnya.
Cara kedua seringkali menghasilkan konflik antar karyawan—bisa dari divisi yang sama atau berbeda. Lantaran, menyampaikan tutur kata yang kurang menyenangkan atau selalu mengiyakan apa yang disampaikan Atasan. Juga mendekati atasan dengan cara yang tidak fair.
Setelah mendengarkan cerita tentang karyawan yang hobi cari muka dari beberapa teman, tidak menjadikan saya langsung mendukung atau menghakimi salah satu pihak saja. Sebab, bagi saya, rasanya kurang lengkap jika belum mendengar penjelasan dari kedua belah pihak perkara cari muka ini.
Saya dan beberapa teman yang juga bekerja sebagai HRD hanya saling mengangguk dan menengok, karena cukup memahami persoalan yang cukup pelik ini. Penyelesaiannya pun antara gampang dan susah. Dibilang gampang, tapi seringkali masalahnya tergolong abu-abu, antara personal dan profesional. Mau dibilang susah, ya memang. Penyelesaiannya pun tak jarang harus melibatkan pertemuan antara kedua belah pihak yang bermasalah, dengan tim HRD sebagai mediatornya, agar bisa didiskusikan sumber dan inti persoalannya.
Sulit dimungkiri bahwa, cari muka adalah sesuatu yang cukup menyebalkan. Baik dari sisi karyawan maupun HRD. Sebab, persoalan seperti ini termasuk cerita lama yang sulit dihindari, dikontrol, sekaligus dicegah di ruang lingkup pekerjaan, di beberapa perusahaan. Lantaran, cukup sulit menentukan dan/atau mengkategorikan, apakah kalimat atau sesuatu yang dilakukan oleh karyawan terbilang cari muka atau bukan. Jika keliru dalam menganalisa, yang ada malah hanya menyisakan kesan suudzon.
Pada akhirnya, saya coba memberi saran kepada beberapa teman yang merasa mangkel karena rekan kerja yang mereka anggap punya hobi ini.
“Ya, sudah. Toh, kita nggak bisa mengatur orang lain untuk berbuat atau sepemikiran sama kita. Tetap kerja secara profesional aja. Lagian, kalian nggak perlu ikut-ikutan cari muka. Buat apa? Memangnya, muka kalian hilang, mau dicari segala?” Kata saya coba menenangkan sekaligus menghibur mereka yang, terlihat malah semakin mangkel mendengar saran tersebut.
BACA JUGA Suka Duka Jasa Pembuat CV dan Surat Lamaran Kerja: Nggak Lolos Seleksi Dicerca, Giliran Sukses Dianggap Biasa dan artikel Seto Wicaksono lainnya.