4 Mekanisme Bertahan Hidup Anak Kos yang Bisa Dicoba Jika Harga Mi Instan Naik Beneran

4 Mekanisme Bertahan Hidup Anak Kos yang Bisa Dicoba Jika Harga Mi Instan Naik Beneran

4 Mekanisme Bertahan Hidup Anak Kos yang Bisa Dicoba Jika Harga Mi Instan Naik Beneran (Pixabay.com)

Sembari menjaga toko fotokopi, saya menyibukkan diri dengan scrolling Instagram untuk mengisi kejenuhan di tengah sepinya pelanggan. Ada satu hal yang menarik diri saya di banyaknya tebaran informasi di media sosial, yakni berita mengenai harga mi instan naik.

Naniii?!

Menurut penuturan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa mi instan akan mengalami kenaikan harga hingga tiga kali lipat, sebagai imbas dari kecamuknya perang Rusia-Ukraina. Jika mi instan hari ini harganya tiga ribuan, harganya akan menyentuh sembilan ribuan untuk satu bungkusnya. Coba bayangkan, harga mi instan sudah setara dengan harga nasi goreng di kampung saya.

Masyarakat kita telah menyadari bahwa mi instan sudah ibarat makanan pokok mereka setelah nasi. Pada 2020 saja, menurut World Instant Noodles Association (WINA) bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan 12,64 miliar bungkus mi instan dalam setahun, yang berarti Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara yang paling beringas makan mi instan setelah Cina.

Salah satu elemen masyarakat yang paling beringas dengan mi instan adalah anak kos, lebih tepatnya mahasiswa yang ngekos. Namun, dengan beredarnya berita akan kenaikan harga mi instan, setidaknya memaksa mahasiswa kos untuk melakukan mekanisme bertahan hidup yang lain, selain makan mi instan.

#1 Mandiri alias menanak nasi sendiri

Syarat terpenting menjadi mahasiswa kos adalah harus mandiri, alias menanak nasi sendiri. Mungkin ini merupakan mekanisme bertahan hidup yang cukup klasik, bahkan sudah dilakoni oleh kebanyakan mahasiswa. Namun, cara ini tetap menjadi alternatif di kala naiknya harga mi instan.

Jadi, para mahasiswa kos nggak perlu membeli nasi bungkus lengkap dengan lauknya lagi. Melainkan mereka hanya perlu membeli lauknya aja, sedangkan nasinya masak sendiri. Lebih menguntungkan lagi bagi mereka anak petani, jadi berasnya nggak perlu beli, cukup bawa aja langsung dari rumah untuk perbekalan di kos.

Saya sendiri menjadi sosok mahasiswa kos yang cukup telaten melestarikan rutinitas ini. Selain karena makan mi instan terus-terusan itu nggak menyehatkan, saya sendiri merupakan anak petani yang memiliki sumber daya beras yang cukup untuk kebutuhan saya di kos.

#2 Sering-sering ikut seminar

Sering mengikuti seminar adalah rutinitas lain saya selama menjadi mahasiswa kos. Selain mendapatkan ilmu, sering mengikuti seminar adalah alternatif lain untuk bertahan hidup sebagai mahasiswa kos dengan modus mendapatkan makan siang gratis dari lembaga atau organisasi di kampus.

Jadi ketika saya mengikuti seminar, setidaknya saya mendapatkan tiga keuntungan, dapat ilmu, dapat makanan gratis, dan dapat sertifikat untuk syarat kelulusan. Sebagaimana kata pepatah “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” alias sekali ikut seminar, tiga keuntungan yang didapatkan.

Oh iya, untuk kasus ini, ikut seminarnya yang gratisan aja, asal dapat makanan. Kalau seminarnya bayar terus dapat makanan, berarti sama saja bohong.

#3 Puasa Senin-Kamis

Ini mekanisme bertahan hidup yang paling bagus jika harga mi instan naik. Bagi kalian yang muslim, berpuasa sunnah, khususnya puasa Senin-Kamis adalah metode alternatif untuk bertahan hidup menjadi mahasiswa kos. Lebih beruntung lagi bagi kalian yang tinggal di kota-kota besar seperti Surabaya yang beberapa masjidnya menyediakan makanan gratis setiap ba’da maghrib Senin dan Kamis. Makanan gratis ini memang diperuntukkan bagi mereka yang sedang berpuasa Senin-Kamis.

Jadi, kalian hanya cukup beli makan sekali saja dalam sehari yang diperuntukkan untuk sahur, dan untuk berbukanya tinggal memanfaatkan fasilitas masjid yang menyediakan makanan gratis. Sudah dapat pahala, irit ekonomi pula.

#4 Kurangi makan, perbanyak Promag

Ketika membincangkan mekanisme bertahan hidup mahasiswa kos, saya seketika itu teringat dengan gagasan seorang antropolog asal Amerika yakni James C. Scott mengenai temuan penelitiannya tentang mekanisme survival masyarakat yang kesusahan ekonomi. Salah satu poin mekanisme survival masyarakat yang kesusahan ekonomi itu adalah dengan “mengencangkan ikat pinggang” mereka, alias mengurangi kuantitas makanan.

Cara ini tentu saja dapat dilakukan oleh mahasiswa kos untuk bertahan hidup pasca kenaikan harga mi instan. Jadi, yang awalnya makan tiga kali, ya dikurangi jadi dua kali sehari, yang awalnya makan bisa sampai segunung nggak keliatan piringnya, ya dikurangi jadi makan sewajarnya atau bahkan sedikit saja.

Namun, perlu dicatat bahwa mekanisme bertahan hidup yang semacam ini tentu saja memiliki implikasi kesehatan, salah satunya yakni penyakit asam lambung. Sehingga sangat disarankan untuk menyediakan obat Promag atau obat sejenisnya ketika melakoni rutinitas makan semacam ini.

Jadi itu beberapa mekanisme bertahan hidup jika harga mi instan naik tiga kali lipat. Nggak usah bergumam ini itu terkait harga mi instan naik, toh nggak akan ada yang denger. Lebih baik kita yang bertahan mengadu nasib, karena kita dirawat oleh diri kita sendiri, bukan negara.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 10 Pilihan Rasa Mi Instan Paling Enak dari Pabrikan Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version