Seorang remaja diamankan karena ketahuan membawa lari motor warga di Bandongan. Gara-gara parasnya yang cantik, warganet ramai-ramai berkomentar “cantik-cantik kok maling”. Sebenernya ini fenomena beauty privilege atau seksisme terhadap perempuan?
Baru-baru ini viral berita mengenai maling motor di daerah Bandongan, Magelang, yang konon berparas cantik. Lantaran lokasinya nggak terlalu jauh dari rumah saya di Kaliangkrik, Magelang, saya jadi tertarik untuk mengikuti berita ini. Saat membuka media sosial, saya melihat banyak komentar warganet yang menyayangkan kejadian tersebut.
“Duh, Mbak, cantik-cantik kok maling, sih?”
“Sayang banget cantik gini maling!”
Saat membaca beragam komentar warganet, saya jadi berpikir bahwa beauty privilege itu ternyata nyata, Gaes. Maling-maling lain yang mungkin nggak secakep mbaknya bakalan diberitakan dengan muka memar dan bibir jontor habis digebukin massa. Jangankan digebukin, mbaknya malah diajak selfie. Ya mau gimana lagi, kan yang penting cantik. Bahkan, ada komentar warganet yang mau memberikan pendidikan budi pekerti secara privat, lho! Saya jadi bertanya-tanya, kalau malingnya jelek, kira-kira tetap ada tawaran gini juga nggak, ya?
Beauty privilege atau seksisme terhadap perempuan?
Terlepas dari berita lanjutan bahwa si mbak membawa lari motor karena dipengaruhi obat dan telah mengembalikan motor ke tempat semula, saya mendapati dua fenomena yang terjadi dari pemberitaan maling cantik ini: beauty privilege (privilese kecantikan) dan seksisme perempuan. Saya akan membahasnya satu per satu.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, terlihat jelas orang-orang cenderung mudah “memaafkan” pelaku karena parasnya yang jelita. Coba bayangkan kalau malingnya nggak good looking. Mungkin komentar warganet yang saya baca bakal seperti ini:
“Udah jelek, maling pula!”
“Kalau jelek, minimal kelakuannya bener kek…”
“Muka udah minus, attitude jangan minus juga, dong!”
Lihat, kan? Perbedaannya jelas. Cantik tapi maling ini bisa kita lihat sebagai sebuah paradoks, bahwa seseorang dengan penampilan atau paras menarik sering mempunyai keuntungan di dalam berbagai situasi sosial. Istilahnya, kalau kamu cantik atau ganteng, separuh permasalahan hidupmu bakal selesai. Itulah pentingnya kita menilai seseorang nggak cuma dari penampilannya dalam mengukur moral seseorang.
Beauty privilege memang sangat berperan, bahkan ketika bersinggungan dengan peraturan. Seseorang berparas menarik saat melakukan kejahatan cenderung mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau bahkan bisa saja bebas dari hukuman. Menarik, ya? Sungguh benar sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking.”
Nggak cuma mengandung fenomena beauty privilege saja, kejadian ini juga lagi-lagi menimbulkan tindakan seksisme terhadap perempuan. Dalam rangka berlomba-lomba menarik perhatian pembaca, berbagai media daring menonjolkan sisi “cantik”-nya perempuan secara berlebihan di judul dan isi berita.
Sebenarnya, korban dari seksisme nggak hanya terjadi pada perempuan. Laki-laki pun dapat mengalaminya. Sayangnya, perempuan yang lebih sering menjadi korban seksisme dalam media pemberitaan.
Kata “cantik” memang menjadi primadona dan melekat erat pada perempuan. Judul berita yang seksis acap kali mengeksplorasi fisik dalam berbagai frasa seperti wanita berparas menarik, wanita cantik, pose seksi, dan masih banyak lagi.
Lantas, apakah “maling cantik” ini termasuk ke dalam bentuk seksisme? Hampir semua warganet di berbagai media sosial menyayangkan perilaku si mbak dalam mencuri motor. Mereka menganggap bahwa dengan parasnya, banyak peluang yang lebih pantas untuk si mbak lakukan (terutama dalam memperoleh uang) dengan kecantikan wajahnya.
Ada juga yang memprediksi bahwa bisa jadi di kemudian hari si pelaku pencurian motor ini akan diundang ke acara-acara TV mainstream yang hanya mementingkan viralnya sebuah peristiwa atau tokoh. Bukan berdasarkan kualitas atau kredibilitas.
Melihat komentar-komentar warganet yang sangat subjektif seperti “muka malingnya cantik bikin salah fokus” atau bahkan ada sebuah berita yang menulis headline “langsung kawinin biar jadi orang bener”, saya merasa pemberitaan dan komentar-komentar yang ada memang mengarah ke seksisme. Yang jelas, jangan kaget kalau tiba-tiba kita melihat si “maling cantik” ini muncul di acara-acara TV atau malah jadi duta anti-mencuri.
Penulis: Ayu Larasati
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ketua RT dan Janda Cantik: Sebuah Pengalaman Menyandang Status Pak RT.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.