Rumah dekat Cafe Hidden Gem Jogja nggak melulu menyenangkan, banyak nggak nyamannya malah.
Cafe menjamur di Jogja dalam beberapa tahun terakhir. Kehadirannya merubah gaya hidup banyak orang, khususnya anak muda. Mereka yang biasanya nggak doyan jajan jadi konsumtif. Mereka yang biasanya minum Teh Tjatoet tiba-tiba cuma mau minum Earl Grey seduhan barista.
Saking besarnya pasar di Jogja, cafe-cafe kini mulai masuk ke perkampungan. Kampung saya salah satu daerah yang nggak luput dari pembangunan cafe hidden gem. Padahal kalau dipikir-pikir, daerah rumah saya hanyalah pinggiran Kota Jogja dengan vibes kabupaten yang kental. Penduduknya lebih banyak orang tua dan anak-anak, jelas bukan target pasar bisnis yang satu ini. Memang sih, ada kampus di dekat rumah, tapi keberadaannya antara ada dan tiada. Bayangkan saja, masak jumlah mahasiswa kampusnya hanya puluhan orang saja.
Kampung saya benar-benar bukan tempat yang strategis untuk mendirikan usaha. Akses jalannya sempit, dan minim lahan parkir. Namun, entah mengapa, cafe-cafe semacam ini kini nggak pernah sepi. Saya acungi jempol untuk strategi pemasarannya.
Bagi kalian yang suka nongkrong di cafe dan punya kantong tebal, mungkin daerah rumah saya adalah idaman. Kalian bisa ngopi dan nongkrong hanya dengan jarak yang dekat. Masalahnya, saya tipe orang yang nggak suka ke cafe. Kehadiran cafe-cafe di kampung nggak begitu berdampak signifikan untuk keseharian saya. Malah, cafe-cafe yang kerap dilabeli hidden gem karena letaknya nyelempit itu cuma bikin menderita aja.
Keluhan itu muncul bukan karena saya nggak suka cafe lho. Nyatanya, banyak warga kampung yang merasa dirugikan dengan kehadiran cafe-cafe itu. Berikut 4 derita punya rumah di dekat cafe berdasar pengalaman saya.
Daftar Isi
Lokasi cafe di perkampungan menimbulkan masalah baru. Jalanan kampung yang sempit harus berbagi dengan para pengunjung karena cafe nggak punya lahan parkir. Belum lagi, nggak sedikit pengunjung yang mengendarai mobil.
Jalan yang semula dua ruas hanya bisa dipakai sebelah saja. Keadaan ini mengganggu banget, bukan hanya buat pengendara, tapi juga pejalan kaki. Hampir tiap hari warga mengalah hanya demi menunggu mobil yang mau parkir atau putar balik.
Di kampung saya, selain jalanan yang padat, cafe menimbulkan polusi suara. Hal yang paling banyak dikeluhkan adalah suara pengunjung cafe yang nongkrong sampai subuh. Biasanya mereka terlalu asyik nongkrong hingga lupa mengontrol volume suara mereka. Ditambah lagi kata-kata umpatan yang keluar saat ngobrol atau catcalling tiap lihat cewek lewat.
Baca halaman selanjutnya: #3 Timbul kecemburuan …
#3 Timbul kecemburuan sosial
Di kampung saya, keberadaan cafe menimbulkan kecemburuan sosial. Ada beberapa pedagang makanan dan warung yang sebal karena dagangannya ngga laris, sementara cafe selalu didatangi pengunjung. Kadang kala mereka mengekspresikan kekesalan itu dengan membandingkan untung-rugi jajan di warung versus cafe hidden gem. Lucunya, hal ini bikin mereka kelihatan kayak kaum mendang-mending.
“Daripada jajan di kafe mending beli di angkringan.”
“Es teh di kafe Rp20.000, mending beli di warung bakso cuma Rp3.000.”
“Tetangganya itu dilarisin, bukan malah ngelarisin orang luar yang udah kaya raya.”
#4 Dibikin gumoh sama lagu tertentu
Beberapa cafe hidden gem Jogja memang perlu ditegur karena memutar musik dengan suara keras. Playlist cafe nggak hanya didengar oleh pengunjung, tapi juga warga kampung. Bagi pengunjung cafe mungkin hal itu tidak begitu mengganggu. Namun, bagi warga kampung yang sehari-hari tinggal di situ, rasanya muak mendengar playlist lagu yang sama setiap hari. Rasanya persis seperti kalau kalian gumoh dengan reels yang pakai sound Kita Bikin Romantis, Komang, sampai Tak Ingin Usai.
Di dalam lubuk hati yang paling dalam, saya sebenarnya rindu dengan suasana kampung tanpa cafe hidden gem. Jalanan lebih leluasa dan lingkungan nggak bersisik. Kampung rasanya jauh lebih nyaman.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sisi Gelap Coffee Shop di Jogja: Jadi Tempat Cuci Uang para Owner “Gelap”
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.