Dalam serial Naruto, Kurama sang siluman rubah ekor sembilan disegel di dalam tubuh Uzumaki Naruto. Tujuan sederhananya adalah mencegah Kurama membuat kekacauan. Awalnya saya memandang segel ini hanya sebagai bumbu cerita. Sampai saya menyadari bahwa saya juga disegel. Segel ini membatasi saya dalam mencari jati diri. Segel itu adalah cadel.
Masa kecil dan remaja adalah fase di mana seseorang mencari jati diri. Eksperimen pribadi sering dilakukan demi menemukan jati diri yang akan dibawa hingga mati. Beberapa bisa sebegitu liarnya bereksperimen dalam kenakalan remaja. Sisanya dibatasi berbagai faktor personal.
Saya termasuk dalam golongan yang terbatas dalam mencari jati diri. Keterbatasan ini didasari oleh “tersegelnya” salah satu bagian tubuh saya. Bagian sederhana yang bisa menentukan takdir hidup seseorang: lidah. Ya, lidah saya telah tersegel karena cadel.
Mungkin Anda berpikir “Ah cadel kan hal yang biasa”. Saya juga pernah berpikir demikian. Sampai pada akhirnya saya menyadari, cadel ini tidak pernah biasa saja. Cadel saya adalah rintangan utama bagi saya menikmati masa remaja yang penuh kenakalan. Hasrat nakal saya telah disegel dengan keadaan lidah sendiri.
Pertama kali saya menyadari lidah yang cadel ini adalah ketika SD. Normalnya, anak-anak seusia saya telah fasih mengucapkan huruf “r”. Namun, saya tidak pernah mampu mengucapkan huruf jahanam itu. Ketika mencoba, hanya keluar suara geraman yang tak jelas apa maksudnya.
Cadel ini mulai menjadi perhatian teman-teman saya. Dan sebagaimana individu yang berbeda dari umumnya, saya menjadi objek bercandaan yang menyebalkan. Dikenal sebagai orang cadel, bahkan mendapat panggilan “Pelo”. Sejak saat itu, saya tidak bisa lepas dari predikat yang tidak mengenakkan.
Memasuki masa SMP, saya baru merasakan keadaan lidah saya ini menghalangi kontak sosial. Setiap saya berkenalan dengan teman baru, mereka langsung menertawakan lafal huruf “r” saya. Bahkan, posisi ketua kelas tidak menghentikan mereka untuk menertawakan cadel saya.
Tekanan dari keadaan ini membuat saya tersisih dari kenakalan masa SMP. Jangankan mau nakal, baru bicara saja sudah ditertawakan. Saya tidak pernah dapat kesempatan untuk tampil “sangar” dan “preman”. Semuanya gara-gara lidah cadel yang selalu menjadi bahan tertawaan ini.
Masalah ingin terlihat preman, semua dikarenakan eyang saya. Blio memang dikenal sok preman atau istilah Jogjanya “nggentho”. Sebab menghabiskan masa kecil bersama blio, saya pun punya obsesi untuk “nggentho” juga.
Dan obsesi ini tidak pernah tercapai. Setiap mencoba sok sangar, selalu saja ada satu dua orang yang bersuara”rrrrrrrrr”. Saya pun mencoba terjun ke ekstrakurikuler karate, demi menambah kesan sangar. Dan lagi-lagi, saya ditertawakan jika sudah bicara.
Saya hanya bisa menelan kekecewaan dan insecure ini. Sambil berharap masa SMA lebih baik.
Kebetulan, SMA saya termasuk SMA negeri yang terkenal nakal dan rajin tawuran. Saya pikir, ini adalah kesempatan saya untuk menjadi anak nakal. Menjadi gentho seperti obsesi saya waktu kecil. Apalagi, kelas pertama yang saya masuki memang memenuhi kriteria sebagai kelas preman.
Awalnya, segala trauma masa SMP saya kesampingkan. Saya berharap, teman baru saya tidak peduli pada lidah saya. Dan yang terjadi tetap seperti biasa. Mereka menertawakan lidah saya yang cadel ini. Brengsek, masih saja lidah “pelo” ini mengekang hasrat saya untuk menjadi anak nakal.
Teror perkara “r” ini tidak pernah berhenti. Sekuat apa pun upaya saya untuk cuek, tetap saja teman-teman memilih untuk menertawakan. Saya tidak menyerah, saya membangun karakter yang “gothic” dengan mulai belajar literasi satanisme. Hasilnya? Nihil! Tetap saja saya ditertawakan ketika harus menyebut huruf “r”.
Masa SMA malah menjadi masa paling menyedihkan. Tidak pernah berada di puncak rantai makanan menyebabkan saya berakhir sebagai badut kelas. Yah, siapa bilang masa SMA adalah masa paling indah. Coba saja jika anda cadel!
Akhirnya masa kuliah datang. Kali ini, keinginan saya untuk “nggentho” berganti menjadi keinginan menjadi kader partai. Entah apa penyebabnya, sepertinya keren saja jadi kader partai. Maklum, selain nakal, atletis, atau borjuis, ada satu jenis manusia keren di kampus: aktivis.
Saya pun mulai melirik BEM. Namun, trauma masa SMA menyerang saat melihat senior saya berorasi dengan lantang. Fix, saya tidak ingin dipermalukan lagi. Maka saya habiskan masa kuliah dengan menjauhi berbagai organisasi kemahasiswaan.
Lidah yang cadel ini benar-benar menyegel hasrat muda saya. Dan jangan bilang “cuek aja” atau “syukuri apa adanya”. Mungkin anda perlu memotong lidah anda dan merasakan bagaimana masyarakat kita masih menertawakan lidah yang cadel.
Namun, bukan berarti saya berpasrah dan mengikhlaskan diri sebagai bahan tertawaan. Sejak kuliah, saya mencoba membangun karakter yang lebih kuat. Selain itu, saya mulai menggeluti bidang yang minim kerja lidah. Contohnya menggambar dan menulis.
Tidak ada fase penerimaan cadel yang lebih baik dari keterlibatan saya dalam team outbound dan leadership training. Berbicara di depan peserta yang jumlahnya puluhan membuat saya lebih percaya diri. Dan akhirnya saya mulai berdamai dengan lidah saya sendiri.
Namun, bukan berarti saya tidak mencoba bersyukur dengan kondisi fisik saya. Saya menyadari bahwa lidah yang cadel adalah segel yang baik. Segel ini sukses mengekang hasrat muda yang meledak-ledak dan mengarahkan saya pada pilihan yang lebih menyenangkan, aman, dan bertahan lama.
Coba saja jika saya tidak cadel. Mungkin saya sudah terlibat geng remaja. Bisa jadi saya terjun dalam dunia hitam. Mungkin menjadi bandar narkoba? Syukurlah, saya terbebas dari itu semua. Mau bilang narkoba saja sudah keringatan.
Atau, bisa jadi saya sudah masuk partai politik. Dan dengan keberuntungan tertentu, mungkin saya telah menjadi anggota DPR. Untung, saya cadel. Jangankan membohongi rakyat, menyebut kata “rakyat” dengan baik dan benar saja tidak mampu!
BACA JUGA Tugu Jogja: Destinasi Wisata serta Destinasi Proyek Tahunan yang Minim Kreativitas dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.