Perkara RUU Cipta Kerja (dulu namanya Cipta Lapangan Kerja, disingkat Cilaka) emang nggak ada abisnya. Rakyat menolak, pemerintah ngotot bisa merangkum kemelut RUU ini. Yang terakhir, muncul gerakan tandingan untuk melawan penolakan RUU Cipta Kerja lewat endorsing artis bertagar #IndonesiaButuhKerja.
Setelah menjadi huru-hara, sejumlah selebritas memutuskan mencabut endorse itu seraya mengakui ada pihak yang mengongkosi mereka. Apakah yang mengongkosi adalah pemerintah? Sampai sekarang masih misteri. Hingga beberapa waktu lalu, unjuk rasa menolak RUU ini juga masih digelar.
Sudah banyak ulasan yang mengurai masalah RUU Cipta Kerja. Contohnya ini, ini, dan ini. Bank Dunia sampai mewanti-wanti Indonesia tentang aspek kesehatan, keselamatan masyarakat, lingkungan, dan hak-hak tenaga kerja yang bisa dikorbankan karena RUU tersebut.
Yang menarik perhatian saya, Komnas HAM sudah di tahap meminta pembahasan RUU ini tak dilanjutkan. Salah satu alasannya, kajian Komnas HAM mendapati RUU Cipta Kerja mengandung cacat hukum. Khususnya pada bagian Pasal 170 ayat 1 dan 2 yang menyimpang dari asas lex superior derogat legi inferior.
Cacat hukum ini memang kebangetan. Sebab, asas hukum tersebut sangat dasar dan termasuk salah satu asas hukum paling populer. Ini materi yang bahkan diberikan kepada mahasiswa hukum semester satu.
Asas lex superior derogat legi inferior berarti peraturan perundang-undangan (hukum) yang lebih tinggi tingkatannya bisa mengesampingkan peraturan perundang-undangan (hukum) yang lebih rendah, dan bukan sebaliknya.
Saya hakulyakin, asas itu pernah dibahas dosen hukum mana pun, baik dalam mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia maupun Pengantar Ilmu Hukum semester satu. Sendablek-ndableknya mahasiswa hukum, mereka minimal pernah dengar asas hukum ini. Astaga, pemerintah sebagai pengusul RUU Cipta Kerja apa nggak malu ya sama kenyataan ini.
Saya tunjukkan letak cacat hukumnya. Jika kalian baca Pasal 170 ayat 1 dan 2 (hlm. 682), ada ketentuan bahwa pemerintah bisa mengubah UU (termasuk UU yang tidak diubah dalam UU Cipta Kerja) hanya melalui peraturan pemerintah (PP)!
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah dalam buku Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (2017) menyebut, Indonesia menganut teori jenjang norma (Stufentheorie) dalam sistem hukum norma di Indonesia. Stufentheorie, yang mana merupakan materi standar untuk mahasiswa hukum Strata-1, berarti peraturan perundang-undangan dibuat berjenjang atau bertingkat, dari atas sampai ke bawah. Konsekuensi, segala peraturan perundang-undangan menjadi saling terkait satu sama lain secara vertikal.
Konsekuensi logis dari dianutnya teori ini tecermin dalam prinsip dan asas hukum mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan. Menurut Bagir Manan yang dikutip buku tersebut, ajaran tata urutan peraturan perundang-undangan mengandung lima prinsip, salah duanya yaitu:
- Prinsip bahwa muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
- Prinsip bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut/diganti/diubah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
Kedua prinsip ini secara telanjang dan gamblang termuat dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Dengan demikian, ketika RUU Cipta Kerja mengatakan ada UU yang bisa diubah pake PP, padahal hierarki UU lebih tinggi dari PP (menurut UU PPP), kedua prinsip tersebut beserta asas hukumnya telah nyata terpampang sedang dilanggar.
Jadi jelas kan, ketentuan PP bisa mengubah UU dalam RUU Cipta Kerja amat bermasalah. Dia bisa mengacaukan tatanan hukum Indonesia.
Yang bikin makin miris, ketentuan UU PPP tadi sudah dicantumkan dalam “Naskah Akademik RUU Cipta Kerja” (cek aja di sini). Saya nggak habis pikir, masak sih pencantuman itu cuma dijadikan tempelan alih-alih dasar hukum pembentukan RUU Cipta Kerja?
Padahal, ada berjibun pakar hukum dari pihak pemerintah. Nyaris mustahil mereka nggak tahu dan nggak menyadari cacat hukum RUU Cipta Kerja amat sepele sekaligus mendasar.
Tapi saya berbaik sangka, mereka bukannya nggak tahu, mungkin lebih karena lupa. Saya bilang begitu karena kan dari pihak pemerintah ada Mahfud MD, pakar hukum tata negara sekaligus menterinya Pak Jokowi.
Malah prinsip tata urutan perundang-undangan (yang dilanggar RUU Ciptaker itu) pernah ditulis sendiri oleh Mahfud MD dalam buku Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi (2010). Dalam buku itu, beliau menulis begini:
“Peraturan perundang-undangan itu tersusun secara hierarkis dan mempunyai proporsi materi muatan tertentu. Penyusunan secara hierarkis itu bersifat ketat menentukan derajat masing-masing peraturan perundang-undangan dan isi setiap peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang secara hierarkis ada di atasnya.”
Lucu kan? Lucu dong!
Foto oleh Wahlul Kafid via Wikimedia Commons
BACA JUGA Alasan Mendukung Omnibus Law dan tulisan Emerald Magma Audha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.