Baru-baru ini publik dihebohkan dengan sebuah brand skincare yang disebut-sebut membayar buzzer untuk mempromosikan produknya. Publik, khususnya skincare enthusiasts, merasa tindakan brand skincare tersebut sangat nggak bijak. Apalagi, buzzer tersebut mempropagandakan produk berupa sunscreen di lapak milik brand lain.
Buzzer skincare sebenarnya nggak hanya sekali ini bikin risih dan kesal. Ketika mencari ulasan di autobase kecantikan di Twitter, selalu saja ditemukan buzzer yang suka nggak paham tempat. Saya sering sekali menjumpai sebuah mention confess (menfess) yang meminta para pengikut autobase untuk memberikan review terhadap suatu produk skincare tertentu. Alih-alih ulasan jujur dari para pengguna skincare-nya secara langsung, kolom reply menfess tersebut justru berisi para buzzer yang bikin ulasan seadanya dan menyuruh pengirim menfess untuk langsung membeli produk di suatu online shop.
Bukan hanya di Twitter, Female Daily, laman yang menjadi rujukan para pengguna skincare untuk mencari ulasan dan berdiskusi, juga sering kali dipenuhi oleh para buzzer. Para buzzer ini memberi bintang lima dan mengagung-agungkan produk dari brand yang membayar mereka. Seakan-akan produk tersebut dewa yang bisa menyembuhkan semua masalah di kulit kita.
Gara-gara penuh dengan ulasan bias di autobase dan Female Daily, tujuan para skincare enthusiast untuk mencari ulasan jujur jadi nggak bisa dicapai. Review dari para pemakai skincare sebuah produk itu krusial banget. Sebab, testimoni jujur bisa menjadi bahan pertimbangan para calon konsumen untuk ikutan membeli atau nggak.
Sebenarnya, merekrut buzzer merupakan bagian dari strategi promosi suatu brand. Brand tertentu yang pengin produknya lebih dikenal di masyarakat bisa menggunakan jasa buzzer. Namun, keberadaan buzzer ini merugikan konsumen. Disebutkan oleh Kompas.com bahwa buzzer berdampak pada kebingungan masyarakat dan membuat masyarakat terjebak dalam popularism, yakni istilah yang merujuk pada kondisi seolah-olah hal yang paling populer adalah benar.
Buzzer skincare ini memiliki kepentingan untuk menaikkan nama dan insight suatu produk. Mengingat adanya kepentingan di baliknya, maka ulasan atau komentar yang ditinggalkan oleh para buzzer ini sudah pasti bias. Lha wong mereka hanya membeberkan sisi positif dari produk tertentu. Nggak menutup kemungkinan pula mereka “menyerang” brand lain untuk meningkatkan insight produk yang sedang dipropagandakan.
Sebagian besar konsumen skincare, khususnya yang sudah banyak riset dan belajar dari pengalaman, lebih mengutamakan khasiat, worth for money, dan efektivitas suatu produk skincare. Skincare yang sedang naik daun maupun banyak dibicarakan orang nggak menjamin bahwa skincare tersebut aman, nyaman, dan cocok untuk digunakan. Nggak jarang pula skincare yang dibeli sudah cocok dari segi komposisi. Akan tetapi, ketika produk tersebut diaplikasikan ke wajah, ternyata tetap nggak cocok. Menjajal skincare memang harus melewati fase trial and error.
Maka dari itu, para skincare enthusiast memerlukan testimoni jujur dari orang lain yang sudah pernah mencoba. Tapi, kalau banyak buzzer seperti ini, tentunya honest review dari pemakai skincare jadi tertimbun. Memang, sih, bisa dibedakan mana akun yang menulis ulasan tanpa dilatarbelakangi oleh kepentingan maupun hasil review dari buzzer. Tapi, capek juga kalau harus memilah mana ulasan yang jujur dan mana yang sudah bias setiap kali cari review produk tertentu.
Selain itu, brand skincare seharusnya belajar cara untuk mempertahankan konsumen alih-alih berlomba-lomba untuk ningkatin insight semata. Dari kacamata saya sebagai konsumen, persaingan di dunia skincare tampak sangat ketat dan berat. Ada brand yang datang dan pergi. Ada brand yang dalam semalam menjadi favorit semua orang, tapi langsung ditinggalkan begitu ada brand kompetitor yang produknya lebih nampol sekaligus menghormati para pemakainya.
Memang, selain harus peka terhadap permintaan pasar yang dinamis, brand skincare harus menjaga kepercayaan konsumen yang sudah setia pada produknya. Brand yang bisa bertahan artinya memang sudah mendapatkan keloyalan dari konsumen. Klaim dan tawaran dari produknya pun nggak ngibul.
Ketika konsumen sudah loyal dan nggak pernah dikecewakan, niscaya akan semakin banyak konsumen baru yang berdatangan. Jangan dikira racun skincare dari mulut ke mulut itu nggak ada gunanya. Inilah the power of getok tular.
Setelah ketahuan pakai buzzer, mereka yang menggunakan brand skincare yang kasusnya saya singgung secara sekilas di atas sudah menyatakan bahwa mereka kecewa. Nggak sedikit pula yang mendeklarasikan nggak akan membeli lagi produk sunscreen tersebut di kemudian hari. Nah kan, berabe kalau pakai buzzer. Mending tetap fair play bersaing sambil terus meningkatkan kualitas dan mempertahankan loyalitas konsumen. Iya, kan?
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Audian Laili