Bus Palala rute Padang-Jakarta bisa jadi alternatif mereka yang takut naik pesawat dan ingin perjalanan darat yang nyaman.
Saat menjadi mahasiswa Universitas Andalas atau Unand yang terletak di Sumatera Barat, seringkali saya merasa galau saat musim liburan tiba. Jika menetap di Padang, tidak ada kegiatan. Jika pulang ke Jakarta, ongkos pesawat mahal, ditambah saya tipikal yang cengeng tiap ada turbulensi. Saking khawatirnya, saya selalu melihat penumpang di ruang tunggu lekat-lekat di ruang tunggu bandara dan berkata dalam hati, inilah perjalanan terakhir kami?
Setelah beberapa kali pulang pergi naik pesawat, bukannya terbiasa, saya malah semakin khawatir dan lemah keberanian. Kalau ada alternatif akomodasi lain, saya akan pilih yang lain.
Sampai pada satu libur semester, keuangan sedang menipis, tetapi saya ingin sekali pulang ke Jakarta. Lalu, ada pesan broadcast yang masuk dari teman, judulnya “Pulang Basamo” yang diadakan oleh komunitas mahasiswa Jakarta yang kuliah di Unand dengan jalur darat.
Awalnya, saya banyak punya kekhawatiran untuk pulang naik bus. Saya khawatir nanti duduk dengan siapa? Kalau misalnya duduk bersebelahan dengan laki-laki bagaimana caranya agar aman? Biaya makan di perjalanan mahal nggak, ya? Busnya bersih nggak, ya? Kalau mau beol gimana? Sudah pasti saya gak mau buang air di toilet bus yang kecil dan goyang-goyang. Selain karena nggak nyaman, baju yang saya pakai jadi rentan kena kotoran dan nggak bisa dipakai untuk salat. Berhentinya berapa kali ya?
Namun, setelah bertanya-tanya dan meminta testimoni kepada teman yang pernah pulang naik bus dan berbuahkan cerita yang aman-aman saja. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya memberanikan diri untuk pulang naik bus, tepatnya kala itu ketika liburan di semester tiga. Keputusan untuk naik bus diperkuat karena saya pergi bersama komunitas. Meskipun, sebenarnya saya tidak masuk ke dalam komunitas tersebut, cuma aji mumpung biar ada teman saja, buat pengalaman pertama sepertinya butuh itu.
Pulang Jakarta naik bus Palala
Bus yang dipilih oleh teman-teman adalah Bus Palala, bus yang namanya berarti orang yang suka bepergian atau dalam bahasa Minang disebut palala. Lumayan jauh dari ekspektasi, pengalaman yang saya dapatkan jauh lebih nagih dibanding yang saya prediksi. Meskipun tidak banyak bicara dengan orang-orang komunitas di perjalanan, mereka berhasil mengantarkan saya untuk semakin memilih perjalanan darat dengan memperkenalkan saya dengan Bus Palala.
Bus Palala sebetulnya bus standar dengan kualitas yang lumayan memanjakan penumpangnya. Busnya bersih, setiap kali berhenti untuk istirahat solat, bus dibersihkan. Kenyamanan kaki penumpang sepanjang 35 jam juga terjamin karena bagian kakinya punya ruang yang cukup besar, apalagi ada bantalan kaki yang bisa disesuaikan tingginya.
Setiap penumpang disediakan bantal, bisa untuk menadahkan kepala biar nggak ngangguk-ngangguk pas tidur, jangan sampai nyender ke penumpang sebelah yang nggak dikenal. Mereka juga meminjamkan selimut yang masih lengkap dengan plastik laundry-nya, bikin kepercayaan kami akan kebersihannya semakin menebal.
Tidak perlu khawatir persoalan perut
Perihal perut, Palala juga bikin saya tidak merasa uang Rp675.000 sebagai ongkos hilang begitu saja. Mereka memberikan sekotak snack saat baru berangkat dan memberikan voucher makanan sebesar Rp25.000 di beberapa restoran yang menjadi tempat singgah.
Menu yang disediakan di restoran pun tidak mengecewakan. Penumpang bisa dapat nasi rames berlauk telur di restoran Umega daerah Dharmasraya, restoran yang terkenal di kalangan warga perjalanan darat Pulau Sumatera. Tinggal nambah sepuluh ribu kalau lauknya mau diganti ayam atau rendang.
Tempat pemberhentian atau istirahat yang dipilih oleh Bus Palala juga gak asal pilih. Sepanjang perjalanan, mulai dari tempat makan yang dipilih enak-enak semua, dilengkapi musala yang layak, serta toilet yang bersih. Keperluan beribadah kami sepanjang jadi musafir juga tepat kadarnya, zuhur dan asar dijamak, magrib dan Isya pun begitu, dan subuh kami berhenti di satu masjid khusus.
Nggak kalah penting, ruangan penumpang dan sopir diberi sekat yang kokoh. Sekat ini memungkinkan perjalanan penumpang tetap nyaman tanpa terganggu suara obrolan sopir dan kernet maupun asam rokok mereka.
Fasilitas ini terdengar sepele memang, tapi sangat berpengaruh. Setelah naik Bus Palala itu, saya memberanikan diri naik bus dari PO lain. Sekat antara sopir dan penumpang di bus tersebut hanya sebagai formalitas saja. Sepanjang jalan saya harus menutup hidup untuk menghindari asap rokok sopir.
Titik turun bus Palala yang strategis
Hal yang jadi unggulan palala dibanding yang lain adalah mereka punya pemberhentian sendiri di Ciledug, tepatnya di pintu keluar Tol JORR yang dekat dengan rumah saya. Hal ini bikin saya nggak perlu keluar uang tambahan untuk biaya perjalanan dari agen ke rumah karena bisa dijemput pakai motor kalau tidak sedang bawa banyak barang.
Perjalanan darat bisa menyenangkan dan nagih kalau difasilitasi dengan baik. Sejak saat itu, saya tidak pernah naik pesawat lagi. Bahkan, saat pindahan usai wisuda di bulan Februari lalu, saya tetap memilih pulang naik Bus Palala walau bawa banyak barang. Menurut saya, apa yang saya keluarkan untuk perjalanan darat dengan Palala dari Padang ke Jakarta (ataupun sebaliknya) dan apa yang mereka berikan sangat setimpal.
Palala tentunya punya kekurangan juga, tepatnya di TV yang sepengalaman saya tidak pernah bisa mengeluarkan suara dan tidak menyediakan film yang bisa ditonton jadi kurang fungsional. Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan itu. Pemandangan indah daratan Sumatera, mulai dari Sumatera Barat, Jambi, Palembang, sampai Lampung mampu membayar kekurangan yang itu.
Akhir kata, buat kalian yang punya niatan ke Padang atau ke Jakarta dari Padang, tetapi takut naik pesawat. Ini alternatif yang lumayan irit, namun akan tetap memastikan kalian nyaman sepanjang perjalanan.
Penulis: Bunga Gracella Ardimay
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















