Bus Bagong, Bus Ekonomi Murah Rasa Jet Tempur

Bus Bagong, Bus Ekonomi Murah Rasa Jet Tempur

Bus Bagong, Bus Ekonomi Murah Rasa Jet Tempur (unsplash.com)

Sejujurnya saya pengin mengulang kembali pengalaman naik bus Bagong. Tapi dengan catatan nggak duduk di kursi paling depan lagi.

Ada satu momen yang bikin saya sampai sekarang masih ketawa getir setiap kali mengingatnya. Pagi itu udara Tulungagung masih agak dingin, langit pun enggan membuka tirainya. Jalanan kota lengang, hanya ada beberapa kendaraan lewat. Sesekali motor bebek yang terdengar knalpotnya memecah sunyi.

Saya berjalan melewati gang-gang kecil, sambil menyeret langkah ke Terminal Gayatri. Tujuan saya sederhana: pergi ke Surabaya.

Kedengarannya biasa saja, kan? Tapi ternyata perjalanan itu memberi saya pengalaman yang lebih dari sekadar “duduk di kursi, sampai tujuan”. Saya benar-benar jadi saksi bahwa naik bus ekonomi, terutama bus Bagong, bukan hanya soal transportasi murah, tapi semacam atraksi adrenalin yang layak didokumentasikan.

Tujuan pertama: Terminal Gayatri Tulungagung

Itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Terminal Gayatri. Jujur saja ekspektasi saya nggak tinggi. Saya pikir terminal ini bakal mirip terminal bus di kota lain kayak Kudus. Sepi, agak nggak terawat, dan penuh calo yang bikin penumpang malas untuk sekadar menoleh. Ternyata saya salah, Terminal Gayatri lumayan terawat.

Saat masuk, saya langsung disambut beberapa kru bus. Ada yang dengan ramah menawarkan bantuan untuk membawakan barang saya gratis, tanpa embel-embel. Rasanya agak aneh karena jujur saja saya terbiasa dengan suasana terminal yang lebih komersial agresif. Bungurasih, misalnya, yang lebih mirip hutan rimba ketimbang tempat berangkat bus. Nuansa Terminal Gayatri yang lebih manusiawi setidaknya bikin saya bisa bernapas tenang.

Di dalam terminal ada beberapa lajur. Saya perhatikan ada lajur yang diisi dua nama bus: Harapan Jaya dan Bagong. Semuanya terlihat terawat, bahkan armada ekonominya pun tampil meyakinkan. Cat masih mulus, kaca jendela bersih, tak ada yang tampak seperti besi tua berjalan. Sebagai orang yang sering juga mengamati bus di Semarang, saya langsung sadar, ini kontras banget.

Memilih bus ekonomi bukan karena pelit, tapi logika

Saya memilih naik bus ekonomi. Alasannya sederhana, takut tarif bus patas atau eksekutif bikin kantong jebol. Dari Tulungagung ke Surabaya, saya kira harganya bakal sebanding dengan Kudus–Jogja yang bisa tembus hampir Rp100 ribu dengan jarak hampir sama.

Memang ada opsi lebih terjangkau naik kereta ekonomi. Murah, cuma Rp15 ribu. Tapi kursinya berhadap-hadapan, kaku, dan bikin pegal. Saya butuh perjalanan yang lebih “waras” buat duduk.

Dan puji Tuhan, ternyata, kejutan kedua datang saat saya bayar tiket. Hanya Rp33 ribu. Saya ulangi, tiga puluh tiga ribu rupiah saja. Kok bisa semurah itu? Untuk perjalanan sejauh Tulungagung–Surabaya, harga segitu rasanya absurd. Rasanya seperti dapat jackpot. Dan pilihan saya jatuh pada bus Bagong.

Plus minus bus Bagong

Bus Bagong yang saya naiki kalau nggak salah bermesin Hino, dengan konfigurasi mesin depan. Bagi yang sering naik bus pasti paham kalau mesin depan identik dengan kelas ekonomi.

Konfigurasi kursinya 3-2, artinya satu baris bisa menampung lima orang. Kursinya sendiri wajar. Nggak terlalu empuk, tapi juga nggak terlalu keras. Pas saja.

Tetapi yang jelas agak sempit. Saya nggak sampai menghitung jumlah kursinya, tapi intinya: banyak. Dari depan, tampak seperti bus yang penuh tekad memaksimalkan setiap jengkal ruang. Kalau ini rumah kontrakan, pemiliknya pasti tipe orang yang nggak mau rugi.

Meski begitu saya memaklumi. Namanya juga bus ekonomi, jangan harap punya kursi lebar dengan sandaran ala kursi bioskop. Toh saya naik bus Bagong ini bukan untuk tidur siang, melainkan untuk bisa sampai Surabaya dengan selamat. Atau setidaknya, itu yang saya harapkan.

Gaspol sejak Kediri

Bus Bagong yang saya tumpangi mulai melaju pelan keluar terminal. Awalnya, masih santai. Bus masih menaikkan beberapa penumpang di pinggir jalan. Tapi setelah itu? Gila!

Lintas Tulungagung–Kediri, bus Bagong berubah menjadi predator jalanan. Bus ini meliuk-liuk di jalur sempit, menyalip tanpa basa-basi. Ada beberapa calon penumpang yang terpaksa ditinggalkan karena bus terlalu kencang. Saya yang duduk di kursi depan langsung jadi penonton utama.

Bayangkan, kaca depan lebar dengan pemandangan sopir yang menyalakan high beam tanpa ampun, menyalip truk, mobil plat militer, motor CB seakan itu sepeda mini. Deg-degan? Jelas! Tapi ada sisi adiktif juga. Rasanya seperti menonton Fast and Furious versi Jawa Timur, tapi kita ikut masuk ke dalam mobil balap.

Beruntung, AC di dalam bus cukup dingin. Jadi meski jantung saya panas-dingin setiap kali sopir bus banting setir, hawa sejuk dari AC lumayan menenangkan.

Tol Jombang, saatnya bus Bagong ngebut sungguhan

Begitu masuk tol Jombang, drama makin gila. Jalanan lebar, mulus, dan lurus memberi kesempatan bagi sopir Bagong untuk unjuk gigi. Pedal gas diinjak seolah tidak ada hari esok.

Suara mesin meraung, bus melaju stabil di kecepatan tinggi. Di momen itu, saya sadar bahwa bus ekonomi bermesin depan bukan berarti pelan. Justru sebaliknya, inilah kelakuan aslinya. Gaspol tanpa kompromi.

Saya bahkan merasa waktu berjalan lebih cepat. Saya tiba di Surabaya sebelum saya sempat benar-benar bosan. Alih-alih capek, saya justru merasa sedang mengikuti wahana ekstrem di taman hiburan. Bedanya, tiketnya hanya Rp33 ribu.

Murah, cepat, deg-degan: kombinasi aneh yang membuat rindu

Naik bus Bagong dari Terminal Gayatri ke Surabaya meninggalkan kesan yang unik. Murah, cepat, tapi juga bikin jantung olahraga ekstra. Rasanya mirip-mirip naik roller coaster, hanya saja lebih panjang dan ada AC.

Saya jadi berpikir, mungkin memang inilah nilai plus transportasi darat di Jawa Timur: efisiensi yang liar. Di saat bus lain alon-alon, Bagong memilih jalan hidup berbeda. Gaspol tanpa ampun. Dan anehnya, saya suka.

Bagong bukan sekadar bus ekonomi

Kalau orang bertanya, apa kesan saya naik Bagong? Jawaban saya sederhana. Bagong bukan sekadar bus ekonomi. Ia semacam kendaraan yang merangkum tiga hal sekaligus: kecepatan, keberanian, dan keikhlasan dompet.

Dengan Rp33 ribu, saya bukan cuma mendapat kursi untuk duduk, tapi juga pengalaman yang tak akan saya temukan di kereta murah. Apalagi di bus kota tua yang berjalan pelan. Bagong adalah paket lengkap, bikin penumpang takut, bikin kagum, sekaligus bikin ketagihan.

Jadi, kalau ada yang bilang naik bus ekonomi itu menyiksa, mungkin mereka belum pernah mencicipi sensasi naik bus Bagong dari Terminal Gayatri. Karena jujur, bagi saya, ini salah satu perjalanan paling memorable yang pernah saya alami. Dan ya, saya rela mengulanginya. Dengan catatan nggak duduk di kursi paling depan lagi.

Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pertama Kali Naik Bus Bagong ke Malang Jadi Pengalaman Paling “Membagongkan” dalam Hidup.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version