Semoga judul tulisan ini tak berlebihan. Ada uneg-uneg dari dalam yang ingin muncul. Dari seorang buruh setengah kasar. Keseluruhan jam kerjanya dihabiskan— sebagian di depan komputer, sebagian lagi berlaku seperti seorang office boy; menyapu, pel, kosrek lantai, kadang juga membersihkan semacam selokan.
Nah, kebetulan dulu saat di kampus, ia karib dengan kebiasaan membaca dan diskusi. Tema-tema perbincangan seputar politik, pendidikan, agama, dan tentu saja filsafat dan ideologi. Sebentar, saya tidak akan membahas bagaimana implementasi seorang buruh yang punya kebiasaan membaca akan melakukan perlawanan terhadap perusahaan raksasa kapitalis. Tulisan ini tidak akan membahas manifestasi pembacaan Das Kapital oleh kaum proletar seperti itu. Sebab, penulis juga tidak tahu si buruh kita ini pernah punya pengalaman perlawanan atau tidak sama sekali.
Konon, orientasi mburuhnya sendiri hanya sebatas membantu atasan agar pekerjaan bisa rampung dengan rapi. Alasan utamanya, jika pekerjaan kacau, hasil rapor merah, itu menentukan karier si atasan—yang akan berdampak buruk juga bagi kesehatan ekonomi keluarganya. Apalagi kalau sampai dipecat, kalau si buruh ini sih masih muda, bisa cari kerjaan lain. Hanya sebatas itu.
Sementara pada lingkaran lamanya jauh di luar kota antar provinsi sana, kawan-kawan atau para kameradnya sekalian tetap rutin menggelar acara diskusi. Bahkan intensitas diskusinya bisa sampai tiga kali dalam seminggu. Di kampus-kampus, tempat tongkrongan, dan lain-lain. Tentu saja dilakukan bersamaan dengan tradisi membeli eehh membaca buku yang begitu maniak. Mereka semua, teman si buruh, adalah para dosen atau pengajar muda dan mahasiswa. Melihat pemandangan tersebut dari jauh, akhirnya membuat si buruh melakukan semacam studi banding. Dimulai dari satu pertanyaan; apa bedanya pembacaan dan diskusi yang dilakukan antara kaum akademisi tersebut dan dirinya yang sebagai kaum buruh kota?
Apa pentingnya membaca buku? Kalau dulu sebagai akademisi sih minimal bisa buat modal si buruh tebar pesona di ajang diskusi. Menarik perhatian para ciwi-ciwi untuk paling tidak bisa show up di medsos bahwa kita adalah pria SJW. Setiap hari, bahan bacaannya sungguh tepat sasaran, bisa buat cangkeman di kelas, nanti pulang cangkeman lagi di organisasi maupun di acara diskusi-diskusi lainnya. Pol mentok, bikin ritus aksi massa yang berujung pada tenggorokan kering dan terbakar gosong sinar mentari.
Hemat kata, membaca buku bagi para akademisi memang perlu, karena tema obrolan dalam pergaulan sehari-hari memang didominasi kebutuhan akan wawasan yang ndakik-ndakik. Semakin ndakik dan asing istilah-istilah yang dipakai itu berbanding lurus dengan naiknya derajat label personalnya. Ilmu itu jauh di awang-awang, tidak di bumi.
Mirip misalnya seperti cah sastra pwisiie, diksi yang dipakai semaksimal mungkin harus diambil dari entah planet mana. Sebab, kata-kata seperti “penyair jalang”, “perengkuh senja”, akan terdengar lebih yooihhh daripada “tukang becak”, atau “tukang las”.
Kamu bisa bayangkan bagaimana kesepiannya seorang buruh yang punya tradisi membaca buku macam ini?
Sebab mustahil, atau setidaknya sulit untuk mengobrol soal-soal misalnya seputar absurditas Camus, filsafat Zen Budhisme, atau kisah bab-bab bagian tradisi kejawen seorang Pangeran Diponegoro, dan lain-lain. Seluruh pengetahuan yang diperoleh dari buku itu, tidak ada ruang untuk diobrolkan di tempat kerja para buruh. Ia nyaris harus disimpan rapi dalam kepala, dan hanya bisa diwujudkan dalam tindakan-tindakan.
Jadi mungkin saja, bagi buruh yang suka membaca Zen, kegiatan serabutan seperti menyapu, pel, mengosrek lantai, mengecat kursi, menambal tembok yang bolong, itu tidak bisa hanya berhenti sebagai suatu gerak berkeringat saja. Tapi ia terpaksa dihayati dengan perangkat pengetahuan dalam kepalanya sebagai tindakan meditatif.
Seorang buruh yang menempil sedikit pengetahuan tentang filsafat sejarah Hegel, misalnya, akan lebih berdaya untuk berasumsi bahwa jabatan dan aturan dalam sistem kerjanya harus dilampaui sebagai sebuah proses sejarah menuju roh mutlak/kebebasan sesungguhnya. Seorang buruh tukang roti pembaca absurdisme Albert Camus, akan berjumpa dengan keputusasaan dalam pencarian arti hidup di tangannnya di tengah kegiatannya membuat adonan roti.
Sementara buruh muslim lain, akan mulai tersadarkan atas pesan pertama Jibril kepada Baginda Muhammad SAW tentang perintah: Iqra’! Bacalah! Padahal, manusia teragung itu adalah seorang bergelar Al-Ummi alias buta huruf. Lalu, sesuatu yang seperti apa dan bagaimana bisa terdiri tanpa kehadiran huruf-huruf yang mampu terbaca? Disinilah, membaca beserta dunia literasinya tidak bermakna sebatas pembacaan tekstual. Tapi ia lebih berarti sebagai suatu gerak “melek” terhadap realitas secara komprehensif. Sederhananya, buruh harus melek keadaan bahwa ia berposisi sebagai seorang pesuruh.
Seorang Cokro yang dijuluki oleh pemerintah kolonial sebagai “Raja tanpa Mahkota” pada masa awal hijrahnya pernah menjadi buruh administrasi sebuah pabrik hasil perkebunan. Pun Pangeran Diponegoro adalah seorang adminstrator tanah ulung sekitar Yogyakarta. Keduanya sama-sama pemberontak elegan kelas kakap, yang sekaligus melek buku dan realitas.
Jadi, apa kiranya yang akan beliau berdua lakukan jika menjadi buruh di era milenial ini? (*)
BACA JUGA Memotret Buku lalu Menguploadnya di Media Sosial itu Sebenarnya Buat Apa, Sih? atau tulisan Khotib Nur Mohamad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.